Bayangkan kamu sedang berada di sebuah pantai sembari menikmati matahari yang sedang tenggelam. Di horizon, warna kuning keemasan mendominasi. Ada pula bauran warna merah muda di atas langit yang mulai temaram. Burung-burung terlihat beterbangan di bibir pantai.
Seberapa jelas kamu dapat memvisualisasikan narasi tersebut? Apakah detail warna dan bentuk-bentuk yang muncul dalam narasi itu bisa diingat secara menyeluruh? Apakah bayangan yang muncul di benak kamu hanya samar-samar?
Jika kamu tidak bisa memvisualisasikan narasi itu secara utuh, kemungkinan besar kamu termasuk penderita aphantasia. Itu adalah kondisi ketika seseorang tidak mampu membayangkan atau menggambarkan suatu peristiwa atau cerita secara menyeluruh. Sekitar 2-5% manusia memiliki gangguan semacam itu.
“Orang dengan aphantasia tidak dapat membayangkan secara mental bagaimana orang tua, teman, atau pasangan mereka terlihat saat mereka tidak bersama. Tetapi, mereka masih dapat menggambarkan karakteristik fisik orang yang mereka cintai. Informasi visual ini telah tersimpan dengan cara lain,” ujar Paolo Bartolomeo, ahli neurologis di Paris Brain Institute seperti dikutip dari Newswire.
Apanthasia membuat kita kehilangan mind’s eye atau mata pada otak kita. Ketika kita sedang mendengarkan cerita dari seseorang, alam bawah sadar kita lazimnya akan mencoba merekonstruksi ulang cerita itu dalam bentuk visual. Namun, para pengidap apanthasia tak bisa melakukan hal itu.
Bersama Jianghao Liu, rekannya sesama peneliti di Paris Brain Institute, Paolo pernah menggelar riset untuk mencari tahu asal muasal aphantasia. Mereka melibatkan 117 relawan, termasuk di antaranya 44 penderita aphantasia, 31 orang yang punya kemampuan visual "super", serta 42 orang dengan kemampuan visual biasa-biasa saja.
Para partisipan diminta untuk melihat sebuah layar kosong. Pada saat yang sama, mereka juga mendengarkan suara yang mendeskripsikan kualitas visual, seperti bentuk atau warna. Para peneliti menyiapkan dua opsi objek--misalnya, berang-berang atau rubah--dan meminta para partisipan menentukan objek yang mana yang cocok dengan deskripsi audio.
Paolo dan Liu kemudian mencatat kecepatan respons dan relevansi jawaban dari para partisipan. Mereka menemukan performa para pengidap aphantasia tak berbeda terlalu jauh jika dibandingkan dengan para partisipan lainnya.
"Tetapi, dengan satu pengecualian. Para pengidap aphantasia, secara umum, lebih lamban dalam memproses informasi visual, terumatama untuk bentuk dan warna. Mereka juga tidak terlalu yakin denga akurasi jawaban mereka," jelas Liu.
Studi sebelumnya memang menunjukkan kelompok aphantasia tak punya persoalan dalam memanipulasi konsep abstrak atau mengalami kendala bahasa. Hanya proses memvisualisasikan informasi yang jadi persoalan bagi mereka.
Menurut Paolo, itu menunjukkan kaum aphantasia sebenarnya punya akses terhadap informasi mengenai bentuk-bentuk, warna, dan hubungan spasial. "Tetapi, informasi visual itu tidak bisa diterjemahkan ke sebuah mental image visual dalam pengalaman kesadaran mereka," kata dia.
Terminologi apanthasia sebenarnya tergolong baru. Pada akhir abad ke-19, para ilmuwan, khususnya Francis Galton, menemukan bahwa sebagian besar orang mampu memvisualisasikan objek secara lebih mendetail ketimbang yang lainnya. Namun, Galton dan kawan-kawan tak punya penjelasan ilmiah lebih lanjut soal itu.
Apanthasia baru "viral" pada 2003. Ketika itu, peneliti University of Exeter Adam Zeman menerbitkan sebuah laporan ilmiah mengenai pengidap apanthasia setelah bertemu seorang berusia 65 tahun yang kehilangan kemampuan mental memvisualisasikan orang-orang dan karakteristik suatu tempat usai mengalami operasi.
Pada 2015, Zeman menerbitkan riset baru mengenai 21 orang yang mengidap apanthasia sejak lahir. Artinya, apanthasia tak hanya dialami karena kondisi medis tertentu atau cacat. Ada pula orang-orang pengidap apanthasia karena faktor genetik.
Dari kajiannya, Zeman menemukan apanthasia cenderung punya ketertarikan pada seni berbasis visual. "Karena bentuk-bentuk visual kosong dalam benak mereka," tulis Zeman.
Faktanya, banyak orang-orang dengan aphantasia bekerja sebagai desainer grafis, animator atau bahkan seniman lukis. Tom Ebeyer, pendiri Aphantasia Network, mengatakan para pengidap apanthsia seperti dia umumnya tidak memiliki masalah dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.
"Orang-orang yang punya aphantasia tidak punya persoalan dalam memproduksi pekerjaan-pekerjaan kreatif tingkat tinggi. Hanya cara memproses kami saja yang berbeda," kata Ebeyer.