close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aruna dan Lidahnya./ Palari
icon caption
Aruna dan Lidahnya./ Palari
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 29 September 2018 20:48

Aruna dan Lidahnya: Selamat berkat chemistry para pemain

Andai Dian Sastro dan Nicholas tak bisa berperan baik sebagai sepasang sahabat, film ini mungkin berakhir sebagai proyek ekranisasi biasa.
swipe

Saya pasti akan dibenci oleh kalangan movie snoob yang memuji habis-habisan film ini. Minimal dituduh tak mendukung aktor dan aktris nasional oleh mereka yang mengagumi pasangan Dian Sastro atau Nicholas Saputra. Saya tak bilang film ini jelek, tapi ada banyak celah yang membuat saya keluar bioskop dengan wajah sedikit kusut.

Mulanya adalah ekspektasi yang biasa saja. Sebagai pembaca novel Laksmi Pamuntjak dengan judul serupa, saya menyadari, film ini akan rentan terjebak dalam proyek ambisius, saat harus menggabungkan banyak tema sekaligus: investigasi flu burung, food porn, dan gula-gula asmara. Hal yang menyelamatkan sutradara Edwin adalah chemistry yang apik, terjalin dari para pemainnya, serta kelihaian pembuat film "Posesif" itu menyajikan hidangan Nusantara dengan sangat manis.

Edwin sendiri tampaknya memang begitu hati-hati dalam proyek ekranisasi ini. Namun, seperti kegalauan Laksmi yang ingin memberi porsi seimbang antara ide kuliner dan percintaan, Edwin kembali melakukan hal senada. Saya pun dibuat bingung mana yang mau ditonjolkan, ini drama percintaan, nilai kehidupan, investigasi, atau senarai kuliner belaka?

Ya, Edwin boleh saja berikhtiar menggabungkan tema-tema itu dalam satu kemasan. Namun, kalau boleh berpendapat, film ini mungkin lebih baik jika menonjolkan sisi kulinernya saja. Sebab, saya sendiri percaya, selain musik, makanan adalah bahasa paling universal.

Lagi-lagi saya harus bilang, film ini tidak jelek, tapi juga tak terlampau menggembirakan. Dari segi penggarapan teknis, Edwin cukup berani menggunakan teknik yang paling saya gemari dalam film. "Aruna dan Lidahnya" disuguhkan dengan teknik breaking the fourth wall. Itu loh, seperti yang dipakai dalam film "Deadpool" atau "Amelie", gadis Perancis yang sederhana tapi kompleks. Si tokoh utama bisa membacakan narasi bahkan 'ngobrol' langsung dengan penonton dengan menatap kamera. Seperti namanya, teknik ini terbukti merobohkan dinding antara penonton, tokoh, dan cerita yang ingin disampaikan. Menurut saya, teknik ini berhasil diterapkan dalam film yang dibuat Studio Palari tersebut.

Aruna yang diperankan Dian Sastrowardoyo adalah seorang gadis manis yang punya profesi unik, ahli wabah. Aruna suka segala jenis makanan dan doyan makan. Dia bahkan bisa membaca karakter manusia dari apa yang dimakannya. Buat Aruna, makanan adalah warisan budaya yang sangat penting bagi manusia. Dari makanan, orang bisa belajar banyak hal. 

“Makanan itu punya kekuatan yang sama seperti alam semesta. Dia menghubungkan kita ke berbagai macam orang. Dia juga melahirkan berbagai kemungkinan baru,” kata Aruna dalam film itu.

Aruna bekerja pada sebuah perusahaan non pemerintah One World. Gagal dikirim ke India untuk sebuah misi, Aruna malah diminta untuk melakukan investigasi tentang wabah flu burung di empat kota, yaitu Surabaya, Pamekasan (Madura), Pontianak, dan Singkawang. Dia super kesal, karena proyek ini merupakan pesanan dari sebuah lembaga pemerintah. Dari pengalamannya, proyek pemerintah hanya berujung ketidakjelasan.

Ada lagi sebetulnya yang paling membuat Aruna ogah-ogahan melakukan tugas itu. Dia dan sahabatnya, Bono, sudah berencana untuk wisata kuliner berkeliling Indonesia. Bono yang diperankan Nicholas Saputra adalah seorang koki profesional. Sebagai 'tukang masak' yang mesti terampil membuat semua jenis makanan, dia harus mencari referensi kuliner baru di seluruh Indonesia.

Tak kehabisan akal, Aruna dan Bono kemudian mengambil jalan tengah. Bono akan ikut Aruna melakukan investigasi, tapi mereka akan tetap akan berwisata kuliner. Bahkan, Bono sudah membuat daftar panjang berisi nama makanan yang harus mereka coba. 

Surabaya menjadi kota pertama yang disinggahi Aruna dan Bono. Selesai menyidak rumah sakit yang konon punya pasien flu burung, Aruna dan Bono makan di warung rawon. Saat asik menyantap makanan, sesosok pria bernama Farish datang. 

Farish, yang diperankan Oka Antara, mengantar konflik pertama dalam film ini. Dia dulu teman Aruna di One World, sebelum kemudian hengkang dan pindah ke lembaga pemerintah dua tahun lalu. Kantor Farish sekarang yang memberi proyek kepada One World. Farish sendiri adalah dokter hewan yang sengaja diutus untuk 'mengawasi' proyek ini.

Aruna salah tingkah. Bukan hanya jengkel karena pekerjaannya diusik, tapi ternyata diam-diam ia menyukai Farish sejak lama. Sayangnya, sebelum cabut, Farish punya kekasih. Pertemanan Aruna dan Farish pun membeku.

Saat keadaan belum tenang karena kedatangan Farish, muncul sosok wanita cantik blasteran, Nadezhda, diperankan Hannah Al-Rasyid. Nad adalah penulis sahabat Bono dan Aruna. Usut punya usut, ternyata Bono yang 'mengundang' penulis buku kuliner ini untuk pulang ke Indonesia dan ikut berpetualang dengan mereka.

Berbagai masalah kemudian muncul dalam perjalanan mereka. Bukan hanya soal kasus flu burung yang ternyata rekayasa, tapi soal perasaan Aruna ke Farish yang mengganggu pekerjaan. Lidah Aruna yang biasanya begitu peka pada rasa, mendadak ikut hambar karenanya. Di sisi lain, Bono justru terjebak 'friendzone' dengan Nad. Keadaan juga semakin alot saat tiga pencinta makanan ini harus mencicipi kuliner bersama Farish yang tidak punya selera bagus.

“Makanan buat gue kayak matematika, cuma ada enak dan enggak enak. Buat gue makanan itu cukup jelas, bisa bikin kenyang,” kata Farish.

Dekat dengan kehidupan, tapi..

Film yang mengangkat budaya termasuk kuliner khas suatu negara biasanya terikat dengan tanggung jawab moral kepada penonton awam untuk mengenalkan budaya tersebut. "Aruna dan Lidahnya" sukses melakukan hal itu dengan cara santai tapi elegan. Titin Wattimena sebagai penulis naskah mampu mengembangkan karakter tokohnya dengan baik dan meramu dialog dengan renyah dan cerdas.

Aruna dan Lidahnya./ Palari 

Chemistry ketiganya inilah yang paling membuat saya mesam-mesem dan merasa tak terlalu rugi mengeluarkan uang tiket di bioskop. Apalagi, ditambah kisah persahabatan antara Aruna, Bono, dan Nad, film ini mampu membangun nilai-nilai seperti kepercayaan, kasih sayang, dan empati. Persahabatan Aruna dan Bono yang langgeng dan manis jelas sudah melalui berbagai ujian. Mereka saling menyayangi tapi tetap jujur.

Saat Aruna kecewa tak jadi ke India, Bono membuatkan masakan khas dari negeri itu. Udang panggang bumbu merah dengan rempah-rempah yang dikirim langsung dari India. Impresi bahagia tidak bisa disembunyikan dari wajah Aruna. Tapi setelah memasukkan suapan pertama ke mulutnya dia tak buru-buru memujinya. Hal itu pun yang terjadi saat Aruna mencoba memasak nasi goreng untuk Bono. Aruna gagal meniru resep si mbok andalannya. Namun, Bono tetap memakannya. 

Meski sempat cemburu pada Nad karena tiba-tiba dekat dengan Farish,  Aruna tetap menyayangi sahabatnya itu. Percakapan khas perempuan antara mereka mengalir natural saat berada di kamar hotel. Aruna menanyakan hubungan Nad dengan pacarnya yang sudah beristri. Dengan santai Nad bilang biasa tidur dengan pria itu, karena memang hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Meski banyak potongan scene makan di warung kaki lima atau rumah makan, tapi scene favorit buat saya adalah, ketika Bono, Aruna, dan Nad membawa segala jenis jajanan ke dalam kamar hotel. Mereka duduk di atas kasur, guyub di hadapan makanan. Adegan yang sangat manusiawi tapi jarang ditampilkan di film.

"Aruna dan Lidahnya" memang mengalir dengan santai tapi tetap dalam. Menonton film ini saya merasa ikut berpetualang dengan mereka. Dialog dan adegan dalam film ini biasa terjadi sehari-hari di pergaulan. Meski demikian, tetap mengandung filosofi yang mendalam tentang kehidupan. Melalui makanan mereka belajar arti hidup. Bono bilang, “Hidup ini kayak makanan, dalam sepiring ini nih, lu bisa ngerasain yang manis-semanisnya atau pahit-sepahitnya.”

Sementara, hal manis lain dari film ini adalah kisah 'kucing-kucingan' perasaan antara Aruna-Farish dan Bono-Nad. Tak jarang, kita pun terjebak perasaan dan hubungan yang tak terucap seperti mereka.

Sayang sekali, cerita yang berkelindan apik ini tak disokong eksekusi akting yang baik dari Nicholas. Sebagai penggemar kelas berat "Ada Apa dengan Cinta", Nicholas bagi saya adalah pria yang memukau. Namun, di film ini, peran koki itu tak total dihayati. Saya justru melihat Nicholas berusaha menjadi seolah-olah koki, bukan berperan sebagai koki betulan

Dalam novelnya pun, pengetahuan Bono akan makanan Nusantara juga terkesan sebagai tempelan semata. Ya, Nicholas dalam film ini bisa masak. Ya, dia punya bisnis restoran. Ya, dia punya hasrat berpetualang, tapi entah kenapa peran sebagai orang yang 'menyembah makanan sebagai berhala' ini tak bisa sekuat image Chicco Jericho di "Filosofi Kopi" misalnya, yang menggebu-gebu sesuai ide asli bukunya.

Film yang menggiurkan, tapi..

Hampir di sepanjang film ini, lidah saya berdecak menahan liur. Bagaimana tidak, close up makanan-makanan khas Nusantara ditampilkan dengan vulgar dalam "Aruna dan Lidahnya". Saat umur belum berumur satu menit, Aruna sedang memasak sop buntut. Melihat kuah sop dan daging buntut yang mendidih di atas panci saja sudah bikin saya menelan ludah. Eh, Aruna malah menambahkan irisan bawang daun dan tomat ke atasnya. Duh!

Sahabat penikmat makanan./ Palari

Bukan cuma bisa membayangkan rasanya, saya juga merasa bisa menghirup aroma setiap masakan yang ditampilkan dalam film ini. Memang sialan, film ini mengambil latar empat kota yang unik. Kuliner yang dipilih juga beragam dengan ciri khas daerahnya. Dari semua menu, saya hanya kenal sop buntut, nasi goreng, bakmie kepiting, dan rawon. Sementara, panganan lainnya adalah hal baru untuk telinga dan mata saya.

Lalu, apa tapinya? Untuk bagian ini, saya kira saya harus mengakui, film ini tanpa tapi, sukses membuat saya ingin membeli nasi goreng, soto, dan puluhan sajian lainnya karena lapar.

Cacat setitik

Saya pikir akting dari keempat tokoh utama ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Dian dan Nicho adalah pasangan adu peran yang ikonik buat perfilman Indonesia sejak "Ada Apa Dengan Cinta".  "Aruna dan Lidahnya" kembali membuktikan keberhasilan mereka membangun chemistry dan memerankan tokoh utama dengan baik. Sementara, Oka pun cukup lihai menjadi Farish yang punya kepribadian menarik tapi kaku. Begitu pun dengan Hannah yang menjadi perempuan feminin tapi ceplas ceplos.

Namun sebaik apapun, film "Aruna dan Lidahnya" bukan tanpa cacat. Ada sejumlah kekurangan teknis dalam film ini. Pertama, ada perbedaan ketebalan suara di beberapa scene.  Misalnya saat dialog antara Aruna dan Bono yang sedang duduk, diambil dengan medium shot bergantian dari dalam dan luar ruangan. Di situ terjadi perbedaan ketebalan suara yang mencolok pada shot yang bergantian.   

Kedua, beberapa dialog dari pemain  terdengar tidak jelas di kuping saya. Dalam beberapa adegan, artikulasi Hannah yang harus beraksen barat diucapkan dengan terburu-buru. Begitu juga dengan Oka dan Dian.

Apa lagi kelemahannya? Seperti yang saya singgung di bagian awal, saya kira justru lebih bijak jika Edwin tak meniru Laksmi menjadikan film ini begitu ambisius menggabungkan semua tema. Sebab, dalam beberapa bagian, saya melihat film tersebut justru terlalu berjejalan, riuh, dengan dialog yang total mencuplik dari novel. Tak dipilah. Padahal tentu saja kita perlu sepakat, novel dan film adalah dua medium cerita yang berbeda. Misalnya, dalam sebuah percakapan soal filosofi makanan di bawah geladak kapal, yang berlabuh di pelabuhan.

 Beberapa adegan 'ingin filosofis' juga tampak dari beberapa bagian, seperti kenapa lidah Aruna hambar. Edwin sengaja memasukkan scene agak dramatis dengan posisi Dian tengah menyedot air sungai dari sedotan yang panjang tak terkira. Adegan itu ada di mimpi, yang hingga akhir film, saya kok merasa jika adegan itu dipotong, tak akan berpengaruh pada jalinan cerita.

Terlepas dari hal itu, film ini tetap manis untuk ditonton apalagi bersama teman atau keluarga. Ya, cocok juga ditonton dengan pasangan sih, karena banyak adegan yang bikin mesam-mesem bahagia. Yang jelas saya masih penasaran dengan tiga tipe manusia seperti Aruna, Bono, dan Nad. Kok bisa ya makan enak dan banyak setiap hari tapi tetap langsing? hehe

4

Cerita dekat dengan kehidupan, namun terganjal persoalan teknis dan pendulum cerita yang seringkali berjejalan, berlarian.

 

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan