Pembangunan giant sea wall atau tanggul laut raksasa di pesisir utara Pulau Jawa tampaknya bakal serius dikerjakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam lawatan Prabowo ke China beberapa waktu lalu, megaproyek ini menjadi salah satu pembahasan dengan Presiden Xi Jinping.
Giant sea wall sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN)—sebelum Prabowo menjabat presiden—yang kemungkinan bakal terwujud 30 hingga 40 tahun ke depan.
Pada Januari lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pembangunan giant sea wall membutuhkan anggaran Rp700 triliun. Hingga kini, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengatakan, kementeriannya masih melakukan studi kelayakan terkait desain dan kajian soal pembiayaan megaproyek itu, terutama di Jakarta.
Namun, pada 2019 Kementerian PU sudah menyelesaikan pembangunan tanggul sepanjang 12,66 kilometer. Lalu, tahun 2020 sepanjang 33,54 kilometer. Tanggul pantai yang sudah dibangun, di antaranya tanggul Kamal Muara-Dadap, Kalibaru, dan Cakung Drain. Kemudian, jika penurunan permukaan tanah terus berlangsung, maka akan dibangun giant sea wall seluas 112.000 meter persegi.
Tembok laut raksasa tersebut pun bakal diperpanjang hingga Jawa Timur. Menurut Airlangga, proyek ini penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan penurunan permukaan tanah. Tanggul raksasa diharapkan bisa memberi perlindungan yang baik di wilayah pesisir utara Jawa dari ancaman banjir dan abrasi.
Giant sea wall dibagi menjadi tiga fase pembangunan. Pertama, pembangunan tanggul pantai dan sungai, serta sistem pompa dan polder di pesisir utara Jakarta. Kedua, pembangunan tanggul laut pada sisi sebelah barat pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum 2030. Ketiga, pembangunan tanggul laut di sisi sebelah timur pesisir utara Jakarta yang dikerjakan sebelum 2040.
Menurut Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, problem di wilayah pesisir, seperti Jakarta, Semarang, Demak, dan Pekalongan bukan semata abrasi dan rob. Melainkan masalah penurunan permukaan tanah, yang tidak bisa ditangani oleh tembok.
Pembangunan tembok, kata Elisa, justru dapat memperburuk sedimentasi sungai. Bila semua muara sungai ditutup, maka arus air bisa berbalik karena air susah mengalir ke laut dan permukaan laut lebih tinggi daripada permukaan sungai.
Biaya Rp700 triliun, yang sempat disinggung Airlangga, menurut Elisa juga hampir tidak masuk akal. “Rp700 triliun? Untuk Jakarta saja diperkirakan Rp400-Rp500 triliun dalam NCICD (National Capital Integrated Coastal Development),” kata Elisa kepada Alinea.id, Kamis (21/11).
Menurutnya, anggaran itu lebih merujuk pada reklamasi para pengembang. Umumnya, kata Elisa, untuk membiayai program besar itu akan berbentuk public private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Tujuannya, demi mendapatkan investasi swasta. Hal ini pun diduga bakal berbuah pada sesuatu yang menjadi kompensasi. Misalnya, proyek reklamasi atau jalan tol.
“Jadi, kalau saya melihatnya rencana GSW (giant sea wall) itu ya sebetulnya lebih untuk rencana terkait real estate dan reklamasi developer,” ucap Elisa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung mengingatkan, masalah di pesisir tidak berdiri sendiri. Ada berbagai aspek yang memengaruhi dalam konteks ancaman tenggelam, persoalan penurunan permukaan tanah, beban bangunan, dan karakteristik tanah di pesisir.
Selain itu, ada juga masalah kenaikan muka air laut akibat krisis iklim. Ditambah ketersediaan lingkungan alami di pesisir, seperti ekosistem mangrove. Menurutnya, masalah-masalah tersebut terakumulasi dan menyebabkan ancaman, terutama di pesisir Jakarta.
“Dengan begitu, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi ancaman-ancaman di pesisir Jakarta, salah satunya abrasi, juga harus holistik dan tidak berpaku pada satu pendekatan seperti tanggul,” ujar Suci, Rabu (20/11).
“Tanggul laut sendiri berfungsi untuk menahan ancaman, bukan solusi jangka panjang.”
Di samping itu, kata Suci, soal pendanaan untuk infrastruktur bukan cuma pada tahap pembangunan, tetapi juga pemeliharaan. Oleh karena itu, solusi pembangunan tanggul laut diperluas untuk urusan komersil, properti, dan jalan tol, sehingga dapat menghindari beban APBD.
Namun, jika dihitung bersamaan dengan eksternalitas negatif yang tidak masuk ke dalam perencanaan proyek, maka beban pemerintah akan jauh lebih besar dari total yang sudah dianggarkan.
Lebih lanjut, Suci mengingatkan, dampak lainnya ada sekitar 24.000 nelayan dan permukimannya yang akan tergusur. Imbasnya, bakal menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang meluas. Bahkan, menimbulkan kemuskinan ekstrem.
“Di sisi lain, aspek lingkungan hidup terutama pada ekosistem mangrove alami yang menjadi habitat kera ekor panjang itu akan punah,” kata Suci.