close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi. Istimewa
icon caption
ilustrasi. Istimewa
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 25 November 2022 20:28

Akademikus bocorkan metode menghindari pelecehan di internet

Untuk itu, Bevaola menyarankan kepada pengguna media sosial untuk tidak mudah memberikan informasi pribadi ke media sosial.
swipe

Akademisi memandang banyak korban pelecehan seksual yang tidak berani melaporkan ke aparat penegak hukum. Pasalnya, kebanyakan dari mereka merasa ketakutan dan malu apabila melaporkan kasus yang dialaminya tersebut. 

Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Yogyakarta Bevaola Kusumasari mengatakan, hal itu terjadi karena ada stigma di masyarakat bahwa korbanlah yang memancing timbulnya pelecehan seksual yang dialaminya. Tidak semua pengguna internet, khususnya media sosial, memahami etika digital yang berakibat kerap terjadinya tindakan kejahatan, termasuk pelecehan seksual.

“Selain itu, ada rasa trauma yang menghantui korban dan memilih menahan diri untuk tidak membicarakannya,” kata Bevaola dalam diskusi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, yang dikutip Jumat (25/11).

Selain itu, kesadaran akan keamanan digital, terutama yang menyangkut data pribadi di ruang digital, masih minim sehingga berpotensi menimbulkan ancaman pelecehan seksual. Apabila tidak dicegah, aktivitas yang melanggar hukum ini akan berdampak buruk bagi pengguna media sosial, khususnya anak-anak dan remaja.

Untuk itu, Bevaola menyarankan kepada pengguna media sosial untuk tidak mudah memberikan informasi pribadi ke media sosial. Apabila terlanjur menjadi korban pelecehan seksual, ia menyarankan agar melapor ke LBH APIK, Komnas Perempuan, atau ke Hollaback Jakarta. Agar trauma tidak berkelanjutan, bisa berkonsultasi ke psikolog dan psikiater.

Ketua Yayasan Drahma Alfa Hudaya Oki Hikmawan mengatakan, tidak semua pengguna media sosial memahami etika sehingga membuka peluang terjadinya tindakan kejahatan, termasuk dengan pelecehan seksual digital. Kejadian ini sering ditemukan pada usia remaja 15-17 tahun atau 18-21 tahun. Jenis pelecehan yang sering terjadi adalah pelecehan gender, perilaku menggoda, penyuapan seksual, atau pemaksaan pelanggaran seksual. 

“Sementara jenis-jenis pelecehan seksual di media sosial yang kerap terjadi adalah sexting, penyuapan seksual, body shaming, dan scammer,” ujarnya.

Penanganan kasus kekerasan berbasis gender online di Indonesia, menurut Oki, masih sangat terbatas karena belum ada payung hukum yang jelas. Kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus ini pun masih kurang. Sehingga tak jarang banyak korban justru malah dikriminalisasi karena melapor.

Agar tak terjebak menjadi korban kekerasan seksual di ruang digital, hal yang bisa dilakukan adalah membatasi mengumbar informasi pribadi, terutama foto diri, di media sosial. Lalu, hindari forum atau komunitas digital yang memancing kekerasan siber atau memblokir situs dan konten yang melanggar norma kesusilaan. 

“Atau manfaatkan fitur Google Alerts yang memfasilitasi pemberitahuan e-mail yang dikirim setiap Anda atau nama keluarga muncul secara online,” katanya.

Maka dari itu, CEO Papeja Media Group Joko Suryono mengingatkan penggunaan media sosial sebaiknya untuk hal-hal yang positif dan produktif. Sebaiknya, media sosial tidak dijadikan wadah untuk memamerkan diri atau penumpahan masalah. Segala informasi yang bersifat pribadi sebaiknya tidak diumbar ke media sosial. 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan