close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kawanan domba yang diawasi seekor anjing./Foto Counselling/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi kawanan domba yang diawasi seekor anjing./Foto Counselling/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Satwa
Kamis, 27 Februari 2025 06:21

Apakah hewan juga bisa mengalami masalah kesehatan mental?

Hewan juga dapat terpapar pada situasi menakutkan atau menegangkan, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan mental.
swipe

Selama masih hidup, manusia kerap bergulat dengan masalah kesehatan mental. Namun, apakah hewan juga bisa mengalaminya?

Menurut profesor ilmu saraf, kognisi, dan perilaku dari Universitas San Diego, Rachel Blaser dalam tulisannya di The Conversation, terkadang perubahan genetik memengaruhi cara otak terbentuk, yang dapat menyebabkan cacat mental. Hewan juga dapat terpapar pada situasi menakutkan atau menegangkan, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan mental.

Down syndrome—kondisi genetik yang bisa memperlambat proses belajar dan berpikir pada manusia—menurut Blaser tidak diidap hewan karena gen mereka tersusun dalam kromosom secara berbeda dari gen manusia. Namun, simpanse dan orangutan punya susunan gen serupa manusia. Maka, kondisi sangat mirip down syndrome terjadi pada seekor simpanse betina di Jepang bernama Kanako.

“Dia (Kanako) memiliki masalah penglihatan dan jantung yang disebabkan oleh kromosom ekstra. Para ilmuwan tidak tahu apakah Kanako mengalami kesulitan belajar, karena masalah penglihatannya membuat hal itu sulit untuk diuji. Namun, Kanako senang bersosialisasi dengan simpanse lain dan berumur panjang di suaka margasatwa,” tulis Blaser.

Profesor madya dan dokter hewan di Universitas Pennsylvania, Carlo Siracusa mengatakan kepada Popular Science, hewan benar-benar dapat mengalami penyakit mental. Menurut dia, ada wilayah serupa yang mengatur emosi di otak manusia juga bekerja pada hewan, yang menunjukkan tanda-tanda kecemasan.

Meski otak manusia dan hewan berbeda dalam ukuran dan kompleksitas, pemrosesan emosional dalam kedua kasus terjadi di amigdala. Serupa dengan manusia, anjing yang telah diabaikan atau yang telah mengalami perubahan besar yang mengganggu pada lingkungannya dapat menunjukkan agresi impulsif. Hewan peliharaan, juga seperti manusia, dapat membentuk perilaku kompulsif.

Profesor emeritus ekologi dan biologi evolusi di Universitas Colorado Boulder, Marc Bekoff pun mengatakan, manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang menderita gangguan psikologis.

“Semua mamalia memiliki struktur dasar otak dan sinyal kimia yang sama. Jadi, jika kita menderita masalah kesehatan mental, mengapa mamalia lain tidak?” ujar Bekoff kepada Discover Magazine.

Hewan yang dilahirkan sehat, kata Blaser, juga bisa mengalami masalah kesehatan mental. Biasanya, hal itu terjadi sebagai respons terhadap kondisi di sekitar mereka. Pada 2014, seperti dilaporkan The Guardian, ada 10% anjing militer Amerika Serikat yang dikerahkan di medan tempur memiliki tanda-tanda gangguan stres pascatrauma.

Kepala kedokteran perilaku di rumah sakit anjing pekerja militer Daniel E. Holland di Texas, Walter F. Burghardt kepada The Guardian mengatakan, kondisi kesehatan mental ini pertama kali menjadi perhatian publik pada 2010, ketika diagnosisnya secara resmi diakui militer.

Direktur klinik perilaku hewan di Cummings School of Veterinary Medicine di Universitas Tufts, Nicholas H. Dodman menuturkan, dia melihat kasus gangguan stres pascatrauma anjing pertama kali pada 1980-an, saat dia merawat seekor anjing bernama Elsa.

Gejala gangguan stres pascatrauma pada anjing berbeda-beda. Beberapa anjing terlalu responsif, yang lainnya mengalami perubahan temperamen, seperti lebih agresif, manja, atau pemalu. Beberapa mencoba melarikan diri atau menghindari situasi tertentu.

Stres harian pun menjadi penyebab umum masalah kesehatan mental pada hewan. Menurut Blaser, hewan yang dikurung di kebun binatang, peternakan, atau laboratorium penelitian dapat mengalami stres dari berbagai sumber, seperti suara bising kendaraan, suhu yang membuat tidak nyaman, atau ketidakmampuan melakukan perilaku alami tertentu.

“Terkadang mudah melihat saat hewan stres atau cemas. Mereka mungkin mondar-mandir, menghabiskan hari-hari mereka dengan bersembunyi atau bersikap sangat agresif,” ujar Blaser.

“Sering sakit atau kehilangan berat badan juga bisa menjadi tanda kesehatan mental yang buruk. Hormon tertentu yang disebut kortikosteroid, dapat diukur dari sampel kotoran untuk memberikan petunjuk apakah hewan mengalami stres.”

Gangguan mental pada hewan juga dapat muncul dengan cara yang dramatis. Dalam bukunya, Animal Madness (2014), penulis Laurel Braitman mengeksplorasi banyak kasus ini.

Misalnya, seekor gajah Asia bernama Tip, yang dikirim menyeberangi Samudera Atlantik ke kebun binatang New York City pada akhir 1880-an. Tip dilaporkan disiksa penjaganya secara teratur. Suatu hari, Tip yang sebelumnya tampak jinak dan tenang, menyerang dan mencoba menginjak penjaganya. Tiga tahun kemudian, Tip menyerang orang yang sama lagi menggunakan gadingnya.

“Kenyataannya, perilaku reaksioner Tip, seperti halnya hewan kebun binatang yang dianiaya lainnya, kemungkinan merupakan hasil kumulatif pemisahan paksa dari kelompoknya dan menjalani perjalanan laut yang tidak wajar dan mungkin traumatis,” tulis Popular Science.

Tidak perlu mengalami penyiksaan atau pengabaian ekstrem untuk menunjukkan gejala gangguan mental pada hewan. Terkadang, perubahan besar seperti pindah rumah atau kehilangan sosok yang dicintai, bisa memicu respons.

“Saya punya dua anjing dan satu mati. Yang hidup mencari-cari anjing yang mati,” ujar Bekoff kepada Discover Magazine.

“Dia juga tidak bisa tidur atau makan dengan baik. Dia hanya mencoba mencari tahu di mana temannya berada.”

Namun, ada beberapa bentuk penyakit mental yang hanya dialami manusia. Menurut Popular Science, kasus psikosis, seperti skizofrenia misalnya, terkait langsung dengan kompleksitas otak manusia. Penelitian dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, skizofrenia merupakan hasil dari bagian-bagian DNA yang mengalami perubahan evolusi cepat pada manusia, tetapi tetap sama pada hewan.

“Sejauh yang dapat kami ketahui, hewan tidak memiliki kemampuan untuk merasa tidak aman dalam lingkungan sosial atau menunjukkan keputusasaan atas konsep-konsep abstrak dan eksistensial,” ujar Siracusa.

“Artinya, hewan tidak dapat mengalami jenis-jenis depresi klinis tertentu yang mungkin terjadi pada manusia.”

Di samping itu, menurut Siracusa dalam Discover Magazine, otak anjing tidak dapat merencanakan masa depan. Karenanya, anjing tidak dapat merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Mereka tidak khawatir jika teman-temannya di taman mengolok-olok,” ujar Siracusa.

“Anjing tidak terobsesi dengan pikiran mereka layaknya manusia. Mereka tidak mungkin mengalami depresi dalam konteks manusia."

Masalahnya, jika manusia dapat berkomunikasi untuk menggambarkan pengalaman psikologisnya kepada psikolog, hewan tidak bisa. Kita hanya bisa benar-benar mengetahui apakah hewan mengalami kecemasan atau gangguan mental lainnya berdasarkan pengamatan terhadap perilaku mereka.

“Dokter hewan dapat mendiagnosis satwa dengan kecemasan atau gangguan obsesif kompulsif ketika mereka melihat bukti potensial dari tindakan mereka. Namun, mereka tidak dapat membaca pikiran hewan. Jadi, masih belum pasti berapa banyak hewan yang mungkin benar-benar mengalami kondisi mental yang dapat dikaitkan dengan penyakit mental,” tulis Popular Science.

Sementara itu, Siracusa mengatakan, hewan yang mengidap penyakit mental sering kali baru ketahuan saat perilakunya berdampak negatif pada kehidupan pemiliknya. Padahal, kemungkinan besar ada kelompok hewan yang lebih besar yang menderita kecemasan tingkat rendah yang tidak ketahuan.

“Dalam kasus ini, mereka tidak menghancurkan (benda), mereka tidak buang air kecil dan besar. Kasus-kasus seperti ini lebih mungkin terlewatkan karena praktis tidak ada masalah,” kata Siracusa kepada Popular Science.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan