Ancaman psikologis dan imbas cemas akibat pandemi Covid-19
Chandra Deva, seorang aparatur sipil negara (ASN) di sebuah lembaga pemerintah perantauan dari Bali, merasa cemas saat pertama kali pemerintah mengumumkan ada dua warga Indonesia yang terinfeksi coronavirus jenis baru atau Covid-19 pada awal Maret 2020.
Pasalnya, dalam waktu yang relatif singkat, jumlah pasien positif coronavirus di Indonesia terus meningkat signifikan. Jakarta pun menjadi sumber penularan yang paling banyak. Tingginya tingkat penularan itu mengerucut di Jakarta Selatan, kawasan tempat ia indekos.
“Jakarta Selatan itu zona merah,” tutur Chandra saat ditemui reporter Alinea.id di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1).
Berdasarkan laporan media harian Covid-19, hingga 1 April 2020 jumlah positif coronavirus di Jakarta mencapai 808 orang, dengan 85 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Secara nasional, jumlah positif coronavirus per 1 April 2020 sebanyak 1.677 orang, dengan 157 orang di antaranya meninggal dunia.
Awalnya, Chandra rajin memantau informasi terkini soal Covid-19 dari media dalam dan luar negeri. Ia pun asyik berbincang terkait coronavirus, dengan keluarga dan temannya di Bali melalui sambungan telepon.
Namun, hal itu justru membuatnya semakin cemas. Ia khawatir tertular coronavirus. Bahkan, ia sempat berpikir dirinya sudah tertular karena beberapa pasien positif ada yang tanpa gejala.
Perasaan cemas serupa juga dialami Andika Dito. Pria berusia 26 tahun itu mengaku waswas ketika ada temannya yang punya gejala mirip terinfeksi coronavirus. Sama seperti Chandra, Andika pun merasa dirinya sudah tertular karena suatu hari ia mengalami batuk, sakit tenggorokan, dan sesak napas.
Usai memeriksakan diri ke RSUD Mampang Prapatan, Jakarta Selatan ia berstatus orang dalam pemantauan (ODP).
“Sekarang, lapor gejala seperti batuk saja sudah masuk orang dalam pemantauan,” ujar Dito saat ditemui di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu (1/4).
Psikolog turun tangan
Pandemi coronavirus memang melahirkan kecemasan warga. Jika tak ditangani, kecemasan itu bisa menyebabkan gangguan mental dan kejiwaan.
Situasi inilah yang mendorong tim Satgas Covid-19 Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jaya dan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jakarta membuka layanan konsultasi daring secara gratis.
Menurut Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) wilayah Jakarta Anna Surti Ariani, hingga Senin (30/3), ada 180 pasien terdaftar yang akan mendapatkan layanan konseling sekitar 45 menit. Setiap hari, ada 25 psikolog untuk 70 pasien yang mesti ditangani.
Psikoterapis sekaligus psikolog dari Universitas Tarumanegara, Sandi Kartasasmita merupakan salah seorang relawan dalam layanan konseling yang diadakan Himpsi Jaya dan IPK Jakarta ini.
Sandi mengatakan, pasien yang cemas karena pandemi Covid-19 ditangani dengan berusaha mengurangi kecemasannya terlebih dahulu. Namun, karena keterbatasan waktu dan jumlah pasien yang banyak, penanganannya belum sampai tuntas. Sandi hanya bisa membantu membuat stabil mental pasien.
“Misalnya, dengan menggunakan teknik olah napas,” kata dia saat dihubungi, Senin (30/3).
Selain itu, Sandi menyarankan pasiennya untuk mengurangi intensitas membaca berita terkait Covid-19. Terutama yang memaparkan rincian pasien positif dan meninggal dunia.
”Terobsesi mencari informasi terkait Covid-19, menandakan kesehatan mental orang tersebut sedang terganggu,” ujarnya.
Himpsi Jawa Tengah pun sibuk melayani orang yang ingin berkonsultasi. Salah seorang pengurus Himpsi Jawa Tengah sekaligus relawan Nugraha Arif Karyanta mengatakan, sejak 25 Maret 2020 ia sudah menangani 16 orang, dengan beragam masalah psikologis. Sebagian besar terkait gangguan kecemasan akibat pandemi.
“Misalnya, ada bapak-bapak yang khawatir karena ketika pergi ke masjid, ada jemaah yang batuk-batuk,” ujar psikolog dari Universitas Sebelas Maret Surakarta ini saat dihubungi, Senin (30/3).
Dalam kasus itu, kata dia, kekhawatiran akan batuk bisa memunculkan gejala sakit fisik akibat kecemasan, seperti dada berdebar lebih kencang.
Nugraha menangani pasiennya dengan memberikan edukasi soal Covid-19 dan pemahaman menyangkut gaya hidup yang tepat saat ini. Ia pun memberikan pemahaman untuk mengatasi kecemasan hingga proses pendekatan kognitif.
“Termasuk menggunakan teknik-teknik relaksasi, seperti deep breathing relaxation,” tuturnya.
Ia menjelaskan, teknik umum dalam menangani kecemasan adalah rajin berolahraga. Selain itu, ia menyarankan agar bijaksana mencari informasi di media massa dan media sosial.
“Tidak terlalu banyak membaca posting-an tentang Covid-19, apalagi dari sumber yang tidak jelas,” kata dia.
Beragam faktor yang membuat cemas
Sandi Kartasasmita mengatakan, kecemasan di tengah pandemi coronavirus merupakan sebuah hal yang wajar. Sebab, orang-orang berada dalam kondisi yang serba tak pasti. Ia mengungkapkan, kecemasan itu bisa “menular” ke orang lain, bila diungkapkan maupun diperlihatkan melalui perilaku.
“Gangguan kecemasan ini akan semakin parah jika tidak segera ditangani. Kecemasan yang menumpuk akan menjadi stres dan depresi,” ucapnya.
Lebih parah lagi, gangguan kecemasan itu, kata Sandi, bisa menurunkan imun tubuh yang malah menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit. Termasuk tertular coronavirus.
“Kesehatan fisik dan mental menjadi satu kesatuan penting dan tidak terpisahkan,” ujar dia.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida menganggap, kecemasan merupakan hal yang manusiawi karena Covid-19 adalah jenis virus baru, yang penyebarannya masif dan mengancam nyawa.
Ida mengatakan, ada beberapa penyebab munculnya kecemasan, yakni karena sosialisasi yang terbatas, pengaruh lingkungan, media, dan minimnya budaya hidup bersih.
Menurut Ida, arus informasi yang deras dari media massa dan media sosial sangat memengaruhi kondisi psikososial seseorang. Edukasi ke publik yang minim pun, sebut Ida, menimbulkan sikap yang tak acuh.
“Hal ini diperparah dengan banyaknya masyarakat mengonsumsi hoaks atau terpaan informasi terkait Covid-19 yang menakutkan, tidak selektif, dan kritis,” ujar Ida saat dihubungi, Senin (30/3).
Lebih lanjut, Ida menuturkan, kecemasan masyarakat juga erat kaitannya dengan manajemen komunikasi publik dari pemerintah yang kurang baik. Ia menilai, pemerintah melakukan pendekatan kuratif, bukan preventif.
“Artinya, menunggu adanya kasus dulu, baru bereaksi. Ini menyebabkan masyarakat cemas karena pemerintah dianggap tidak siap,” kata dia.
Ida mengatakan, kecemasan lebih banyak terjadi di masyarakat kelas menengah ke atas di perkotaan karena pandemi coronavirus sangat memengaruhi gaya hidup mereka. Alasan lainnya, masyarakat di perkotaan banyak menelan informasi yang berserak ketimbang masyarakat di perdesaan.
Di sisi lain, imbauan pemerintah untuk melakukan physical distancing dan tetap tinggal di rumah, ujar Ida, juga bisa membuat orang cemas. “Karena masyarakat Indonesia punya tradisi kumpul-kumpul, berkultur kolektif,” ujarnya.
Akan tetapi, kata Sandi, setiap orang memiliki kapasitas individu yang berbeda-beda. Sehingga, gangguan mental belum tentu muncul saat seseorang melakukan isolasi diri. Meski begitu, Sandi bilang, sebagai makhluk sosial, kondisi isolasi diri dalam waktu yang lama akan menimbulkan ketidaknyamanan emosi.
“Isolasi ini kan bukan kemauan kita sendiri. Namun, kondisi membuat kita memaksakan diri untuk melakukan isolasi,” ujar Sandi.
Sandi mengatakan, kondisi itu memicu stres lantaran isolasi diri sudah menghambat aktivitas rutin yang dilakukan seseorang.
Kecemasan akibat pandemi Covid-19, menurut Ida, bukan hanya dialami orang-orang yang belum berisiko tertular coronavirus. Ia mengingatkan, secara sosiologis, situasi ini juga membuat ODP dan pasien dalam pengawasan (PDP) semakin tertekan.
“Sudah terlihat di masyarakat adanya stigma sosial pada ODP, apalagi PDP, bahkan jenazahnya pun ada yang ditolak masyarakat, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan,” ucapnya.