Sebuah video viral di media sosial pada Rabu (8/1), memperlihatkan beberapa orang yang hendak membuat konten di kawasan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, Jakarta Selatan. Namun, ada seorang pria menghampiri dan harus meminta izin terlebih dahulu kepada ormas Pemuda Pancasila. Setelah sempat ada tanya-jawab, akhirnya beberapa orang yang ingin membuat konten itu meninggalkan lokasi.
Belakangan diketahui, pria yang menanyakan izin itu adalah anggota Pemuda Pancasila bernama Rifkyman. Dikutip dari Antara, pada Minggu (12/1), dia sudah meminta maaf dalam sebuah video yang dibagikan Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Aksi premanisme di ruang publik di Jakarta, juga tersamarkan dalam penguasaan tempat parkir, dengan memungut bayaran kepada pengunjung. Hal itu dialami Yusuf, 25 tahun. Dia diminta bayaran parkir sebesar Rp10.000 sewaktu mengunjungi taman di dekat Masjid Hasyim Asy'ari, Daan Mogot, Jakarta Barat.
“Tiba-tiba ada yang narik bayaran, gayanya kayak preman. Tapi enggak tahu dari ormas atau kelompok mana,” kata Yusuf kepada Alinea.id, Rabu (15/1).
Ketimbang cari perkara, dia memilih membayar parkir daripada harus berselisih dengan kelompok tukang parkir di sana.
“Sudahlah, ikhlasin aja duit Rp10.000 ini. Tapi, udahlah jangan ke sana lagi kalau malam Minggu,” ujar Yusuf.
Dia mengaku kapok datang ke lokasi yang sama. Yusuf menduga, aksi premanisme yang marak di beberapa titik di Jakarta Barat punya kaitan dengan angka pengangguran yang tinggi karena banyak pabrik di Cengkareng dan sekitarnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menilai, kehadiran preman di ruang publik bisa jadi merupakan tanda ketidakhadiran negara dalam menjaga dan mengamankan warga. Akhirnya, preman mengambil alih ruang publik untuk mengubahnya menjadi aset mencari uang.
“Pejabat kita punya kecenderungan menjaga ruang atau fasilitas publik ketika ada tujuan untuk pencitraan,” kata Asep, Rabu (15/1).
“Kalau sudah pencitraannya, enggak dijaga ruang publik itu.”
Dia melanjutkan, bisa pula preman yang menguasai ruang publik dapat restu dari oknum aparat untuk memburu rente. Dalam kasus premanisme di Jakarta, kata Asep, preman berkedok ormas banyak “dipelihara” oknum aparat untuk menjadi perpanjangan tangan dalam menggalang uang.
“Jadi dibiarkan oleh aparat. Itu terjadi di banyak tempat,” ujar Asep.
Bisa juga, ujar Asep, elite politik menggunakan ormas atau preman untuk menekan kelompok yang kritis terhadap pemerintah. “Itu jamak terjadi. Kalau sekarang, ormas itu menjadi sayap partai,” tutur Asep.
Asep mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan warga untuk menangani aksi premanisme di ruang publik adalah dengan membuat viral. Menurut dia, dengan masifnya media sosial, viral menjadi senjata utama publik untuk mengungkap kejahatan.
"Cara ini terbukti efektif," kata Asep.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah memandang, ruang publik dikuasai kelompok tertentu karena saat ini pemaknaannya sudah mengalami bias. Semula ruang publik menjadi akses bagi warga, lalu sekarang menjadi ruang untuk mencari untung sebesar-besarnya.
“Hal ini terjadi karena lemahnya aturan pemanfaatan ruang publik. Paling hanya imbauan tidak boleh ini dan itu. Tapi tidak pernah ada sanksi tegas harus bagaimana,” ucap Tantan, Rabu (15/1).
Tantan mengatakan, dalam praktiknya banyak ruang publik yang dikuasai atau “dikuasakan” kepada kelompok tertentu. Sebabnya, negara tidak mampu hadir menjaganya untuk kepentingan publik.
“Padahal ruang publik itu harus nyaman dan aman, bisa dinikmati oleh publik,” ujar Tantan.
Lebih lanjut, Tantan menjelaskan, cara mencegah premanisme adalah masyarakat harus proaktif menjaga ruang publik agar tidak disalahgunakan menjadi ladang penarikan uang ilegal. Selain itu, aparat juga harus tegas menindak aksi premanisme dan tidak main mata dengan preman.
“Kalau ruang publik dibiarkan dianeksasi oleh sekelompok orang untuk kepentingan premanisme, nantinya publik sulit lagi mengaksesnya secara gratis,” kata Tantan.