Apakah pengidap skizofrenia paranoid bisa dipenjara?
Masih ingat dengan Andi Andoyo, 26 tahun, yang membunuh seorang perempuan bernama Fresa di dekat lobi Central Park Apartment, Jakarta Barat pada 26 September 2023? Dalam dakwaan persidangan, Andi diketahui sengaja dan merencanakan dahulu membunuh korban.
Andi lantas divonis 16 tahun penjara dalam persidangan di Pengadilan Neger Jakarta Barat pada Senin (8/7). Ia dikenakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Mulanya, jaksa penuntut umum menuntut Andi selama 18 tahun.
Walau terbukti menghilangkan nyawa orang lain, tetapi keterangan medis yang dikeluarkan Rumsah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur setelah melakukan observasi kejiwaan sekitar delapan hari, menyatakan Andi mengidap skizofrenia paranoid. Menurut Kapolres Metro Jakarta Barat, M. Syahduddi, seperti dikutip dari Antara, perbuatan pelanggar hukum yang dilakukan Andi merupakan bagian dari gejala gangguan jiwa.
Bagaimana kondisi pengidap skizofrenia?
Psikolog Tika Bisono mengatakan, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan paling tinggi. Seseorang yang mengidap skizofrenia dipengaruhi waham atau halusinasi. Jika sudah masuk ke fase kepribadian ganda, seseorang dapat putus hubungan dengan realitas. Sedangkan pada fase paranoid, seseorang identik memiliki teman khayalan.
“Jadi, status skizofrenia itu sudah ada disorders, sudah ada gangguan. Diajak ngomong, sekali-kali nyambung, (namun sekali-kali) tidak sejalan dengan pemikiran dia, bahkan ngaco,” ujar Tika kepada Alinea.id, Sabtu (21/7).
Singkatnya, pengidap skizofrenia sudah tidak dalam kondisi normal, baik kepribadian maupun cara berpikir. Kondisi skizofrenia tak bisa lepas begitu saja dari dalam dirinya.
“Kan gini ya, orang sakit kanker ibarat pas relapsed kan biasa saja, bukan berarti kankernya enggak ada. Kalau sudah skizofrenia paranoid sudah enggak ada partial-partial-nya, ini sudah kategori tinggi,” ucap Tika.
Terpisah, psikolog forensik Lia Sutisna Latif mengatakan, pemeriksaan terhadap seseorang yang mengidap skizofrenia yang paling utama adalah pada munculnya halusinasi. Baik saat muncul sebelum kejadian pembunuhan, ketika terjadi pembunuhan, dan sesudah terjadi pembunuhan.
“Selama proses ini, apakah halusinasi itu muncul atau tidak? Motif seseorang yang membunuh karena dia mengalami skizofrenia, ada halusinasi,” kata Lia, Minggu (22/7).
Menurut dia, halusinasi terbagi menjadi halusinasi visual, pendengaran, dan aroma. Terkait hal ini, kata dia, perlu ada pemeriksaan detail, baik dari saksi maupun tersangka mengenai dinamika psikologis yang terjadi pada tersangka.
“Before and after incident, bagaimana kondisi mental dia (tersangka), perlu ada pemeriksaan detail,” tutur dia.
Dikutip dari Medical News Today, skizofrenia adalah kondisi kesehatan mental yang tetap ada seumur hidup. Gejalanya sering muncul antara usia 16 dan 30 tahun. Kondisi ini dapat memengaruhi proses berpikir, persepsi dan perasaan, pola tidur, kemampuan berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain, serta kemampuan untuk fokus.
Gejala skizofrenia meliputi pemikiran yang tidak teratur dan pemrosesan informasi; masalah dengan menggunakan informasi yang baru dipelajari; kesulitan fokus; menarik diri dari keluarga, teman, dan aktivitas; perubahan bahasa tubuh dan emosi; kurangnya motivasi, minat, dan kesenangan; perubahan pola tidur; serta gejala psikosis seperti halusinasi dan delusi.
Pengidap skizofrenia dapat terkena pidana?
Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, faktor yang memberatkan, meringankan, atau menghapuskan hukuman adalah kejiwaan seseorang. Pelaku yang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, termasuk yang mengidap penyakit kejiwaan.
Fickar mengingatkan, pengidap skizofrenia termasuk ke dalam kategori tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pelaku tidak dapat dibawa ke meja hijau, apalagi dipenjara. Hal ini sesuai Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang menyebut barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Sedangkan pasal 44 ayat (2) aturan itu menyebut, jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertangungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
“Jika skizofrenia termasuk kategori sakit jiwa, maka harus dilepaskan dari tuntutan,” kata Fickar, Minggu (21/7).
Di sisi lain, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Agus Surono berpendapat, gangguan psikologis skizofrenia harus memenuhi Pasal 44 KUHP. Sebab, unsur itu menjadi kata kunci pelaku bisa dikualifikasi memenuhi Pasal 44 KUHP, sehingga kesalahan pelaku dimaafkan.
“Pendapat majelis hakim tentu didasarkan bahwa pelaku tindak pidana tidak memenuhi kualifikasi, sebagaimana Pasal 44 KUHP, yaitu pelaku bukan cacat jiwanya dalam pertumbhan atau karena penyakit,” ujar Agus, Minggu (21/7).
Terlepas dari itu, Tika Bisono mengingatkan, pengidap skizofrenia identik dengan perawatan di rumah sakit. Kalaupun tidak dalam kondisi tantrum dan brutal, masih bisa menjalani perawatan di rumah. Namun, tetap harus mengonsumsi obat.
“Dia (pengidap skizofrenia) harusnya ada di institution yang memberikan treatment,” tutur Tika.