Belum tuntas kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Panti Asuhan Darussalam An’nur di Tangerang, Banten, yang menyeret nama pemilik yayasan Sudirman dan dua pengasuh Yusuf Bachtiar dan Yandi Supriyadi, publik kembali dikejutkan dengan aksi tak kalah keji guru tari dan TK berinisial EDW di Sleman, Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, dia ditangkap polisi karena melakukan kekerasan seksual terhadap 22 anak laki-laki di bawah umur.
Apa faktor yang membuat seseorang menjadi pedofil?
Perilaku kejahatan yang dilakukan para pelaku tadi lekat dengan pedofilia. Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental dari The American Psychiatric Association’s menyebut, pedofilia adalah fantasi seksual yang berulang dan intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak praremaja.
Dikutip dari New York Times, kesamaan yang dimiliki sebagian besar pedofil adalah mereka sadar, biasanya saat remaja, preferensi seksual mereka belum matang seperti orang lain. Sebagian besar tertarik pada anak laki-laki atau perempuan pada awal masa pubertas, ada juga yang tertarik pada anak-anak yang jauh lebih belia.
Mayoritas pelaku yang dihukum adalah laki-laki yang “memangsa” anak-anak berisa 6 hingga 17 tahun. Penelitian menunjukkan, sebagian kecil pedofil laki-laki dan perempuan punya ketertarikan pada balita, bahkan bayi.
Sebagian besar penyebab pedofil adalah faktor biologis. Pandangan ini sebagian didasarkan pada penelitian yang menunjukkan ciri-ciri fisik halus yang memiliki insiden lebih tinggi di kalangan pedofil.
“Petunjuk biologis yang melekat pada pedofilia menunjukkan, akarnya adalah sejak masa prenatal,” kata psikolog klinis dan seksolog Amerika-Kanada, James Cantor kepada New York Times. “Ini bukan faktor genetik. Mereka dapat ditelusuri ke periode perkembangan tertentu di dalam rahim.”
Faktor psikologis dan lingkungan juga kemungkinan berkontribusi. Walau belum jelas bagaimana faktor itu berinteraksi dengan kondisi perkembangan perilaku pedofilia. Mengutip USA Today, direktur penelitian forensik di Royal Ottawa Health Care Group di Kanada, Michael Seto mengatakan, pedofilia adalah sesuatu yang dideritaorang sejak lahir atau setidaknya menjadi kecenderungan seseorang.
Seto juga mengungkap, insiden cedera kepala saat berusia dini juga punya risiko tinggi. PsychCentral menulis beberapa faktor lain, seperti perbedaan struktur di otak, hormon, perkembangan saraf, paparan pornografi, serta pelecehan seksual secara fisik di masa anak-anak.
Pria lebih mungkin menderita pedofilia daripada perempuan. Penyebabnya, pria lebih mungkin menderita parafilia lainna, termasuk eksibisionisme, voyeurisme, dan sadisme. Pria pun lebih mungkin melakukan tindakan kriminal ketimbang perempuan.
Apakah pedofil dan kekerasan anak sama?
Sebagian besar orang yang berpikir tentang pedofilia menganggap hal itu identik dengan kekerasan seksual anak. Padahal berbeda. Tidak semua orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak adalah pedofil.
USA Today menulis, beberapa pedofil tidak pernah melakukan kekerasan terhadap anak. Sebaliknya, beberapa orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak tidak menyukai anak secara seksual, tetapi menggunakan anak sebagai pengganti pasangan dewasa. Dinukil dari PsychCentral, diperkirakan 50% dari mereka yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak tidak memenuhi kriteria pedofilia.
Psikolog Anna Salter, dikutip dari USA Today menebut, kekerasan seksual sesungguhnya melibatkan motor dan rem. Banyak orang mengalami pikiran seksual yang tidak pantas (motor), tetapi ada rem (misalnya empati) yang mencegah seseorang bertindak berdasarkan pikiran itu. Bagi seorang pedofil, motornya adalah ketertarikan seksual kepada anak-anak, tetapi mereka masih dapat menggunakan rem untuk berhenti melakukan pelecehan.
Salter mengungkap, beberapa pedofil dibesarkan di tempat mereka diperlakukan dengan buruk atau ditelantarkan. Beberapa pedofil juga menunjukkan sifat psikopat. Hal itu memicu mereka melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Apakah pelaku bisa kembali mengulangi perbuatannya?
Dalam The Conversation, dosen senior kriminologi forensik di University of New England, Xanthe Mallett mengatakan, beberapa dari pelaku kekerasan seksual anak yang terobsesi, tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu salah. Mereka benar-benar percaya bahwa mereka menunjukkan “kasih sayang” kepada anak-anak.
Mallett mengatakan, angka residivisme di kalangan pelaku kejahatan seksual terhadap anak cukup tinggi. Dia menyebut, sekitar 17% pelaku kejahatan seksual terhadap anak di Australia kemungkinan akan mengulangi perbuatannya dalam waktu dua tahun. Sementara mereka yang benar-benar yakin bahwa mereka tidak menyakiti anak-anak lewat hubungan seksual sangat kecil kemungkinannya untuk direhabilitasi.
Di sisi lain, dikutip dari USA Today, James Cantor mengatakan tak ada perawatan yang dapat mengubah seorang pedofil menjadi bukan pedofil lagi. Namun, pedofil dapat diajarkan pengendalian diri dan strategi kompensasi, yang lebih mungkin terjadi jika mereka berada dalam pengawasan seorang profesional.