close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi AI./Foto DeltaWorks/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi AI./Foto DeltaWorks/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Teknologi
Sabtu, 10 Agustus 2024 06:04

AI bisa mendeteksi lansia yang kesepian

Penelitian ini menawarkan metode baru yang menjanjikan untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesepian.
swipe

Kesepian menjadi ancaman kesehatan global yang mendesak. Hal itu dilontarkan World Health Organization (WHO) pada medio November 2023. Masalah kesepian disebut-sebut membawa dampak kematian setara dengan merokok 15 batang sehari. Maka, WHO merasa perlu membentuk komisi internasional mengenai problem itu.

Pada orang lanjut usia (lansia), kesepian dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena demensia sebesar 50% dan peningkatan risiko terkena penyakit arteri koroner atau stroke sebesar 30%.

Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan berpotensi mendeteksi kesepian pada lansia. Itulah inti dari penelitian yang dilakukan ilmuwan asal China dan Amerika Serikat, yang diterbitkan jurnal Psychiatry Research (Juli, 2024).

Caranya, dengan menganalisis ucapan yang tidak terstruktur. Penelitian ini, sebut PsyPost, menawarkan metode baru yang menjanjikan untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesepian, terutama pada lansia, lewat analisis yang cermat tentang cara orang berkomunikasi.

Riset itu melibatkan 97 lansia, dengan rentang usia 66 hingga 101 tahun, yang tinggal sendirian di perumahan manula di California bagian selatan, Amerika Serikat. Data sosiodemografi, mencakup usia, jenis kelamin, ras, pendidikan, dan status pernikahan, dihimpun lewat wawancara klinis.

Alat penilaian utama untuk menilai kesepian adalah UCLA Loneliness Scale (versi 3), survei laporan mandiri yang terdiri dari 20 item yang divalidasi untuk mengukur berbagai aspek fungsi sosial, tanpa secara eksplisit menggunakan kata “kesepian”. Peserta dikategorikan mengalami kesepian atau tidak berdasarkan skor mereka pada skala ini.

Lalu, wawancara kualitatif mencakup topik utama, seperti hubungan sosial, kesepian, penuaan, makna dan tujuan hidup, kebijaksanaan, dan penggunaan teknologi. Wawancara ini kemudian direkam dan ditranskrip.

Menggunakan fitur linguistik yang diekstrak dari transkrip wawancara, para peneliti mengembangkan model AI berdasarkan jaringan saraf transformator. Teknik AI yang dapat dijelaskan kemudian digunakan untuk mengidentifikasi aspek mana dari data wawancara yang paling menunjukkan kesepian. Analisis ini mengungkapkan, elemen semantik dan non-semantik dari ucapan merupakan indikator yang signifikan.

Elemen semantik dari penuturan, yang berhubungan dengan makna dan isi kalimat, mengungkapkan individu yang kesepian sering kali merujuk pada status sosial, agama, dan mengekspresikan lebih banyak emosi negatif.

“Misalnya, dalam wawancara tentang makna dan tujuan hidup, partisipan yang kesepian sering kali menyebutkan status sosial dan agama lebih menonjol. Hal ini menunjukkan, individu tersebut mungkin mencari validasi atau kenyamanan dalam area-area itu,” tulis PsyPost.

“Sebaliknya, individu yang tidak kesepian sering berbicara tentang keluarga dan gaya hidup, yang menunjukkan fokus pada koneksi dan aktivitas sosial yang mungkin berkontribusi pada rasa kepuasan dan komunitas mereka.”

Selain itu, para peneliti menemukan, orang yang kesepian lebih sering menggunakan kata ganti orang pertama tunggal, seperti “saya”, yang mencerminkan perspektif yang lebih berfokus pada diri sendiri. Sebaliknya, orang yang tak kesepian menggunakan kata ganti orang pertama jamak, seperti “kami”, yang menunjukkan rasa keterlibatan dan hubungan yang lebih besar dengan orang lain.

“Kami menemukan, kata-kata yang tidak bertema sosial juga mencerminkan kesepian, tergantung pada berbagai jenis pertanyaan dan petunjuk wawancara,” kata salah seorang peneliti yang bekerja di Departemen Psikiatri University of California San Diego, Ellen Lee, kepada PsyPost.

Kata-kata dalam percakapan, misalnya “uh” dan “um”, kata-kata yang tidak lancar, misalnya pengulangan, dan bahasa gaul internet, misalnya “lol”, lebih umum dalam tuturan individu yang kesepian.

“Terlebih lagi, penggunaan konjungsi sebab-akibat, misalnya ‘karena’ atau ‘oleh karena itu’ lebih umum terjadi pada individu yang kesepian,” tulis PsyPost.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan