Ambisi Bung Karno mengenalkan makanan Indonesia kepada dunia
Di dalam majalah Varia edisi 30 April 1963, seorang juru foto Varia bernama Khouw Goan Seng mengabadikan riuhnya helatan Konferensi Pacific Area Travel Association (PATA) yang ke-12 di Jakarta. Salah satu yang ia abadikan adalah seorang pedagang sate madura yang tengah melayani pengunjung.
Selain itu, ada pula foto seorang perempuan asing tengah asyik menikmati makanan, seperti ubi goreng, tape, dan tahu goreng yang disajikan di atas meja bambu berkaki pendek. Foto lain memperlihatkan pengunjung yang berkerumun mengantre tuak yang dituangkan dari dalam bumbung.
Konferensi PATA—kepariwisataan daerah Pasifik—yang dikunjungi 350 orang tokoh pariwisata dunia itu diadakan pada 14-22 Maret 1963 di Bandung dan Jakarta. Tak hanya memperkenalkan beberapa objek wisata, konferensi ini dimanfaatkan pula untuk memperkenalkan kekayaan makanan Nusantara dalam pesta makanan dan minuman seluruh Indonesia.
Diplomasi makanan ala Sukarno
Jauh sebelum istilah gastrodiplomasi—upaya diplomasi budaya dengan memanfaatkan makanan sebagai media memperkuat brand awareness bangsa—populer, Presiden Sukarno sudah berambisi memperkenalkan makanan Nusantara kepada dunia. Pesta makanan dan minuman seluruh Indonesia di Konferensi PATA merupakan salah satu contohnya.
Saat perhelatan Games of the New Emerging Forces (Ganefo)—ajang olahraga negara berkembang yang didirikan Sukarno pada akhir 1962 sebagai tandingan Olimpiade—berlangsung di Jakarta pada November 1963, menurut sejarawan makanan Fadly Rahman, Bung Karno bersama Sultan Hamengku Buwono IX yang menjabat Ketua Dewan Pariwisata Indonesia, memotivasi juru masak agar menghidangkan masakan Nusantara untuk para atlet yang bertanding di Ganefo.
“Itu merupakan satu bentuk akumulasi dari orientasi politik pangan Bung Karno sejak 1950-an, yang pada akhirnya menunjukkan makanan sebagai sebuah sarana untuk memperlihatkan identitas kebangsaan,” ucapnya Fadly saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (27/7).
Sebelumnya, dalam sebuah pertemuan dengan istri-istri pejabat di kabinetnya, Sukarno menyampaikan untuk lebih bangga mengedepankan masakan Indonesia.
“Karena ini penting ditunjukkan kepada tamu negara yang datang ke Indonesia sebagai sebuah sarana diplomasi,” kata staf pengajar di Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran (Unpad) itu.
Menurut Fadly, saat itu salah satu pekerjaan rumah bagi negara yang baru merdeka adalah menumbuhkan rasa bangga terhadap makanan Indonesia ketimbang makanan Barat. Sukarno melihat, bangsa Indonesia menyukai sekali makanan Barat, seperti bistik dan kue-kue yang dianggap lebih bergengsi daripada makanan lokal.
“Di sini kalau kita lihat atau cerna, upaya dekolonisasi sudah nyata dicetuskan oleh Bung Karno. Salah satunya melalui makanan,” katanya.
Di dalam bukunya, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), Fadly menulis, meski terdapat motivasi antiimperialisme dan antikolonialisme, resep-resep Eropa tak serta merta disingkirkan, tetapi dimodifikasi bahan dan namanya.
Misalnya kue bangket, selain bahan bakunya diubah dari tepung terigu menjadi sagu basah, namanya pun diubah menjadi kue bangket nasional. Fadly pun menemukan beberapa resep yang terkesan politis.
“Seperti bolu dwikora dan poding dwikora yang menggunakan tepung ararut sebagai bahan baku kue yang berasal dari Eropa itu,” tulisnya.
Dwikora merupakan akronim Dwi Komando Rakyat, seruan komando yang disampaikan Bung Karno ketika bersengketa dengan Malaysia pada 1964.
Usaha mengenalkan makanan Indonesia pun terlihat di iklan-iklan surat kabar. Misalnya, di dalam Varia edisi 13 Maret 1963 terdapat sebuah iklan berjudul The All Indonesian Food and Fruits Festival. Disebutkan, ada lebih dari 300 jenis makanan yang diadakan di Wisma Nusantara pada 19 Maret 1963.
Dokumentasi makanan
Di masa Sukarno, pemerintah juga berusaha mendokumentasikan makanan Nusantara dalam sebuah buku. Menurut Fadly, proyek itu dimulai pada 1961, dengan menunjuk staf Menteri Pertanian Abdul Azis Saleh, yakni Harsono Hardjohutomo sebagai ketua panitianya.
Menurut Fadly di dalam bukunya, Harsono menyebut proyek buku makanan Nusantara itu sesuai dengan instruksi Azis, yakni harus memuat jenis masakan yang tersebar dari Sabang sampai Marauke.
Fadly menulis, tahap pertama, 1961-1962, Harsono bersama timnya mengirimkan angket-angket dengan memanfaatkan bantuan pamong praja, organisasi, dan sekolah perempuan.
Namun, metode itu tak memuaskan panitia lantaran banyak angket yang tak kembali atau kembali dengan mutu jawaban yang tidak memuaskan. Hanya sedikit nama makanan yang diterima, kebanyakan sudah dikenal publik.
Meski begitu, panitia tetap melanjutkan proyek itu. Mereka melakukan pembaruan di tahap dua dan tiga, yang berlangsung pada 1962-1964. Di tahap ini, angket pengumpulan nama dan jenis makanan ditambah dengan kelengkapan resep.
“Berbagai jawatan baru pun ditambah dengan mencakup lembaga, seperti pendidikan, pertanian, perikanan, kesehatan, dan sebagainya,” tulisnya.
Akan tetapi, panitia masih mengeluhkan pasifnya umpan balik angket-angket dari daerah, walau sudah punya jalur komunikasi pribadi dengan pamong praja dan kepala jawatan setempat.
Upaya baru membuahkan hasil ketika panitia menugaskan tiga sarjana nutrisi. Mereka diberikan tugas untuk mengumpulkan resep langsung dari sumbernya, bahkan melakukan uji resep di tempat.
“Seluruh resep yang telah terkumpul, diatur secara terpisah, lalu dikirimkan kepada tim penyusun buku masak,” tulis Fadly.
“Mereka kemudian melakukan berbagai koreksi, mengelompokkan resep, memberikan keterangan istilah, dan ukuran yang dipakai sebagai pemandu bacaan, hingga menyusun indeks dan isi buku.”
Buku itu akhirnya terbit pada 1967, dengan judul Mustika Rasa: Resep-resep Masakan Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Di dalam buku itu terdapat 1.600 resep masakan yang dihimpun dari Sabang sampai Marauke.
Fadly menduga, motif pemerintah menyusun buku itu terkait dengan pemberitaan media mengenai kondisi keamanan dan ketahanan pangan di Indonesia. Ketika itu, media dalam dan luar negeri menerbitkan berita kelaparan di berbagai daerah.
Sebelum terbit Mustika Rasa, pada 1940-an seorang aktivis perempuan asal Bukittinggi, Sumatera Barat, Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Tumenggung sudah mendokumentasikan kuliner Nusantara. Menurut Fadly, Chailan yang mendirikan majalan Pedoman Isteri itu mempublikasikan Boekoe Masak-Masakan, diterbitkan Balai Poestaka pada 1948.
Sementara itu, menurut penulis buku Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan (2009) Andreas Maryoto, pada 1965 ada buku resep masakan berjudul Mensukseskan Tavip dalam Revolusi Menu. Tavip merupakan akronim Tahun Vivere Pericoloso, yang diperkenalkan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1964.
Buku tersebut ditulis Ketua Stand Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Is Satrio. Di dalamnya, ada resep sayuran dwikora dan lagu “protein gaya baru”.
“Syairnya, sangat enak masakan ibuku, sate kelinci dan gulai kelinci daging putih seperti ayam, tidak kalah lezat serta murah,” kata Andreas saat dihubungi, Senin (27/7).
Menurut Fadly, politik pangan Bung Karno juga tertuang dalam amanat Tavip. Sukarno tak ingin menjadikan beras sebagai satu-satunya bahan pangan pokok. Ia meminta, rakyat juga menambah menu makanan, seperti jagung dan ubi.
Sedangkan kata Andreas, di masa pemerintahannya, Sukarno memang punya cita-cita membangun identitas bangsa melalui kuliner. Hal itu, kata Andreas, terlihat dari kebiasaan Bung Karno menyajikan makanan khas Indonesia kepada tamu negara.
“Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Sukarno menjelaskan asal-usul makanan yang disajikan,” tutur Andreas.
Keseragaman beras
Andreas mengatakan, berbeda dengan Sukarno, Soeharto terlihat biasa saja memandang kuliner. Ia menilai, Soeharto terlihat tak mempromosikan atau memperkenalkan makanan Indonesia ke tamu-tamunya.
“Meskipun saya yakin ada, tapi kurang terlihat. Bahkan mungkin Soeharto makan saja tidak banyak dokumentasi. Kalau Sukarno banyak. Sukarno makan pakai tangan itu ada,” katanya.
Sejak Soeharto menjadi presiden, Andreas menuturkan, ada desukarnosasi dalam bidang kuliner. Salah satunya tampak dari tidak dilanjutkannya proyek Mustika Rasa. Buku itu terbit tergesa, mengejar jabatan Sukarno yang terancam pascaperistiwa G30S.
Lebih lanjut, Andreas menjelaskan, kultur Jawa yang kental dengan Soeharto membuatnya lebih fokus untuk swasembada beras. Ia menduga, sikap itu tak lepas dari naskah-naskah lama Jawa yang menyatakan pemimpin akan gelisah jika ada satu daerah kekeringan dan gagal panen.
“Dia takut sekali. Sangat wajar ketika dia berkuasa politik beras itu sangat kuat. Dari mulai pendirian pabrik pupuk, irigasi, dan benih,” kata dia.
Saat klaim swasembada beras pada 1984, propaganda beras kian menguat. Menurut Andreas, propaganda Orde Baru bahwa beras adalah segalanya, tidak tepat. Sebab, Indonesia semakin tergantung terhadap beras.
“Padahal kita mempunyai sumber daya pangan yang lain,” ujarnya.
Sementara menurut Fadly, Soeharto melakukan penyeragaman pangan, yang menjadikan beras seolah-olah sumber pangan utama. Sedangkan pada masa Sukarno, orientasinya lebih kepada diversifikasi pangan. Sehingga menyeragamkan produksi, tak hanya beras, tetapi juga sagu, jagung, ubi, dan sebagainya.
Namun, kata Fadly, kebijakan Soeharto, terutama sejak 1970-an orientasinya bukan lagi diversifikasi, tetapi penyeragaman. Semua daerah di Indonesia menjadi ketergantungan terhadap beras.
“Kalau diversifikasi ini berhasil, maka ragam kuliner akan terjaga, tetap terlestarikan, dan akan menjadi bagian dari impian Bung Karno untuk mewujudkan kuliner sebagai sebuah identitas kebangsaan itu menjadi terwujud,” ujarnya.