Aroma eksploitasi di balik nikmatnya kopi luwak
Belum lama ini, organisasi People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) mengeluarkan peringatan untuk wisatawan di Bali agar tak mengonsumsi kopi luwak. “Pemandu wisata di Bali sering menyesatkan wisatawan dengan mengklaim kopi luwak diperoleh dari kotoran musang liar,” ujar Wakil Presiden Senior PETA Jason Baker, seperti dikutip dari CNBC. “Padahal, kenyataannya sebagian besar kopi ini adalah produk dari penangkaran hewan-hewan tersebut dalam kondisi yang kejam di peternakan.”
Kenikmatan kopi luwak sudah tersohor bagi penikmat kopi. Situs kuliner dunia TasteAtlas, Jumat (15/3), menempatkan kopi luwak asal Indonesia di urutan ke-34 kopi terbaik di dunia dengan skor 3,8 poin skala 5 poin. Sedangkan di Asia Tenggara, kopi luwak ada di urutan ke-5 kopi terbaik.
Kopi luwak kerap disebut-sebut sebagai kopi termahal di dunia. Menurut TasteAtlas, kopi ini terbuat dari biji kopi yang dicerna dan dikeluarkan luwak—hewan dari jenis musang—lalu dicuci, digiling, dan dipanggang. Taste Atlas menyebut, ketika melintasi saluran pencernaan luwak, biji kopi dipercaya akan kehilangan astrigency-nya, yang membuat kopi menjadi lebih lembut, halus, dan tak terlalu pahit.
“Kopi ini diduga ditemukan pada abad ke-19, di masa kolonial Belanda, ketika petani dilarang memanen kopi untuk keperluan pribadi,” tulis TasteAtlas.
“Mereka secara tidak sengaja menemukan kotoran luwak mengandung biji kopi yang belum tercerna, yang kemudian dimanfaatkan untuk membuat kopi.”
Kopi luwak terkenal dengan harganya yang tinggi. “Harganya antara 45 dolar AS dan 600 dolar AS per pon,” ujar Baker kepada CNBC. Data dari perusahaan riset Spherical Insights menyebut, industri kopi luwak bernilai 7,16 miliar dolar AS, dan bisa tumbuh menjadi 11 miliar dolar AS pada 2032.
Di balik besarnya industri kopi luwak, PETA menyelidiki, ada yang dilanggar dalam proses memperoleh biji kopi dari luwak. Dalam keterangan tertulis PETA, untuk membuat kopi ini, luwak biasanya diambil dari kehidupannya di alam liar, lalu dikurung di kandang kecil.
“Mereka (luwak) kehilangan segala sesuatu yang alami dan penting, termasuk kebebasan, ruang, bahkan makanan yang ‘sesunguhnya’,” tulis laporan PETA.
Penyelidik PETA berhasil merekam kondisi penakaran luwak di sebuah peternakan di bilangan Catur, Bali. Dikutip dari CNBC, video rekaman itu memperlihatkan luwak-luwak yang dikurung di dalam kandang yang dipenuhi kotoran dan buah kopi yang membusuk, banyak di antara hewan itu mengalami luka.
Laporan tertulis PETA menyebutkan, di alam liar musang luwak memanjat pohon untuk mendapatkan buah kopi yang matang. Namun di penangkaran, luwak hanya diberi makan buah kopi dalam wadah penuh. Jauh lebih banyak daripada yang biasa mereka makan di alam liar, sehingga menyebabkan kekurangan nutrisi.
“Ini bukan pertama kalinya PETA menyerukan wisatawan untuk memboikot kopi luwak. Pada 2022, PETA mengimbau wisatawan harus menghindari kopi luwak setelah musang ditemukan dalam kondisi depresi saat kotorannya dikumpulkan,” tulis CNBC.
Walau demikian, pemilik Balistar Coffee, Ubud, Bali, Ketut Sukaya tak sepakat dengan anggapan produksi kopi luwak sama dengan eksploitasi musang kelapa itu. Sebab, kata dia, tak semua luwak yang terlibat dalam rantai produksi kopi dikurung dalam kandang.
“Tapi ada juga luwak yang (hidup di alam) liar,” kata Ketut kepada Alinea.id, Jumat (15/3).
Itulah mengapa kopi luwak dianggap Ketut sebagai “batu hitam” yang spesial. Saking spesialnya, kopi luwak hanya tersedia setahun sekali alias “kopi musiman”. Dengan permintaan yang tinggi, tak heran kopi luwak liar akan habis pasokannya hanya dalam waktu tiga bulan setelah masa panen.
Sementara itu, jika produsen memproduksi kopi luwak dari peternakan, hewan tersebut juga diberi makanan selain buah kopi, semisal daging, buah-buahan, dan sayuran. Ketut menambahkan, untuk memelihara luwak bukanlah urusan mudah. Biasanya, luwak yang dipelihara membutuhkan perawatan ekstra. Atas dasar itu, ia percaya pasokan kopi luwak lebih banyak diperoleh dari luwak liar.
“Kalau ada yang memelihara satu atau dua ekor, dan itu hanya untuk peliharaan saja supaya orang tahu hewan luwak itu seperti apa,” ujar Ketut. “Karena luwak tidak bisa ditemukan pada pagi hari.”
Terpisah, konten kreator senior di Narasimha—yang mengangkat soal isu-isu seputar satwa liar—Nadhifah Mareli atau akrab disapa Difa mengungkapkan, arahan PETA dan aktivis konservasi untuk turis agar tak meminum kopi luwak pernah dilakukan pula pada 2012 dan 2013.
“Yang menjadi concern-nya konservasionis kepada hewan yang diternakan karena meskipun di Indonesia sudah ada peraturan untuk si (proses menghasilkan) kopi luwak ini di pemeliharaan, di lapangan hasilnya itu berbeda jauh dengan yang ada di peraturan,” kata dokter hewan di Satwa Sehat Jember itu saat dihubungi, Jumat (15/3).
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2015 telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 37/PERMENTAN/KB.120/6/2015 tentang Cara Produksi Kopi Luwak Melalui Pemeliharaan Luwak yang Memenuhi Prinsip Kesejahteraan Hewan. Dalam aturan itu, pemerintah mengizinkan produsen kopi luwak untuk menernakkan luwak dengan berpedoman pada lima prinsip kebebasan hewan yang diterapkan sebagai standar minimal kesejahteraan hewan.
Lima prinsip tersebut, antara lain luwak harus bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; bebas dari rasa takut dan tertekan; serta bebas untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Prinsip kesejahteraan hewan itu pun harus dipraktikkan pada proses produksi kopi luwak lwat kegiatan penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan, serta penggunaan dan pemanfaatan.
“Kebanyak ternak luwak di Indonesia tidak memenuhi standar yang telah ditentukan,” tutur Difa.
“Banyak yang setiap hari dipaksa untuk terus mengonsumsi (buah) kopi. Padahal, kalau menurut peraturan Menteri Pertanian, seharusnya mereka (luwak) hanya boleh mengonsumsi sebanyak tigak kali dalam seminggu.”
Dengan sistem pencernaan luwak yang sederhana, saat hewan yang hanya punya bobot tubuh 1,3-5 kilogram ini diberi makan buah kopi setiap hari, maka akan mengalami gangguan pencernaan, seperti prolaps—kondisi penggembungan atau keluarnya bagian tubuh, seperti dubur atau usus yang umumnya terjadi karena jaringan pendukung melemah.
Difa menduga, saat ini banyak peternak luwak yang melakukan praktik eksploitasi. Namun, sayangnya tak ada data yang bisa menjelaskan tentang hal ini.
“Kalau daerah yang paling gencar mengenai (pembuatan) kopi luwak pertama Bali, kedua Sumatera. Kolega saya pernah cerita, di daerah Jawa Timur juga ada,” tutur alumnus kedokteran hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Atas kondisi ini, Difa meminta agar pemerintah dapat lebih memperketat pengawasan terhadap produsen kopi luwak. Selain itu, perlu juga ada edukasi kepada warga sebagai konsumen tentang standar produksi kopi luwak yang baik. Dengan begitu, konsumen bisa melihat mana saja merek yang sudah menjalankan prinsip kesejahteraan hewan untuk dikonsumsi.
“Kopi luwak itu kan sudah seperti budaya, jadi salah satu jati diri Indonesia. Istilahnya kalau bule denger kopi luwak, itu sudah pasti langsung terbayang Indonesia,” kata Difa.