1001 Problem memakamkan jenazah di Jakarta
Perkara kehilangan kerabat dan orang terkasih selama-lamanya, bukan hanya soal duka mendalam. Tapi juga, lahan untuk memakamkan jenazah secara baik.
Dilansir dari situs Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, pada 2019 ini ada 2.262 permohonan perizinan pelayanan pemakaman di wilayah Jakarta.
Taman pemakaman umum (TPU) Tegal Alur, yang terletak sekitar 26 kilometer dari pusat Kota Jakarta, persisnya di Jalan Benda Raya, Kalideres, Jakarta Barat, merupakan satu dari 42 TPU yang disediakan bagi warga Jakarta. Nisan-nisan terhampar di lahan sekitar 60-an hektare.
Pada 2019 ini, ada 296 permohonan perizinan pelayanan pemakaman di TPU Tegal Alur. Menurut Kepala Satuan Pelaksana TPU Zona 7 TPU Tegal Alur, Cardi, dalam sehari ada sekitar 7 hingga 11 proses pemakaman.
“Itu belum termasuk tunawan, korban karena kecelakaan yang tidak teridentifikasi dari RSUP Cipto Mangunkusumo,” kata Cardi ketika ditemui reporter Alinea.id di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat, Rabu (6/2).
Makam tumpang
Warga yang akan memakamkan jenazah kerabatnya, dikenai biaya retribusi sebesar Rp100.000. Biaya tersebut berlaku untuk izin penggunaan tanah makam (IPTM) selama tiga tahun. Usai jatuh tempo, warga bisa memperpanjang masa IPTM lewat pembayaran tahap kedua, sebesar Rp50.000.
“Selanjutnya, untuk tahap ketiga dan seterusnya, Rp100.000 lagi,” kata Cardi.
Menurut Cardi, pihak TPU memberikan tenggat 3 bulan dari tanggal jatuh tempo. Bila kerabat dari jenazah tak memperpanjang IPTM, maka liang makam bisa dimanfaatkan bagi orang lain. Istilahnya, tumpang kedaluwarsa.
“(Makamnya) dianggap bukan makam baru. Kalau bisa dipergunakan, akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan peruntukkan bagi warga lain yang akan dimakamkan,” katanya.
Cardi menjelaskan, ketentuan yang ada di dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman mengatur pengurusan pemakaman dapat dilaksanakan secara tumpangan.
Di dalam Pasal 36 ayat 3 Perda tersebut, tertulis, “Pemakaman tumpangan dilakukan di antara jenazah anggota keluarga dan apabila bukan anggota keluarga, harus ada izin tertulis dari keluarga ahli waris atau pihak yang bertanggung jawab atas tanah makam yang ditumpangi.”
Pemakaman tumpang terdiri atas dua macam, yakni pemakaman tumpangan keluarga dan tumpangan kedaluwarsa. Pemakaman tumpang, menurut Pasal 36 ayat 5, dapat dilakukan sesudah jenazah lama dimakamkan paling singkat 3 tahun.
Dalam melangsungkan pemakaman tumpangan keluarga, diperlukan syarat surat izin pemakaman tumpang yang ditandatangai oleh ahli waris keluarga dan anggota keluarga lainnya.
“Agar jelas dan tidak menimbulkan persoalan keluarga di kemudian hari,” ujar Cardi.
Dibandingkan pemakaman pada liang baru, retribusi untuk tumpang keluarga atau tumpang kedaluwarsa lebih murah, yakni 25% dari retribusi makam di liang baru. Nominal biayanya Rp25.000.
Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Ricky Putra mengatakan, sudah terbit SK penutupan makam baru di 16 TPU di Jakarta, di antaranya TPU Karet Bivak dan TPU Pondok Kelapa. Sebagai solusinya, pihaknya menyarankan masyarakat bersedia menumpang dengan jenazah kerabat yang sudah dimakamkan terlebih dahulu.
“Lagi pun tidak ada larangan di agama Islam untuk menumpang makam. Jadi, mau dimakam di Jakarta bisa, tapi untuk lahan pemakaman baru silakan ke TPU Tegal Alur dan TPU Pondok Rangon,” kata Ricky ditemui di Kantor Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).
Perkara kehilangan kerabat dan orang terkasih selama-lamanya, bukan hanya soal duka mendalam. Tapi juga, lahan untuk memakamkan jenazah secara baik.
Dilansir dari situs Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, pada 2019 ini ada 2.262 permohonan perizinan pelayanan pemakaman di wilayah Jakarta.
Taman pemakaman umum (TPU) Tegal Alur, yang terletak sekitar 26 kilometer dari pusat Kota Jakarta, persisnya di Jalan Benda Raya, Kalideres, Jakarta Barat, merupakan satu dari 42 TPU yang disediakan bagi warga Jakarta. Nisan-nisan terhampar di lahan sekitar 60-an hektare.
Pada 2019 ini, ada 296 permohonan perizinan pelayanan pemakaman di TPU Tegal Alur. Menurut Kepala Satuan Pelaksana TPU Zona 7 TPU Tegal Alur, Cardi, dalam sehari ada sekitar 7 hingga 11 proses pemakaman.
“Itu belum termasuk tunawan, korban karena kecelakaan yang tidak teridentifikasi dari RSUP Cipto Mangunkusumo,” kata Cardi ketika ditemui reporter Alinea.id di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat, Rabu (6/2).
Makam tumpang
Warga yang akan memakamkan jenazah kerabatnya, dikenai biaya retribusi sebesar Rp100.000. Biaya tersebut berlaku untuk izin penggunaan tanah makam (IPTM) selama tiga tahun. Usai jatuh tempo, warga bisa memperpanjang masa IPTM lewat pembayaran tahap kedua, sebesar Rp50.000.
“Selanjutnya, untuk tahap ketiga dan seterusnya, Rp100.000 lagi,” kata Cardi.
Menurut Cardi, pihak TPU memberikan tenggat 3 bulan dari tanggal jatuh tempo. Bila kerabat dari jenazah tak memperpanjang IPTM, maka liang makam bisa dimanfaatkan bagi orang lain. Istilahnya, tumpang kedaluwarsa.
“(Makamnya) dianggap bukan makam baru. Kalau bisa dipergunakan, akan disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan peruntukkan bagi warga lain yang akan dimakamkan,” katanya.
Cardi menjelaskan, ketentuan yang ada di dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman mengatur pengurusan pemakaman dapat dilaksanakan secara tumpangan.
Di dalam Pasal 36 ayat 3 Perda tersebut, tertulis, “Pemakaman tumpangan dilakukan di antara jenazah anggota keluarga dan apabila bukan anggota keluarga, harus ada izin tertulis dari keluarga ahli waris atau pihak yang bertanggung jawab atas tanah makam yang ditumpangi.”
Pemakaman tumpang terdiri atas dua macam, yakni pemakaman tumpangan keluarga dan tumpangan kedaluwarsa. Pemakaman tumpang, menurut Pasal 36 ayat 5, dapat dilakukan sesudah jenazah lama dimakamkan paling singkat 3 tahun.
Dalam melangsungkan pemakaman tumpangan keluarga, diperlukan syarat surat izin pemakaman tumpang yang ditandatangai oleh ahli waris keluarga dan anggota keluarga lainnya.
“Agar jelas dan tidak menimbulkan persoalan keluarga di kemudian hari,” ujar Cardi.
Dibandingkan pemakaman pada liang baru, retribusi untuk tumpang keluarga atau tumpang kedaluwarsa lebih murah, yakni 25% dari retribusi makam di liang baru. Nominal biayanya Rp25.000.
Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Pelayanan dan Perpetakan Makam Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Ricky Putra mengatakan, sudah terbit SK penutupan makam baru di 16 TPU di Jakarta, di antaranya TPU Karet Bivak dan TPU Pondok Kelapa. Sebagai solusinya, pihaknya menyarankan masyarakat bersedia menumpang dengan jenazah kerabat yang sudah dimakamkan terlebih dahulu.
“Lagi pun tidak ada larangan di agama Islam untuk menumpang makam. Jadi, mau dimakam di Jakarta bisa, tapi untuk lahan pemakaman baru silakan ke TPU Tegal Alur dan TPU Pondok Rangon,” kata Ricky ditemui di Kantor Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).
Lahan makam terbatas
Makam tumpang itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi lahan pemakaman yang terbatas. Namun, Cardi berkilah, dibandingkan TPU lainnya di Jakarta, TPU Tegal Alur masih punya lahan kosong cukup luas.
Cardi menyebut, TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, punya lahan sekitar 62 hektare. Tapi lahan kosong di sana kemungkinan sudah berkurang, seiring meningkatnya jumlah penduduk.
“Semakin besar jumlah penduduk, makin meningkat juga jumlah kematian,” ujar Cardi.
Lalu, TPU Pondok Kelapa luasnya sekitar 44 hektare, dan TPU Tanah Kusir luasnya 54 hektare. “Tapi sudah sempit, sulit untuk membuka tempat makam di situ,” katanya.
Sementara itu, ada beberapa TPU lain di kawasan Jakarta Barat, seperti TPU Rawa Kopi (1,6 hektare), TPU Utan Jati (2 hektare), dan TPU Basmol (1,03 hektare). Lahan pemakaman TPU itu terbatas. Maka, kata Cardi, pemakaman dialihkan ke TPU Tegal Alur.
Ricky Putra mengatakan, lahan pemakaman di Jakarta sebenarnya sudah direncanakan sejak 1975, ketika masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin.
“Sudah ada SK (surat keputusan) penguasaan lahan. Dalam SK itu sudah diatur mengenai tata ruang di Jakarta, termasuk ruang untuk pemakaman,” kata Ricky.
Ketika itu, sudah direncanakan ruang untuk pemakaman seluas 711 hektare, dari luas seluruh Jakarta. “Yang sudah kami kuasai sepenuhnya ada 600-an hektare.”
Sebenarnya, kata Ricky, lahan pemakaman itu masih tersedia. Namun, menurutnya, kepadatan di area pemakaman disebabkan karena lokasinya. Dia mengatakan, TPU di Karet Bivak, TPU Pondok Kelapa, dan TPU Petamburan sudah penuh, karena banyak peminatnya.
“Tak jauh sebenarnya dengan properti,” kata dia.
Senada dengan Cardi, TPU Tegal Alur dan beberapa TPU lainnya yang lokasinya jauh dari pusat Kota Jakarta, kata Ricky masih tersedia lahan yang cukup luas. Ricky pun menjamin, meski lahan pemakaman terbatas, warga Jakarta masih bisa dimakamkan di ibu kota.
“Lihat, ada tidak cerita orang Jakarta tidak bisa dimakamkan di Jakarta? Tidak ada. Artinya, orang Jakarta kalau mati masih bisa dikubur. Paramaternya begitu,” ujar dia.
Ricky tak tahu persis berapa hektare ketersediaan lahan pemakaman di TPU Tegal Alur. Dia memastikan, ketersediaan di TPU ini masih luas sekali. “Kami juga baru saja melaksanakan pemadatan tanah di Tegal Alur. Karena posisinya berair,” kata dia.
Setiap tahun, sebut Ricky, sudah ditargetkan pembebasan lahan 10 hektare di wilayah Jakarta untuk pemakaman.
Di sisi lain, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, kebutuhan pengelolaan lahan untuk pemakaman memang sangat mendesak dilakukan. Menurutnya, keberadaan TPU yang dekat dengan pusat permukiman warga, sudah jelas semakin berkurang.
Itulah sebabnya, lanjut Yayat, keberadaan TPU di pinggiran Jakarta, seperti TPU Tegal Alur, menjadi pilihan. Akan tetapi, kata dia, lahan potensial untuk pemakaman harus terus diusahakan, demi menjamin ketersediaan bagi warga.
“Alternatif warga untuk memakamkan kerabatnya adalah dengan memilih pemakaman privat, seperti di San Diego Hills, Karawang, atau dengan cara kremasi. Tak sedikit pula yang dimakamkan di kampung halaman,” ujar Yayat saat dihubungi, Rabu (6/2).
Selain itu, kata Yayat, pelayanan pemakaman melalui yayasan dan tanah wakaf menjadi pilihan lain. Beragam cara tersebut, menurut Yayat, merupakan siasat pilihan warga kota untuk mengebumikan kerabat mereka.
“Apalagi, mereka terhalang untuk mendapatkan lahan pemakaman yang dekat dengan permukiman atau pusat Jakarta,” katanya.
Yayat berharap, potensi lahan kosong untuk pemakaman, seperti di TPU Tegal Alur, dikembangkan lagi dengan pembebasan lahan. “Juga diolah, sebagian di TPU Tegal Alur itu juga masih rawa-rawa, jadi perlu dikeruk,” katanya.
Pemisahan lahan
TPU Tegal Alur terbagi menjadi dua lokasi, yakni makam unit Muslim di sisi selatan Jalan Benda Raya dan makam unit Kristen di sisi utara Jalan Benda Raya. Menurut Cardi, pembagian lokasi menjadi dua unit itu ditentukan Dinas Kehutanan Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta.
Ketentuan itu sudah ada sejak TPU Tegal Alur dibuka. Dia merinci, makam untuk warga Muslim seluas 54 hektare, sedangkan makam untuk warga Kristen seluas 10 hektare.
“Makam unit Kristen juga dapat digunakan bagi warga agama lain, seperti yang beragama Buddha,” kata Cardi.
Menurut Cardi, aturan itu berlaku untuk seluruh TPU di Jakarta. Alasannya, agar kegiatan pemakaman dapat berjalan khidmat menurut tata cara agama masing-masing.
“Supaya tidak boleh tumpang tindih,” ujar Cardi. “Agar satu sama lain tidak terganggu. Misalkan yang satu baca tahlil, sementara yang satunya lagi baca alkitab.”
Sementara itu, Ricky Putra mengatakan, pemisahan lahan pemakaman antarkeyakinan itu tertuang dalam peraturan SK Peruntukan, yang terbit sejak zaman Ali Sadikin. Di dalam aturan itu, kata dia, TPU Karet Bivak memang diperuntukkan untuk makam warga beragama Islam. Sedangkan di TPU Pondok Rangon ada warga Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Dan, di TPU Pondok Kelapa ada warga Islam dan Kristen.
“Jadi, kita mengikuti aturan sejak dulu, bukan baru-baru ini,” kata dia.
Ricky menuturkan, kasus di TPU Karet Bivak yang hanya memakamkan warga beragama Islam, karena mulanya tanah untuk pemakaman itu merupakan tanah wakaf dari penduduk di sekitar daerah tersebut, yang beragama mayoritas Islam. Kemudian diserahkan ke pemerintah untuk dikelola.
“Lalu, kenapa makam Muslim dipisahkan? Itu wajib hukumnya, karena makam Muslim semuanya menghadap kiblat, kalau Kristen sisi makam kepala bertemu dengan kepala, kaki bertemu dengan kaki. Intinya, kita menyediakan lahan makam untuk agama yang disahkan pemerintah,” kata Ricky.
Aturan pemisahan itu tertuang pula di Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman. Selanjutnya, Ricky menerangkan, pihaknya tengah menggodok peraturan gubernur tentang pemakaman.
Salah satu isi pergub itu, kata dia, akan mengatur mengenai antisipasi pemakaman di Jakarta yang kemungkinan disulap menjadi bisnis komersial atau diswastanisasi.
“Itu harus diminimalisir. Jangan sampai hak mendapatkan pemakaman warga Jakarta dikomersilkan,” ujar Ricky.