

Ancaman kesehatan dari pewarna buatan

Es dengan warna-warna cerah banyak dijajakan di pinggir jalan selama bulan Ramadan. Warna-warni dari minuman itu tentu memberikan kesan segar bagi siapa pun yang melihatnya.
Siasat menambahkan warna pada minuman, juga makanan, memang membuatnya tampak jauh lebih menarik. Taktik ini sudah ada dalam industri kuliner selama beberapa dekade. Namun, tak semua pewarna buatan itu aman.
Misalnya, beberapa waktu lalu, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Jakarta menemukan penggunaan pewarna sintetis pada bazar takjil Ramadan di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
“Dari 25 sampel yang kami uji, ada satu makanan mengandung pewarna sintetis,” ujar Kepala BBPOM Jakarta Sofiyani Chanrawati Anwar, Senin (10/3), seperti dikutip dari Antara.
Healthline menyebut, saat ini pewarna makanan dibuat dari minyak bumi. Pewarna buatan biasanya terbuat pula dari beta karoten dan ekstrak bit karena menghasilkan warna yang lebih cerah dibandingkan pewarna alami.
Seiring waktu, penggunaan pewarna makanan buatan mengundang kekhawatiran dari sejumlah peneliti, LSM, atau lembaga yang fokus pada masalah ini selama bertahun-tahun. Beberapa penelitian sudah dilakukan, mengungkap dampak buruk pewarna buatan bagi kesehatan.
Misalnya, penelitian yang dilakukan para peneliti dari The Ohio State University yang diterbitkan di jurnal Neurotherapeutics (2012) menemukan, pewarna makanan bisa membuat anak dan remaja menjadi hipereaktif, murung, atau mudah tersinggung.
Menurut psikiater anak dan remaja sekaligus profesor emeritus Ohio State Wexner Medical Center, Eugene Arnold dalam situs The Ohio State University, pewarna makanan dapat memperburuk kondisi gangguan kurang perhatian atau hiperaktivitas.
“Anak-anak dan orang dewasa muda tanpa kondisi kesehatan mental dapat menjadi gelisah setelah mengonsumsi pewarna makanan,” tulis Arnold.
Bahkan, ada indikasi pewarna buatan itu sebagai biang keladi timbulnya penyakit kanker. Demi melindungi warganya, beberapa negara memiliki aturan ketat soal penggunaan pewarna buatan. Misalnya, pada 2010 Uni Eropa mengeluarkan kebijakan, semua produk makanan yang dijual di negara-negara anggotanya, yang mengandung enam pewarna makanan harus mencantumkan label peringatan.
Sementara di Amerika Serikat, menurut Eugene Arnold, peraturan tentang pewarna makanan tidak terlalu ketat. Produsen hanya perlu mencantumkan pewarna dalam daftar bahan.
Amerika Serikat, sebelumnya melegalkan tujuh pewarna buatan, antara lain pewarna Merah Nomor 3 (Eritrosin), Merah Nomor 40 (Allura Red), Biru Nomor 1 (Brilliant Blue), Biru Nomor 2 (Indigo Carmine), Hijau Nomor 3 (Fast Green FCF), Kuning Nomor 5 (Tartrazin), dan Kuning Nomor 6 (Sunset Yellow).
Namun, pada Januari lalu Food and Drug Administration (FDA)—BPOM-nya Amerika Serikat—sudah melarang penggunaan pewarna Merah No. 3. Dilansir dari CNN, pewarna Merah No. 3 terbuat dari minyak bumi, secara kimia dikenal sebagai eritrosin yang merupakan zat aditif warna sintetis yang digunakan untuk memberi warna merah ceri pada makanan dan minuman.
Pewarna itu ditemukan dapat menyebabkan kanker pada tikus lebh dari 30 tahun yang lalu. Profesor farmasi di Universitas South Carolina, Lorne J. Hofseth dalam tulisannya di The Conversation menjelaskan, pewarna yang kerap digunakan dalam makanan, kosmetik, dan obat itu dapat menyebabkan risiko kesehatan yang signifikan.
Pertama, katanya, pewarna Merah No. 3 bisa mengganggu regulasi hormon tiroid lewat beberapa mekanisme. Kedua, bisa memicu pembentukan tumor tiroid. Ketiga, dapat menimbulkan efek toksik pada otak.
Di Indonesia, soal pewarna makanan buatan diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan. Dalam aturan itu, pewarna dibedakan menjadi pewarna alami dan sintetis. Pewarna sintetis yang diizinkan, antara lain Tartrazin, Kuning Kuinolin, Kuning FCF, Karmoisin, Ponceau 4R, Eritrosin, Merah Allura, Indogotin, Biru Berlian FCF, Hijau FCF, dan Cokelat HT.
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebgai Bahan Berbahaya merinci, Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Crysoine S, Citrus Red No. 2, Chocolate Brown FB, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indranthrene Blue RS, Magenta, Metanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil/Orcein, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamine B, Sudan I, Scarlet GN, dan Violet 6B.
Peraturan itu kemudian direvisi dengan Keputusan Dirjen POM No. 00386/C/SK/II/1990, yang menetapkan zat warna berbahaya untuk obat, kosmetik, dan makanan, yakni Jingga K1, Merah K3, Merah K4, Merah K10, dan Merah K11.
Zat-zat itu dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia. Misalnya, zat warna Auramine yang berdasarkan kajian epidemiologi pada manusia bisa meningkatkan risiko kanker kandung kemih dan prostat. Zat warna Chrysoidine diduga bersifat karsinogen terhadap manusia, yang toksik terhadap saluran cerna dan hati.
Lantas zat Metanil Yellow yang biasa digunakan dalam industri tekstil, cat, kertas, dan kulit binatang, bisa menyebabkan mual, muntah, sakit perut, diare, dan tekanan darah. Dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker kandung kemih.
Demi menghindari konsumsi pewarna buatan yang berbahaya, beberapa kali pihak BPOM melakukan pemeriksaan terhadap sampel makanan, seperti yang baru-baru ini dilakukan di Tasikmalaya, Tulungagung, dan Cilegon. Namun, pemeriksaan itu hanya dilakukan di kawasan dan momen tertentu. Penindakannya juga masih terbilang lemah.
Maka, ada baiknya nasihat Eugene Arnold dalam artikelnya di situs The Ohio State University. “Sebaiknya, hindari semua pewarna makanan buatan. Pewarna makanan tidak memberikan nutrisi. Pewarna makanan juga tidak membuatnya lebih bergizi,” kata Arnold.


Tag Terkait
Berita Terkait
Seorang pria hidup selama 100 hari dengan jantung titanium buatan
Yang perlu diketahui soal hantavirus, penyakit yang membunuh istri Gene Hackman
Begadang semalam saja ternyata bisa merusak sistem kekebalan tubuh
Tato meningkatkan risiko kanker?

