close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tangan seseorang./Foto Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tangan seseorang./Foto Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 17 Juni 2024 06:01

Apa penyebab hilangnya empati?

Empati muncul seiring bertambahnya usia seseorang.
swipe

Beberapa waktu lalu, beredar video di media sosial, lima remaja perempuan yang tengah asyik makan ayam goreng di sebuah restoran cepat saji yang menjadi sasaran boikot, mengolok-olok anak-anak di Palestina. Video viral itu merekam remaja putri, yang belakangan diketahui merupakan siswi-siswi SMP dari sekolah yang berbeda-beda, menyinggung soal darah, tulang, dan daging anak Palestina sembari tertawa, saat menikmati ayam goreng tepung.

Imbas perilaku miring itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta akhirnya memberikan sanksi skorsing selama seminggu kepada mereka. Di tengah penderitaan warga Palestina, terutama anak-anak, yang sedang mempertahankan hidup dari serangan Israel, lelucon remaja perempuan itu dinilai tak punya empati.

Spesialis rehabilitasi psikososial dan pendidik psikologi, Kendra Cherry dalam tulisannya di Verywell Mind mengatakan, empati merupakan kemampuan untuk memahami secara emosional apa yang dirasakan orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang mereka, dan membayangkan diri kita berada di posisi mereka.

“Meskipun orang bisa menyesuaikan diri dengan perasaan dan emosinya sendiri, memahami pikiran orang lain bisa jadi sedikit lebih sulit,” tulis Cherry.

Sejak kapan dan dari mana empati muncul?

Washington Post mewawancarai tiga psikolog untuk mengetahui perkembangan empati anak-anak sejak baru lahir hingga remaja. Menurut psikolog perkembangan anak dan salah seorang pendiri Spark & Stitch Institute David Walsh, unsur empati yang paling awal terlihat saat 24 jam pertama bayi baru lahir. Ada tiga komponen empati yang berbeda, yakni kognitif, emosional, dan kasih sayang. Komponen emosional muncul lebih dahulu.

National Childbirth Trust menyebut, bayi baru lahir yang menangis sebagai respons terhadap tangisan bayi baru lahir lainnya merupakan tanda awal perkembangan empati.

“Penelitian juga menunjukkan, ketika bayi baru lahir mendengar bayi menangis, gerakan mengisap dan detak jantungnya melambat, sebagai respons terhadap suara tersebut,” tulis National Childbirth Trust.

“Reaksi fisik ini mungkin bukan reaksi yang biasa kita gambarkan sebagai empati, tetapi jika bayi tidak bereaksi seperti ini, hal itu mungkin menandakan kurangnya empati seiring pertumbuhan anak.”

Psikolog Erin Walsh dalam Washington Post mengatakan pada usia 4 hingga 5 tahun, komponen kognitif empati mulai menjadi lebih kuat dan keterampilan fungsi eksekutif anak mulai matang. Lalu, pada tahun-tahun awal sekolah dasar, David Walsh menyebut, elemen kognitif empati mulai berkembang untuk mengimbangi komponen emosional.

“Artinya, anak-anak jauh lebih mampu memahami apa yang mungkin dialami orang lain,” kata David Walsh.

Saat usia 12 tahun atau masuk sekolah menengah, kata Erin Walsh, bagian otak yang membantu mereka berpikir ke depan, menyaring gangguan, mempertimbangkan konsekuensi sedang dalam perkembangan. Pada saat yang sama, pedal emosional sudah habis.

“Anak-anak pada usia ini mampu menjadi sangat selaras dengan orang lain, namun ketika mereka berada dalam posisi di mana perasaan seseorang terluka atau teman sebayanya mengalami tekanan yang besar, di situlah kita cenderung melihat respons emosional yang semakin cepat,” ujar Erin Walsh.

Empati memungkinkan kita membangun hubungan sosial dengan orang lain. Dengan memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, kita mampu merespons situasi sosial dengan tepat. Cherry menulis, ada dua faktor utama yang berkontribusi terhadap kemampuan berempati, yakni genetika dan lingkungan.

“Orang tua mewariskan gen yang berkontribusi terhadap kepribadian secara keseluruhan, termasuk simpati, empati, dan kasih sayang. Cara seseorang memperlakukan orang lain, serta perasaannya terhadap orang lain, sering kali merupakan cerminan dari keyakinan dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak usia sangat muda,” tulis Cherry.

Area tertentu di otak juga berperan dalam bagaimana empati dialami. Dalam penelitian yang diterbitkan di Sage Journals (2011), peneliti dari Center for Cognitive and Social Neuroscience University of Chicago, Jean Decety menyebut, berbagai wilayah otak memainkan peran penting dalam empati, termasuk anterior cingalute cortex dan insula anterior. Dalam penelitian pencitraan resonansi magnetik fungsional, para peneliti menemukan, area otak yang dikenal sebagai inferior frontal gyrus memainkan peran penting dalam pengalaman empati. Orang yang mengalami kerusakan pada area otak ini, sering kali mengalami kesulitan dalam mengenali emosi yang disampaikan melalui ekspresi wajah.

Kurangnya empati, disebut Cherry, merupakan salah satu ciri khas gangguan kepribadian narsistik. Selain itu, penyebab seseorang kurang empati karena bias kognitif, dehumanisasi, dan menyalahkan korban.

Bias kognitif misalnya, seseorang sering mengaitkan kegagalan orang lain dengan karakteristik internal, serta menyalahkan faktor eksternal atas kekurangannya sendiri. Dehumanisasi misalnya, ketika seseorang menonton berita bencana alam atau perang di negara lain, mereka cenderung tak berempati bila berpikir orang yang menderita pada dasarnya berbeda dengan dirinya. Sementara menyalahkan korban terjadi misalnya, ketika orang lain mengalami peristiwa yang buruk, kita membuat kesalahan dengan menyalahkan korban atas keadaan yang mereka alami.

“Ini adalah sebuah keyakinan bahwa seseorang mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan—hal ini bisa membodohi kita dengan berpikir hal buruk seperti itu tidak akan pernah terjadi pada kita,” tulis Cherry dalam Verywell Mind.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan