Apa itu speech delay yang dialami anak Ria Ricis?
Beberapa waktu lalu, YouTuber Ria Yunita atau dikenal dengan Ria Ricis mengungkapkan anak semata wayangnya, Cut Raifa Aramoana mengalami keterlambatan berbicara atau speech delay di usianya yang hampir dua tahun. Namun, seiring waktu setelah diberikan bantuan terapis dan diajarkan guru-guru di sekolahnya, Moana kini lebih aktif dan mulai bisa berbicara beberapa kata hingga kalimat.
Dilansir dari Journal of Nursing Science Update (Mei, 2023), para peneliti dari Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) Malang, jumlah kasus keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa pada balita di Indonesia semakin meningkat. Tingkat speech delay pada anak sekolah diperkirakan mencapai 5% hingga 10%. Masalah keterlambatan bicara pada anak prasekolah diperkirakan mencapai 5% dari populasi normal.
“Diketahui 19% anak usia lima tahun mengalami gangguan perkembangan bicara dan bahasa, dengan rincian 6,4% keterlambatan bicara, 4,6% keterlambatan bicara dan bahasa, dan 6% keterlambatan bahasa,” tulis pada peneliti.
Para peneliti asal K.J. Somaiya Medical College di India dalam Journal of Family Medicine and Primary Care (2019) menyebut, prevalensi keterlambatan bicara atau bahasa pada anak-anak di negara-negara maju berkisar antara 2% hingga 8%.
Balita yang mengalami keterlambatan bahasa, mungkin bisa mengeluarkan suara dan mengucapkan beberapa kata dengan benar. Akan tetapi, menurut Healthline, mereka belum dapat membentuk frasa atau kalimat yang masuk akal. Anak-anak bisa mengalami keterlambatan bicara atau bahasa, tetapi kedua kondisi tersebut terkadang tumpang tindih.
Sebagian besar speech delay dialami anak laki-laki. Salah satu riset yang menemukan fakta itu diterbitkan dalam jurnal Cureus (September, 2022). Para peneliti melakukan riset dengan metode cross-sectional terhadap 150 anak yang datang ke klinik terapi wicara Rumah Sakit Umum Lahore di Pakistan dari Juli hingga Agustus 2021.
Hasilnya menunjukkan, rata-rata usia anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa adalah 5,5 tahun, berkisar antara usia 2 hingga 11 tahun. Dari 150 responden, sebanyak 98 (65,3%) adalah laki-laki dan 52 (35,7%) adalah perempuan.
“Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara dan bahasa,” tulis para peneliti.
Riset yang dipimpin Anish Kumar dari Ghulam Muhammad Mahar Medical College Hospital pun menemukan, 44,7% anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa adalah anak pertama. “Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman orang tua mengenai tumbuh kembang anak,” tulis para peneliti.
Bahasa biasanya mulai berkembang sekitar usia 4 hingga 6 bulan. Pada masa ini, bayi seharusnya sudah mengeluarkan suara mengoceh dan menunjukkan pemahaman terhadap lingkungannya lewat tertawa misalnya. Jika bayi tak bersuara atau mengeluarkan suara lain pada usia dua bulan, hal ini bisa menjadi tanda awal keterlambatan bicara.
Tanda-tanda speech delay lainnya, menurut Healthline, di usia dua tahun menggunakan kurang dari 50 kata. Usia dua setengah tahun tidak menggunakan frasa dua kata atau kombinasi kata benda dan kata kerja yang unik. Lalu, usia tiga tahun tak menggunakan setidaknya 200 kata, tidak menanyakan nama sesuatu, sulit memahami walau kita pernah mendengar kata-kata tersebut. Kemudian, di segala usia tidak dapat mengucapkan kata-kata yang telah dipelajari sebelumnya.
Penyebab keterlambatan bicara atau bahasa bisa terjadi karena perkembangan fisik dan intelektual secara keseluruhan, antara lain masalah pada mulut seperti lidah terikat atau ankyloglossia, gangguan berbicara, gangguan pendengaran, kurangnya rangsangan verbal, masalah kognitif, serta gangguan spektrum autisme.
Literasi ayah dan ibu pun memengaruhi perkembangan dan kemampuan bicara seorang anak. Para peneliti dalam jurnal Cureus menemukan, di antara orang tua yang datang bersama anaknya dengan keterlambatan bicara dan bahasa, 22,7% ibu buta huruf, 46,7% berpendidikan dasar, 6,7% berpendidikan menengah atas, dan 24% berpendidikan sarjana.
“Partisipasi ibu yang banyak berkaitan dengan pengembangan komunikasi pada anak, antara lain memotivasi anak untuk berbicara, memberikan komentar elaboratif, bercerita, dan melibatkan anak dalam membaca,” tulis para peneliti dalam riset yang diterbitkan jurnal Cureus.
Gangguan psikologis pada orang tua, pemberian air susu ibu (ASI), interaksi dengan saudara kandung, dan jumlah anggota keluarga juga punya pengaruh signifikan terhadap perkembangan bicara dan bahasa. Selain itu, penelitian Kumar dkk menemukan, 65,3% anak-anak memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami keterlambatan bicara dan bahasa, yang menunjukkan bahwa riwayat keluarga merupakan faktor risiko utama speech delay.
Terdapat pula korelasi antara keterlambatan bahasa dan frekuensi waktu menatap layar. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa, diungkapkan Kumar dkk, mulai menonton televisi pada usia kurang dari 12 bulan dengan durasi lebih dari dua jam sehari punya risiko enam kali lebih tinggi mengalami speech delay.
Kesehatan anak, turut memengaruhi hal ini. Dari anak-anak yang dimaskkan dalam penelitian Kumar dkk, 27% memiliki riwayat kejang neonatal, 72% mengalami kelahiran prematur, dan 33,3% punya berat badan lahir yang rendah.
“Dalam penelitian kami, 59,3% memiliki riwayat infeksi telinga rendah, 34,7% ditemukan punya kelainan orafaring, dan 76% memiliki masalah pendengaran terkait,” tulis para peneliti dalam jurnal Cureus.
Healthline menulis, perkembangan anak berbeda-beda. Maka, sulit membedakan antara keterlambatan dan gangguan bicara atau bahasa. Antara 10% hingga 20% anak usia 2 tahun terlambat mengembangkan bahasa. Laki-laki tiga kali lebih mungkin termasuk dalam kelompok ini. Sebagian besar tak memiliki gangguan bicara atau bahasa dan mengalami gangguan tersebut pada usia 3 tahun.
Untuk mengatasi keterlambatan bicara perlu diketahui penyebabnya terlebih dahulu. Jika terkait dengan kelainan atau masalah kesehatan, maka harus pula mengatasi hal itu. Bila bicara adalah satu-satunya keterlambatan perkembangan, terapi wicara-bahasa bisa menjadi pengobatan yang diperlukan.
“Terapi wicara-bahasa bisa efektif dalam rencana pengobatan secara keseluruhan bila ada diagnosis lain,” tulis Healthline.