Ali Sadikin memoles wajah Kota Tua
Ketika berkunjung ke Kota Warsawa, Polandia, Ali Sadikin terkesima menyaksikan banyak bangunan berarsitektur klasik berdiri. Saat itu, Ali belum menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ia masih menjadi Menteri Perhubungan Laut, menjabat 1963-1966.
Menurut Arrohman Prayitno, Trubus Rahardiansah, dan Chris Siner Key Timu dalam Ali Sadikin: Visi dan Perjuangan sebagai Guru Bangsa (2004), Ali ke Polandia dalam agenda pengadaan dua kapal selam.
Saking penasarannya, ia lantas bertanya pada orang kedutaan Indonesia di Polandia soal sejarah gedung-gedung tua itu. Mereka menjelaskan, dahulu Warsawa porak-poranda dibom pasukan Nazi Jerman saat Perang Dunia II. Lantas dibangun kembali gedung-gedung yang hancur itu.
“Kunjungan saya ke luar negeri, terus terang berpengaruh pada saya setelah melihat gedung-gedung bersejarah dan merenovasinya,” ujar Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977 (1993) yang ditulis Ramadhan KH.
Bukan cuma di Warsawa Bang Ali terkesan melihat bangunan tua. Kunjungan dia ke Amsterdam, Belanda dan Amerika Serikat di waktu berikutnya, turut membuatnya terkesima.
Pengalamannya itu menginspirasi Ali memberi perhatian pada gedung-gedung lama dan museum-museum di Jakarta, setelah ia menjadi orang nomor satu alias gubernur di Ibu Kota. Keputusan taktis segera dibuat.
Membangun museum
Pertengahan 1968, Bang Ali membentuk Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, lewat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor Ib.10/1/37/68 tanggal 28 Juli 1968. Disebut Ali dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin Gubernur Kepala DKI Jakarta 1966-1977 (1977), tugas pokok dinas tersebut adalah mengadakan penggalian, pemugaran, merawat, dan melindungi benda-benda bersejarah, baik berupa gedung, benda purbakala, naskah, serta membina dan mengembangkan museum-museum.
Melalui dinas tersebut Ali bergerak. Ia sadar, bangunan-bangunan lama di Jakarta adalah sejarah yang sudah lewat. Namun, tak patut dilupakan.
“Supaya kita sadar, penjajahan itu tidak boleh terulang lagi,” ujar Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977. “Dan kalau melihat arsitekturnya, itu mempunyai ciri-ciri khusus.”
Maka, dimulailah penggalian, penelitian, dan pemugaran gedung-gedung peninggalan masa lampau di Jakarta. Untuk pemugaran tak sembarangan. Menurut Ali, kriterianya didasarkan atas nilai arsitektur maupun sejarah.
Ali bukan tipe pemimpin yang banyak cakap, minim aksi. Ia sungguh-sungguh membuktikan janjinya. Di masanya, ada banyak gedung yang dipugar dan dimanfaatkan jadi museum, di antaranya Gedung Kebangkitan Nasional, Gedung Sumpah Pemuda, Gedung Joang 45, Gedung Arsip Nasional, Gedung Cut Meutia, dan eks rumah Mohammad Husni Thamrin.
Lalu dilanjutkan dengan mendirikan Museum Dokumentasi Sastra HB Jassin, Museum Wayang, Museum Tekstil, dan Museum Bahari. “Sampai tahun 1976, museum yang diurus Pemda DKI Jakarta berjumlah tujuh buah,” tutur Ali dalam buku yang sama.
Akan tetapi, bukan perkara mudah menyulap gedung-gedung tua menjadi museum. Ada saja masalah yang mengadang. Misalnya, saat Pemda DKI ingin mengubah bekas Gedung School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputra menjadi Museum Kebangkitan Nasional pada awal 1970-an.
Ketika itu, tempat tersebut sudah dihuni sekitar 1.000 orang yang terdiri dari 196 kepala keluarga. Tempat itu sudah serupa dengan sangkar burung besar. Mereka kadung menghuni tempat itu sejak 1945, mayoritas anggota keluarga Koninklijk Nederlands- Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Solusi paling masuk akal adalah memindahkan warga tersebut.
“Pemerintah menjanjikan mereka permukiman di perkampungan baru di Pedongkelan, Cengkareng. Pengosongan dilakukan bertahap mulai 25 Maret 1973,” tulis Tempo, 7 April 1973.
Di samping mendirikan museum-museum, Ali lantas mengarahkan fokus pada bangunan-bangunan tua di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat—atau yang disebut juga Batavia Lama (Oud Batavia).
“Tentu salah satu bangunan lama yang saya lihat amat penting adalah Museum Kota,” ujar Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta, 1966-1977.
“Lalu, kami menetapkan gedung-gedung yang umurnya di atas 50 tahun lebih, kami perhatikan untuk dipugar, kalau mempunyai arti.”
Upaya—yang pada masa itu disebut restorasi, sekarang revitalisasi—diwujudkan Ali dengan terlebih dahulu menerbitkan dua surat keputusan. Pertama, Surat Keputusan Gubernur Nomor cd.3/1/3-70 tentang pernyataan daerah Taman Fatahillah, Jakarta Barat sebagai daerah di bawah pemugaran yang dilindungi Undang-Undang Monumen pada 21 Oktober 1970.
Kedua, Surat Keputusan Gubernur Nomor 111-b.11/4/54/73 tentang pernyataan daerah Jakarta Kota dan Pasar Ikan, Jakarta Barat dan Jakarta Utara sebagai daerah di bawah pemugaran pada 1973.
Kembali ke abad 18
Lokus utama pembenahan kawasan Kota Tua dilakukan di sekitar Taman Fatahillah. Di dalam denah resmi restorasi tahun 1971 tergambar, lokasi bangunan-bangunan tua yang bakal dipugar ada di sekitar Jalan Kali Besar Timur, Jalan Bank, Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Jakarta Kota, Jalan Tongkol, dan Jalan Lada.
Visi proyek restorasi tersebut adalah mengembalikan kawasan itu pada “wajah” abad ke-18. “Karena abad ke-18 ini bahannya paling lengkap,” kata Kepala Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, Warmansjah dalam Kompas, 20 Februari 1971.
Biaya untuk membangun kembali kawasan Kota Tua, disebut Kompas sebanyak 900.000-1.500.000 dollar AS. Biaya sebesar itu diperoleh dari Yayasan Mitra Budaya Indonesia dan lembaga luar negeri, seperti John Rockefeller Foundation, Asia Society, United Nations Development Programme (UNDP), dan Kementerian Kebudayaan Belanda.
Dua bangunan tua yang menjadi sasaran utama pemugaran adalah Museum Jakarta—disebut pula Museum Kota dan Museum Batavia Lama—dan gedung stadhuis atau balai kota.
Menurut Kompas, dalam rencana, Museum Jakarta bakal diubah menjadi Museum Niaga. Museum ini pun punya sejarah yang panjang. Rohaniwan cum sejarawan Adolf Heuken S.J dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997) menyebut, museum itu dibuka pertama kali pada 1939 oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Gedungnya didirikan di atas tanah bekas gereja Belanda—jadi bukan gedung eks gereja.
Di Museum Niaga akan dipamerkan semua salinan surat perjanjian perdagangan rempah-rempah, kopi, dan teh. Pada 1975, gedung itu menjadi Museum Wayang.
Tentu gedung nan anggun di kawasan Kota Tua yang tak luput dari perhatian Ali adalah bangunan berlantai dua, dengan banyak jendela besar, yang pada masa kolonial dijadikan balai kota atau Stadhuis Batavia.
Menurut Heuken, stadhuis selesai dibangun pada 1712. Gedung megah itu dibangun untuk menggantikan stadhuis kedua (1627-1707) dan stadhuis pertama (1620-1626). Usai kemerdekaan, gedung itu menjadi markas militer Kodim 0503 Jakarta Barat. Sedangkan taman di depannya dijadikan tempat pemberhentian bus dan oplet.
Dalam gagasan Ali, gedung itu akan dikembalikan menjadi stadhuis. Akan tetapi bukan sebagai kantor kepala pemerintahan, melainkan semacam museum. Setiap ruangan akan dipamerkan peralatan rumah tangga, senjata, perhiasan dinding, lukisan, dan sebagainya, sesuai suasana periode tertentu.
“Ruangan yang direncanakan, yaitu ruang Jan Pieterszoon Coen, Diponegoro, Batavia, Faletehan, Pangeran Jayakarya, dan Balai Prajurit Bumiputra,” tulis Kompas.
Heuken menulis, sejak 1974 gedung itu menjadi Museum Sejarah Jakarta. Museum itu, tulis Heuken, memamerkan sebagian barang antik yang sejak 1939 hingga 1973 dipamerkan dalam Museum Batavia Lama.
“Koleksi ini dikumpulkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu), yang didirikan pada 1778. Semula benda-benda antik ini disimpan dalam Museum Nasional di Medan Merdeka,” kata Heuken.
Satu lagi ide yang bakal direalisasikan adalah pembuatan sebuah dermaga di Sungai Ciliwung (sekarang disebut Kali Krukut) di Jalan Kali Besar Timur. Di dermaga tersebut, akan ditempatkan beberapa perahu replika, keranjang berisi rempah-rempah, dan buruh-buruh dengan pakaian abad ke-18.
Ali bukan sekadar memikirkan kawasan tersebut sebagai tempat wisata, tetapi juga ladang mendulang cuan dari turis. Maka, dibangun pula restoran, kedai kopi, bar, toko buku, toko cendera mata, butik batik, dan toko buku memanfaatkan gedung lama dan sudut-sudut di sekitar Taman Fatahillah.
Semisal, toko buku Erasmus Bookshop didirikan di sebelah utara Museum Niaga. Coffee Chocolate House dibangun di dekat dermaga yang direncanakan. Kemudian, toko perhiasan Royal Fifth Antique didirikan di sebelah selatan Museum Niaga. Dan restoran Raffles Restaurant dibangun di pojok Taman Fatahillah sebelah barat. Kini restoran itu bernama Café Batavia.
Menariknya, semua suasana, perabot, barang yang dijual, makanan, minuman, dan pakaian pelayan disesuaikan dengan situasi abad ke-18. Sementara sebagian taman di depan stadhuis direncanakan menjadi tempat menjual minuman khas Indonesia dan es krim. Di depan gedung yang kini jadi Museum Seni Rupa dan Kramik dimanfaatkan sebagai lapangan parkir bagi pengunjung.
Barangkali, yang tak pernah terwujud dari rencana itu adalah pembangunan Masjid Faletehan dan gereja Portugis di sebelah selatan Museum Niaga. Namun, dari semua proyek restorasi zaman Ali Sadikin, ada yang tak kalah menarik, yaitu pembangunan taman di depan Stasiun Jakarta Kota.
Taman itu digarap PT Pembangunan Jaya pada 1972. Disebut Kompas, 2 Maret 1972, bentuk taman itu elips, memiliki panjang 17 meter dan lebar 34 meter. Ada beberapa air mancur berwarna, berbentuk buah-buahan. Sebuah kolam ada di tengah taman, dilengkapi 20 tempat duduk dan 24 lampu taman. Sebuah jam umum yang sudah ada sejak zaman kolonial dipertahankan.
Bertahun-tahun taman indah itu terkubur karena hanya dijadikan jalur perlintasan orang dari stasiun ke depan Museum Mandiri, yang dipenuhi pedagang kaki lima. Sebagian lainnya dijadikan halte bus TransJakarta. Kini, usai direvitalisasi kembali—selesai pada 24 Agustus dan diresmikan 10 September 2022—taman itu kembali bisa dinikmati.