Perceraian kerap membawa mimpi buruk bagi anak-anak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 jumlah perceraian di Indonesia sebanyak 408.347 kasus. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga, cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, hingga ekonomi.
Faktor terbanyak karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sebanyak 251.828 kasus. Sementara provinsi dengan tingkat perceraian paling banyak ada di Jawa Barat, sebanyak 91.146 kasus.
Selain trauma, perceraian ternyata berpotensi menimbulkan strok bagi anak di masa depan. Hal itu diungkap para peneliti dari Universitas Toronto, Universitas Tyndale, dan Universitas Texas dalam jurnal Plos One baru-baru ini.
World Health Organization (WHO) menyebut, setiap tahun 15 juta orang di seluruh dunia menderita strok. Dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lainnya mengalami cacat permanen.
Strok membawa risiko kematian yang tinggi. Korban yang sembuh, bisa mengalami kehilangan penglihatan atau bicara, kelumpuhan, dan kebingungan. Strok terjadi ketika aliran darah ke otak tersumbat atau pembuluh darah yang pecah, menyebabkan darah bocor ke otak.
Di Indonesia, menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi strok mencapai 8,3 per 1.000 penduduk.
Dikutip dari New York Post, para peneliti menganalisis data dari 13.200 orang dewasa berusia 65 tahun ke atas yang tidak memiliki riwayat kekerasan di masa kecil. Sebanyak 7% dari kelompok tersebut melaporkan, mereka pernah mengalami strok dan hampir 14% mengatakan, orang tua mereka bercerai sebelum mereka mencapai usia dewasa.
“Sangat memprihatinkan, orang lanjut usia yang tumbuh dalam keluarga bercerai memiliki risiko 60% lebih tinggi terkena strok, bahkan setelah mengecualikan mereka yang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual saat masih anak-anak,” kata peneliti dari Universitas Toronto Esme Fuller-Thomson, dikutip dari Science Alert.
“Besarnya hubungan antara perceraian orang tua dan strok sebanding dengan faktor risiko strok yang sudah diketahui, seperti jenis kelamin laki-laki dan penderita diabetes.”
Pria dalam penelitian ini menghadapi kemungkinan 47% lebih tinggi terkena strok daripada perempuan. Namun, seiring bertambahnya usia, baik pria maupun perempuan risiko terkena strok meningkat. Peserta penelitian yang menderita diabetes memiliki kemungkinan 37% lebih tinggi terkena strok, sedangkan mereka yang menderita depresi punya kemungkinan 76% lebih tinggi.
Science Alert menulis, karena hasilnya hanya bersifat observasional, jadi tak bisa menjelaskan mengapa perceraian orang tua di masa kecil dikaitkan dengan risiko strok seseorang di kemudian hari. Namun, Fuller-Thomson dan timnya punya beberapa hipotesis.
Menurut para peneliti, stres berkepanjangan selama masa kanak-kanak, bisa menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Perceraian kerap kali dapat menyebabkan pertengkaran dan ketegangan dalam rumah tangga. Di sisi lain, anak terkadang harus pindah sekolah atau tempat tinggal di lebih dari satu tempat.
New York Post menyebut, penulis penelitian berspekulasi, risiko strok yang lebih tinggi dapat disebabkan stres kronis yang mengganggu aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang mengendalikan respons stres tubuh. Aksis HPA yang tidak teratur sangat terkait dengan risiko strok yang tinggi.
Hipotesis lainnya, anak-anak dari orang tua yang bercerai memiliki risiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi, masalah tidur yang berlanjut hingga dewasa, dan kemiskinan di masa kanak-kanak.
Terkait tekanan darah tinggi, pada 2022 para peneliti dari Universitas Southampton dalam riset yang diterbitkan jurnal Scientific Reports menyebut, perpisahan orang tua sebelum usia 10 tahun dikaitkan dengan tingkat hipertensi yang lebih tinggi di usia paruh baya. Dan hal ini bisa meningkatkan risiko strok.
Para peneliti, sebut New York Post, mengendalikan faktor risiko strok yang diketahui, seperti diabetes, depresi, dan jaringan dukungan sosial yang kecil. Akan tetapi tidak punya data penting tentang tekanan darah, kolesterol, penggunaan kontrasepsi, usia saat orang tua bercerai, atau jenis strok yang mereka alami. Hal ini menjadi salah satu keterbatasan penelitian.
Selain itu, peserta termuda lahir pada 1957, sebelum revolusi perceraian di Amerika Serikat terjadi pada 1960-an dan 1970-an menyusul penerapan hukum “perceraian tanpa kesalahan” secara luas di sebagian besar negara bagian.
“Karena adanya perubahan dalam norma-norma sosial, tidak jelas apakah generasi X atau milenial Amerika akan mengalami hubungan serupa antara perceraian orang tua dan strok, sebagaimana yang terlihat dalam sampel kami dari kelompok generasi baby boomer dan generasi silent,” tulis para peneliti.