close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kerukunan umat beragama di Indonesia. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi kerukunan umat beragama di Indonesia. Alinea.id/Firgie Saputra
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 30 Juli 2024 16:04

Alarm intoleransi dari Tangerang

Dua insiden yang terkait intoleransi antarumat beragama terjadi di Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan.
swipe

Beberapa waktu lalu, viral video di media sosial soal pembubaran jemaat Yayasan Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Thesalonika oleh sekelompok orang di Desa Kampung Melayu Timur, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten dari salah satu rumah. Namun, menurut Kapolres Metro Tangerang Kota, Zain Dwi Nugroho, dikutip dari Antara, insiden itu adalah peristiwa lama yang sudah diselesaikan.

Pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tangerang, KH. Maski, juga dilansir dari Antara menyebut, kejadian itu berlangsung paa akhir Maret 2024. Mediasi sudah dilakukan dan hasil pertemuan mengungkap, secara administrasi rumah yayasan itu belum memiliki persyaratan perizinan sebagai rumah ibadah yang disyaratkan dalam surat keputusan bersama (SKB) 2 menteri. Selain itu, Pemkab Tangerang memfasilitasi tempat ibadah sementara di aula lama Kantor Kecamatan Teluknaga.

Di samping insiden tersebut, pada awal Mei 2024 sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) diserang sejumlah warga saat tengah ibadah di rumah kontrakan di Tangerang Selatan. Akibat kejadian itu, beberapa orang terluka terkena sabetan senjata tajam.

Menanggapi kasus intoleransi yang terjadi belakangan di Tangerang Raya itu, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai, hal itu merupakan alarm untuk mewaspadai politik identitas yang bakal dimanfaatkan kontestan pilkada di Tangerang Raya dan Banten.

“Sebab, memang karakter Tangerang dan Banten ini serupa dengan Jawa Barat, yang banyak terdapat kalangan konservatif agama. Sebagaimana di Cilegon dan Serang,” ucap Halili kepada Alinea.id, Jumat (26/7).

Menurut Halili, kalangan konservatif agama sering bertindak intoleran di Banten. Terutama di Cilegon dan Serang. Selain itu, kata dia, kasus intoleransi di Tangerang Raya juga menunjukkan, ada persoalan pengelolaan keragaman yang buruk.

“Harusnya Banten sebagai daerah yang sangat berdekatan dengan ibu kota (Jakarta) menunjukkan gejala keberagaman sebagai etalase Indonesia,” ujar Halili.

Halili mengatakan, kasus intoleransi yang terjadi di Tangerang Raya bisa menjadi sinyal politis tertentu bagi kontestan yang ingin menggunakan politik identitas untuk kepentingan Pilkada 2024 di Tangerang dan sekitarnya.

“Apa yang terjadi di Tangerang Raya itu warning untuk tidak menjadikan agama sebagai instrumen politik elektoral. Jadi, politik identitas keagamaan itu memang harus dihindari,” kata Halili.

Lebih lanjut, ia mengingatkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kepolisian, dan kejaksaan sudah seharusnya memberi perhatian pada penyelenggaraan pilkada di Tangerang Raya. Pasalnya, indikasi kerawanan penggunaan politik identitas sudah mulai terlihat.

“Kita juga mesti dorong kepada politisi untuk tidak mudah menggunakan identitas keagamaan sebagai instrumen politik elektoral dalam Pilkada 2024,” ucap Halili.

Halili menegaskan, aparat penegak hukum mesti bertindak tegas kepada kelompok intoleran yang mengintimidasi kalangan minoritas. Menurutnya, jangan sampai keengganan menindak kalangan intoleran menimbulkan impunitas kepada pelaku, sehingga mendorong peluang berulangnya kasus serupa.

“Sering terjadi ada gejala judical populism, di mana aparat dan hakim itu mengambil tindakan secara keyakinan si mayoritas,” ujar dia.

“Sehingga minoritas yang mesti dilindungi itu justru dikambinghitamkan atas terjadinya kasus intoleran.”

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah mengatakan, meski tindakan intoleran tidak dibenarkan, aparat harus jeli melihat persoalan perselisihan antarumat beragama. Sebab, bisa saja insiden itu dilatarbelakangi persoalan ketertiban yang gagal dikelola.

“Semisal, kawan-kawan dari agama lain, dia melakukan kegiatan keagamaan dan meminta izin, terus dia melakukan aja di tempat umum dan ada kelompok lain yang terganggu,” ucap Tantan, Jumat (26/7).

“Namun, tindakan intoleran tidak bisa dibenarkan dalam bingkai NKRI.”

Meski demikian, Tantan yakin kasus perselisihan antarkelompok agama tidak akan menjalar ke hajatan pilkada di wilayah Tangerang dan Banten. Alasannya, masyarakat Indonesia cukup toleran dan menghargai keberagaman.

“Masalahnya, ada segelintir orang yang mencoba ‘mengipas-ngipasi’ (memprovokasi). Nah, kita jangan mudah terpancing,” tutur Tantan.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan