close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi cinta beda agama. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi cinta beda agama. Alinea.id/Bagus Priyo.
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 03 April 2021 13:46

Akhir tragis cinta beda agama Pierre Tendean dan Rukmini Chamim

Hubungan cinta beda agama dijalani Pierre Tendean dan Rukmini Chamim selama kurang lebih tiga tahun.
swipe

Lima tahun menjalin hubungan, akhirnya kisah cinta putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dengan Felicia Tissue kandas. Beberapa waktu lalu, ibu Felicia, yakni Meilia Lau mengungkapkan kekesalannya di media sosial karena Felicia diputuskan tanpa kabar oleh Kaesang. Meilia menyebut, Kaesang berjanji menikahi Felicia pada Desember 2020.

Kenyataannya, Kaesang malah menghilang pada Januari 2021. Diduga, hubungan kedua pasangan itu berakhir karena beda agama. Kaesang diduga tak dapat restu dari keluarganya.

Cinta beda agama pun pernah dijalani tiga tokoh pahlawan nasional, seperti dr. Soetomo, Sutan Sjahrir, dan Pierre Tendean.

Menurut Dhahana Adi dalam Surabaya Punya Cerita volume 1 (2014), Soetomo menikahi janda berkebangsaan Belanda bernama Everdina Bruring pada 1917. Ketika itu, Everdina bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Blora, Jawa Timur. Sedangkan Soetomo menjadi dokter pemerintah, setelah lulus pada 1911 dari School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA).

Meski tak pernah dikarunia anak, hubungan mereka awet hingga ajal menjemput. Everdina meninggal pada 1934. Sedangkan Soetomo wafat pada 1938.

Sutan Sjahrir pernah menikah dengan perempuan Belanda bernama Maria Johanna Duchateau. Perempuan itu dikenalnya sewaktu Sjahrir menimba ilmu di Belanda pada 1929-1931. Menurut Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010), Maria adalah istri sahabat Sjahrir sendiri, yakni Salomon Tas—seorang Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat.

Pada akhir 1931 Sjahrir pulang ke Indonesia. Maria menyusulnya beberapa bulan kemudian. Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1994), Sjahrir dan Maria menikah di Medan pada 10 April 1932.

Pernikahan ini tak berlangsung lama. Hubungan mereka tak disukai orang-orang Belanda. Pernikahan Maria dan Salomon Tas pun dianggap belum berakhir. Akhirnya, Maria dipaksa balik ke Belanda.

Cinta Pierre dan Rukmini di Medan

Rukmini Chamim dan Pierre Tendean tengah duduk di sebuah gazebo rumah peristirahatan di Prapat, Sumatera Utara pada awal 1965./Foto repro buku Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi (2019).

Tak hanya Sjahrir, Kota Medan juga punya arti lebih untuk Pierre Tendean. Setelah lulus dari Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung, Pierre hijrah ke Medan pada penghujung 1962. Ia bertugas dalam satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan.

Seorang gadis keturunan Jawa yang tinggal di Medan, Nurindah Rukmini Chamim mampu menggaet hati Pierre. Mimin, begitu nama panggilannya, menurut Abie Besman dkk dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi (2019) dikenal Pierre saat ia dan beberapa koleganya mengunjungi rumahnya. Sejak perkenalan pertama, ia rajin berkunjung ke rumah keluarga Chamim. Perkenalan pertama rupanya langsung membuat Pierre jatuh cinta.

Disebutkan di dalam buku Sang Patriot, Pierre dan Rukmini terpaut usia delapan tahun. Sewaktu berkenalan, Rukmini masih duduk di bangku SMA, berusia 16 tahun. Sementara Pierre berusia 24 tahun.

Rukmini adalah anak sulung Raden Chamim Rijo Siswopranoto—seorang wiraswasta terpandang di Sumatera Utara. Keluarga besarnya termasuk dalam Barisan Muhammadiyah Kota Medan dan Yogyakarta. Keluarga ini dikenal sebagai penganut Islam yang taat.

“Saat Pierre tengah merindukan suasana kampung halaman di Semarang atau ketika kangen masakan khas Jawa buatan ibunya, kerinduan itu sedikit terobati dengan kehadiran Rukmini berserta keluarganya,” tulis Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna dalam Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean (2018).

“Kelihaian Mimin dan keluarga dalam meracik masakan Jawa yang memanjakan lidah Pierre merupakan elemen penting dalam kehidupan Pierre kala merantau di Medan.”

Selama di Medan, Pierre kerap surat menyurat dengan keluarganya di Semarang. Dalam salah satu suratnya ke kakaknya, Mitzi Farre Tendean, ia mengaku sudah ketemu jodoh. Mitzi kemudian menasihati Pierre. “Pierre, kalau orang mau berumah tangga, yang terpenting adalah restu dari orang tua,” kata Mitzi seperti diungkap Masykuri dalam buku Pierre Tendean (1983).

Hanya enam bulan Pierre di Medan. Ia dan beberapa rekannya dipanggil ke Bogor pada akhir Juni 1963 untuk ikut pelatihan di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel) TNI Angkatan Darat. Usai lulus, Pierre yang berpangkat letnan dua itu ditugaskan memimpin kelompok sukarelawan yang akan mengadakan penyusupan ke daerah Malaysia.

Kala itu, Indonesia tengah melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Ketegangan ini bermula ketika Sukarno menolak pembentukan Federasi Malaysia pada awal 1963, yang disebutnya sebagai boneka Inggris. Dalam konfrontasi ini dilakukan Operasi Dwikora. Pierre bertugas sebagai mata-mata. Ia diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DPIAD), yang bermarkas di Selat Panjang, Riau.

Lantaran anak laki-laki satu-satunya di keluarga, ibu Pierre, Maria Elisabeth Cornet khawatir nyawa anaknya melayang dalam tugas spionase. Maria, yang kebetulan kawan baik mertua Menteri Kordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menhankam/KSAB) Jenderal Abdul Haris Nasution, memohon kepada Nasution untuk menarik Pierre dari garis depan.

Masykuri menulis, permohonan itu dikabulkan. Pierre kemudian ditarik ke Jakarta dan pada 15 April 1965 pangkatnya dinaikkan menjadi letnan satu. Ia diberi tugas baru: menjadi ajudan Nasution.

Tragedi berdarah memisahkan Pierre-Rukmini

Pierre Tendean dan Rukmini saat menikmati suasana di tepi Danau Toba, Sumatera Utara./Foto repro buku Sang Patriot: KIsah Seorang Pahlawan Revolusi (2019).

Long distance relationship antara Pierre dan Rukmini terus berjalan. Mereka kerap berkirim surat. Kota Medan menjadi tempatnya berkunjung ketika ada kesempatan cuti tugas, selain kampung halamannya di Semarang. Menurut Abie Besman dkk, pada September 1964 Pierre menyempatkan terbang ke Medan untuk menghadiri ulang tahun Rukmini yang ke-17.

Masykuri menulis, pada 31 Juni 1965 Pierre mendampingi Nasution ke Medan. Kesempatan bertandang di Kota Melayu Deli dimanfaatkan Pierre mengunjungi kekasihnya.

Sebelum bertolak kembali ke Jakarta, Pierre mengadakan pertemuan khusus dengan keluarga Chamim. Ahmad dan Agus menulis, Pierre dan keluarga Chamim menentukan tanggal pernikahan.

Meski begitu, masih ada tembok besar yang menghadang cinta mereka: perbedaan agama. Menurut Abie Besman dkk, Rukmini meragukan kelanjutan hubungannya dengan Pierre. Ia hanya bersedia melanjutkan hubungan ke tahap serius dengan pemuda yang punya keyakinan sama.

Dalam benak Pierre juga berkecamuk masalah itu. Masing-masing sukar melepas keyakinannya. Di sisi lain, ada kode etik TNI yang tak mengizinkan Pierre menikah berbeda agama. Namun, Pierre tak ragu. Ia jalan terus.

Keyakinan Pierre keluarga besarnya di Semarang bakal menerima calon istrinya itu bertambah besar setelah melihat hubungan cinta beda agama juga terjadi pada adiknya, Rooswidiati.

Roos menjalin hubungan dengan seorang pengusaha asal Bugis bernama Muhammad Jusuf Razak. Hubungan itu berlanjut ke tahap yang lebih serius setelah ayah Pierre, A.L. Tendean, memberikan lampu hijau.

Pada 2 Juli 1965 pernikahan Roos dan Razak berlangsung di Semarang. Sebelumnya, Roos memilih mengikuti keyakinan Razak.

Tak ada yang menyangka, acara kumpul keluarga besar di Semarang itu menjadi yang terakhir bagi Pierre. Menurut Ahmad dan Agus, dua hari sebelum diculik, Pierre sempat mengungkapkan niatnya menikah dengan Rukmini kepada iparnya, Razak.

Masykuri dalam bukunya menjabarkan dua versi penculikan Pierre. Menurutnya, pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB Nasution dan istrinya belum tidur karena diganggu nyamuk. Saat itu, empat truk yang memuat orang-orang berpakaian Tjakrabirawa dan satuan lain berpakaian loreng datang ke kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Setelah menyergap penjaga rumah Nasution, pasukan itu masuk ke dalam. Istri Nasution melihat seorang siap menembak, kemudian ia mengunci pintu kamar. Nasution membuka pintu dan tiga orang menembak. Pintu kamar ditutup lagi.

Anak Nasution, Ade Irma Suryani tertembak saat dibawa adik perempuan Nasution, Mardiah, untuk diselamatkan dari kamar itu. Nasution berhasil lolos ke luar kamar diantar istrinya menuju kamar mandi, lalu melompat melewati tembok.

Akibat suara tembakan, Pierre yang tidur di paviliun terbangun. Ia kemudian mengisi senjatanya dengan peluru dan keluar. Namun, baru lima meter di muka paviliun, Pierre ditangkap gerombolan penculik. Beberapa orang anggota pasukan penculik menyatakan, ia Nasution.

Versi kedua yang ditulis Masykuri, Pierre yang tidur di paviliun terbangun karena mendengar rentetan tembakan di kamar Nasution pada 1 Oktober 1965 menjelang subuh. Tembakan itu mengenai Ade Irma Suryani.

Pierre bergegas bangun dan lari menuju ruang depan. Nasution berhasil lolos dengan meloncati tembok menuju pekarangan tetangganya. Pierre kemudian kepergok anggota penculik. Ketika ditanya, Pierre menjawab dirinya ajudan Nasution. Akan tetapi, kata “ajudan” yang disebut Pierre tak terdengar, sehingga mereka menganggap ia adalah Nasution.

Beberapa tahun kemudian, salah culik itu diragukan beberapa pihak. “Kalau tentara Istana pastilah kenal betul wajah Nasution oleh karena Nasution sebagai KSAB hampir tiap hari bolak-balik ke Istana menemui Bung Karno,” tulis buku Ada Apa di Balik Soeharto dan Jenderal AH Nasution (1998).

Selain Pierre, gerombolan penculik membawa tiga perwira yang masih hidup, yakni Letjen Siswondo Parman, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Letjen R. Suprapto, serta tiga perwira yang sudah meninggal, yakni Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Donald Isaac Panjaitan, dan Letjen Mas Tirtodarmo Haryono ke Lubang Buaya.

Di Lubang Buaya, menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2006), perwira yang masih hidup, tewas ditembak. Lalu, jenazah mereka dilempar ke dalam sumur mati.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo.

“Siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu masih belum diketahui. Penuturan rezim Suharto bahwa ketujuh perwira itu disiksa dan disayat-sayat oleh massa pendukung PKI yang kegirangan, sementara perempuan-perempuan dari Gerwani menari-nari telanjang merupakan rekayasa absurd bikinan para ahli perang urat saraf,” tulis John Roosa.

Rencana Pierre menikah pun kandas. Mirisnya, maksud keluarga Chamim untuk menikahkan Pierre dan Rukmini baru diketahui keluarga besar setelah Pierre gugur.

“Keluarga Chamim mengirim telegram yang menyebut akan menikahkan Rukmini dengan Pierre pada 21 November 1965,” tulis Ahmad dan Agus.

Rukmini hadir dalam perayaan Hari Kesaktian Pancasila pada 1967 di Lubang Buaya. Ia sempat dipeluk Bung Karno. Pada 1972, Mimin menikah dengan seorang karyawan bank. Ia lalu dikaruniai tiga orang anak.

“Ibu Rukmini meninggal sekitar Juli 2019,” ujar Ahmad Nowmenta Putra, salah seorang penulis buku Jejak Sang Ajudan saat dihubungi, Kamis (1/4).

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan