Percepatan program kendaraan listrik akan mendukung pengurangan impor BBM dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Stop impor BBM khususnya gasoline diharapkan dapat terjadi sebelum 2030. Ke depan, pemanfaatan kendaraan listrik ditargetkan meningkat signifikan, sekaligus mendukung target net zero emission di tahun 2060.
"Untuk mengatasi impor BBM solar, telah sukses melalui impelementasi kebijakan mandatori B30 atau pencampuran 30% biodiesel pada solar. Sedangkan mengatasi impor dan peningkatan demand BBM gasoline kedepan, salah satu upaya-nya melalui percepatan kendaraan listrik," ungkap Koordinator Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian ESDM Ariana Soemanto, seperti dilansir dari esdm.go.id, Minggu (12/12).
Proyeksi Kementerian ESDM dalam Grand Strategi Energi Nasional, pada 2030 jumlah mobil listrik ditargetkan sekitar 2 juta unit, dan motor listrik sekitar 13 juta unit. Pada tahun yang sama, target penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sekitar 30.000 unit dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik (SPBKLU) sekitar 67.000 unit.
Berbagai upaya mendukung percepatan program kendaraan listrik telah disiapkan, antara lain sebagai berikut. Pertama, terkait aspek regulasi, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery electric vehicle) untuk Transportasi Jalan, dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 13 tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Kedua, terkait insentif perpajakan juga diterapkan PPnBM 0% untuk kendaraan bermotor berteknologi Battery Electric Vehicles (BEV) atau fuel cell electric vehicle.
Ketiga, terkait industri kendaraan listrik, sedang dibangun pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang Jawa Barat. Untuk mendorong hilirisasi mineral, melalui Indonesia Battery Corporation (IBC), ekosistem industri kendaraan listrik dibangun mulai dari pertambangan, mengingat produksi nikel Indonesia salah satu yang terbesar dunia.
Keempat, terkait SPKLU juga telah disiapkan tiga skema bisnis. Secara umum, ada skema provider (Badan Usaha SPKLU menyediakan listrik sendiri dan menjual ke konsumen kendaraan listrik), atau skema retailer (Badan Usaha SPKLU membeli listrik dari PLN/Wilus lain dan menjual listriknya ke konsumen kendaraan listrik), atau skema kerjasama (menjadi mitra PLN/Wilus lain dalam menjual listrik ke konsumen kendaraan listrik). Terkait regulasi SPKLU lebih detail terdapat pada Permen ESDM Nomor 13/2020.
Kelima, terkait biaya charging kendaraan listirk, PLN memberikan diskon tarif listrik 30% bagi para pemilik mobil listrik di malam hari mulai pukul 22.00 hingga 05.00 (home charging). Selain itu, pemilik mobil listrik juga bisa mendapatkan biaya tambah daya listrik di rumah yang lebih murah. Sedangkan untuk charging di SPKLU, fast charging atau ultra fast charging tarifnya sekitar Rp2.460 per kWh atau relatif murah dibandingkan di negara-negara lain yang rata-ratanya sekitar Rp5.000 per kWh. Di Amerika tarifnya kisaran Rp4.010 sampai dengan Rp10.247 per kWh.
Keenam, benefit bagi pengguna mobil listrik. "Biaya bahan bakar kendaraan listrik lebih murah. Misalnya jarak tempuh kita sehari 30 kilometer. Kalau mobil konvensional jarak 30 kilometer itu, konsumsi Pertalite sekitar 2,5 liter atau Rp20.000. Nah, kalau pakai kendaraan listrik biayanya hanya sekitar Rp7.000, plus bebas emisi dan ramah lingkungan. Benefit lainnya, jika pakai kendaraan listrik terbebas aturan ganjil genap," ungkap Ariana.