Amsterdam tak mau terima lagi turis berengsek
Amsterdam punya citra sebagai Kota Pesta. Bagi orang luar, Amsterdam seolah menyimpan sudut-sudut sebagai surganya seks dan narkoba. Mereka berbondong-bondong datang, Amsterdam pun 'menikmatinya'. Tetapi Situasi Covid, membuat warga kota semakin sadar bahwa tenang itu indah.
Ketika pandemi Covid-19 melanda dan Ibu Kota Belanda itu kosong dari turis, banyak penduduk setempat menganggap suasana Kota menjadi lebih nyaman. Tidak dijumpai lagi suara bising dan pemandangan orang mabuk-mabukan di jalan.
Warga Kota seperti mendapatkan angin segar. Mereka seperti merebut sudut-sudut kota Amsterdam kembali, yang sekian lama mereka hindari. Dan mereka tidak ingin lagi mengembalikan Amsterdam ke situasi yang penuh turis berengsek, seperti sebelumnya.
"Amsterdam membutuhkan turis, tanpa mereka museum dan restoran kami yang indah tidak akan bertahan," kata Nicola Theobald, yang telah tinggal di pusat Kota selama 30 tahun, seperti dikutip CNN Sabtu (26/6).
"Tapi itu adalah bonus. Selama pandemi ketika mereka tidak bisa datang, tidak ada lagi kelompok besar turis yang memadati area kanal, kemudian yang paling buruk mereka muntah karena minuman dan obat-obatan. Kami mendapatkan Kota kami kembali dan menyukainya seperti itu."
Sebenarnya, Amsterdam telah berjuang dengan dampak turis yang menyebabkan kekacauan yang berlebihan seperti membuang sampah sembarangan, dan prilaku buang air kecil di depan umum selama bertahun-tahun. Tepat sebelum pandemi, penduduk setempat mengeluh bahwa kota mereka telah diubah menjadi "dunia turis Disney.
Sekarang setelah mengalami hidup tanpa pengunjung yang gaduh, otoritas Kota bertekad untuk tidak kembali ke masa itu. Menjelang musim panas, mereka telah meluncurkan kampanye pariwisata yang mengejutkan karena mencoba menghilangkan reputasi Amsterdam sebagai Ibukotanya pesta.
Jadi, sementara turis didorong untuk melakukan perjalanan ke kota karena pembatasan akibat pandemi sudah dilonggarkan, mereka juga memberi pesan kuat kepada pengunjung yang berniat datang ke Kota Pelabuhan itu untuk senang-senang dengan alkohol dan narkoba. Secara eksplisit turis macam itu diberitahu untuk jangan dekat-dekat Amsterdam lagi.
Dewan kota telah menghabiskan US$119 ribu ribu untuk kampanye daring yang mendorong orang untuk mengunjungi warisan budaya kota, sementara juga memperingatkan "turis pengganggu" yang tidak sopan bahwa mereka sudah tidak diterima.
Dengan hilangnya turis penyuka keonaran, penduduk lokal Amsterdam merebut kembali kota mereka. "Kami tidak ingin kembali ke apa yang kami lihat sebelum pandemi, di mana kerumunan besar-besaran di Distrik Lampu Merah dan area hiburan kota menyebabkan gangguan bagi penduduk," bunyi pernyataan Dewan Kota.
“Pengunjung yang menghormati Amsterdam dan orang-orang Amsterdam selalu disambut dan tentu saja akan tetap demikian.Pengunjung yang memperlakukan penduduk dan warisan kami dengan tidak hormat tidak diterima. Pesan yang kami miliki untuk mereka adalah: jangan datang ke Amsterdam."
Tujuan dari kampanye online adalah untuk "merangsang perilaku yang diinginkan" di kalangan wisatawan, kata Kepala Eksekutif Amsterdam & Mitra Badan Promosi Kota. Geerte Udo,
Dia mengatakan pesannya sederhana,"Kami tidak ingin pengunjung yang menunjukkan perilaku tanpa batas, tanpa menghormati kota dan penduduknya,” tambah Udo. Dewan kota telah meluncurkan kampanye daring yang memperjelas bahwa hanya turis "yang terhormat" yang akan diterima di Amsterdam.
Amsterdam menyusun ulang target turismenya.
Pariwisata Amsterdam kini menargetkan pangsa pasar turis Inggris dengan segmen pria, berusia 18 hingga 34 tahun. Kampanye tersebut akan diluncurkan ke kelompok sasaran di negara lain selama beberapa bulan ke depan.
Pada 2019, sekitar 20 juta turis internasional mengunjungi ibu kota Belanda, dengan 70% berasal dari negara tetangga Jerman, dan Belgia, serta Inggris. Pada tahun yang sama, Amsterdam berhasil menargetkan turis pria Inggris dengan kampanye yang mengecilkan perilaku anti-sosial., 'Berjudul "Nikmati & Hormati," Kampanye itu memperingatkan turis Inggris dan Belanda bahwa mereka mempertaruhkan denda US$ 170 jika mereka ketahuan buang air kecil di depan umum, mengganggu kedamaian atau membuang sampah sembarangan.
Saat disurvei, 45% responden Inggris mengatakan kampanye itu telah membuat mereka lebih sadar akan dampak perilaku yang mengganggu.
Siapa pun yang telah mengunjungi Amsterdam dalam beberapa tahun terakhir, akan mengerti mengapa begitu. Kota ini kerap bising dengan perilaku turis Inggris yang berisik. Mereka bicara dengan aksennya, keras-keras di tempat umum, dan menggelar pesta bujang dengan kostum yang aneh-aneh.
Amsterdam ingin berhenti berpesta
Anggota dewan lokal Rob Hefland menyimpulkan situasi secara blak-blakan dalam sebuah wawancara dengan situs web DutchNews.
"Jika Anda ingin melihat kota terindah di dunia musim panas ini, datanglah ke Amsterdam," kata Hefland. "Jika niat Anda adalah untuk minum minuman keras dan berperilaku buruk, berpakaian seperti penis, cari di tempat lain!"
Kampanye terbaru adalah bagian dari misi Dewan Kota untuk menghadirkan Amsterdam dalam aura baru, meninggalkan reputasinya yang terkenal sebagai tujuan pesta.
"Amsterdam tidak ingin dikenal sebagai kota kedai kopi dan Distrik Lampu Merah. Ini cukup norak dan berkonotasi negatif," kata Ko Koens, profesor pariwisata perkotaan baru di University of Applied Sciences di Rotterdam.
Tapi Koens skeptis tentang pendekatan dewan untuk menarik "jenis turis tertentu."
"Merek Amsterdam dibangun di atas toleransi dan keterbukaan selama 600 tahun," katanya. "Bagaimana Anda membuat citra untuk diri sendiri di mana Anda terbuka dan toleran, tetapi pada saat yang sama mengirim pesan 'pengunjung yang terhormat tumbuh dewasa'?"
Sementara itu, beberapa warga menyambut baik kampanye yang mereka harap akan mengembalikan ketenangan di pusat Kota Amsterdam. "Kami perlu menemukan keseimbangan. Kami ingin wisatawan 'bertanggung jawab' yang menikmati kota untuk semua yang ditawarkan dan, pada saat yang sama, menghormati kami yang tinggal di sini," kata Theobald.