Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka menginginkan agar pelajaran coding atau pemrograman komputer dapat diterapkan di siswa sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP). Menurut dia, langkah ini penting supaya Indonesia bisa bersaing dengan negara lain, seperti India, yang sudah menghasilkan tenaga ahli di bidang teknologi.
“Untuk menuju Indonesia emas, kita butuh generasi emas. Kita ingin lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI (artificial intelligence), ahli-ahli machine learning, dan lain sebagainya,” kata Gibran saat memberi arahan di rapat koordinasi evaluasi pendidikan dasar dan menengah di Jakarta, Senin (11/11), seperti dikutip dari Antara.
Di kesempatan yang berbeda, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti sepakat dengan usul Wapres Gibran. Dia mengatakan, mata pelajaran coding dan AI bakal diajarkan mulai dari kelas 4 SD.
Di samping itu, Mu’ti menuturkan, AI dan coding nantinya cuma menjadi mata pelajaran pilihan. “Bukan mata pelajaran wajib,” ujar dia di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (13/11), seperti dikutip dari Antara.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, siswa SD dan SMP di Indonesia masih perlu menaikkan level literasi dan numerasi. Maka dari itu, kurang tepat bila harus dijejal materi pelajaran coding.
“Pemerintah jangan banyak maunya. Apalagi keinginan itu tidak berdasarkan data dan kajian,” ujar Ubaid kepada Alinea.id, Rabu (13/11).
“Harusnya pemerintah banyak mendengar peserta didik, guru-guru, dan orang tua, mereka itu punya harapan apa soal pendidikan.”
Ubaid menilai, akan sangat muskil langsung diajarkan coding di tengah kualitas pendidikan yang masih sangat buruk serta rendahnya literasi dan numerasi. Pendidikan di Indonesia pun masih bergelut dengan kesejahteraan guru yang memprihatinkan.
“Lalu mereka (guru) akan dibebani pelajaran tambahan coding, ya tambah pusing tujuh keliling. Bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah menambah masalah baru lagi,” kata Ubaid.
Di Singapura, pelajaran coding sudah diterapkan untuk siswa SD, sejak masa uji coba pada 2020 lalu. Program pelajaran itu disebut Code for Fun (CFF), yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Infocomm Media Development Authority (IMDA)—badan hukum di Singapura yang bertugas mengembangkan media dan informasi, berada di bawah Kementerian Pengembangan Digital dan Informasi Singapura.
Selain Singapura, China pun memasukkan coding dalam kurikulum untuk siswa SD dan SMP. Kementerian Pendidikan China menyatakan, peningkatan keterampilan teknologi dan informasi (TI) bagi siswa sangat penting. Maka dari itu, mereka mengeluarkan pedoman untuk mempromosikan dan mengatur pendidikan terkait coding. Perguruan tinggi keguruan di China pun membuka jurusan pendidikan TI untuk mencetak guru yang mempu mengajarkan coding kepada para siswa.
Banyak perguruan tinggi biasa, yang mendidik para guru, telah membuka jurusan pendidikan TI untuk mencetak guru yang mampu mengajarkan coding kepada para siswa, katanya, seraya menambahkan bahwa pihaknya telah meminta kepada instansi pendidikan setempat untuk membuat rencana awal guna melatih guru TI agar mahir dalam coding.
Menurut Mendikdasmen Abdul Mu’ti, gagasan terkait mata pelajaran baru soal coding bukan hal baru. Sebab, beberapa SD di Indonesia sudah ada yang mengajarkannya. "Ternyata beberapa SD di Jakarta, bahkan di Aceh itu sudah ada yang mengembangkan coding untuk SD," ujar dia, dikutip dari Antara.
Selain belajar menulis kode, pengalaman pendidikan coding dapat menumbuhkan kreativitas, pemikiran kritis, dan keterampilan memecahkan masalah. Dilansir dari the Code Galaxy, coding untuk anak-anak mengacu pada proses mengajar anak-anak cara membuat instruksi yang dapat dipahami dan diikuti oleh komputer guna melakukan tugas tertentu. Intinya, membantu anak-anak memahami kalau mereka bisa melakukan tindakan yang menghasilkan konsekuensi pada komputer.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah sepakat materi coding diajarkan pada level SD atau SMP. Namun bukan dalam bentuk pelajaran wajib, tetapi ekstrakurikuler.
“Artinya tidak wajib, tapi siswa yang berminat dan berbakat difasilitasi,” kata Jejen, Rabu (13/11).
Jejen berpendapat, pada dasarnya sekolah harus memfasilitasi berbagai bakat siswa, termasuk coding. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga soal pendanaan fasilitas dan tenaga pelatih.
“Artinya pemerintah siap dengan konsekuensi biayanya. Jika tidak ada guru yang bisa, maka dapat mendatangkan dosen atau praktisi,” tutur dia.