close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sekolah./Foto Jess Yuwono/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi sekolah./Foto Jess Yuwono/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Rabu, 21 Agustus 2024 06:08

Asa sekolah swasta gratis di Jakarta

Ribuan sekolah swasta di Jakarta direncanakan bakal bergabung dalam program sekolah gratis pada 2025.
swipe

Sebanyak 2.176 sekolah swasta di Jakarta bakal bergabung dalam program sekolah gratis, yang direncanakan akan diterapkan pada 2025. Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pun meminta rekomendasi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terkait rencana biaya sekolah swasta gratis. Pemprov DKI Jakarta, kata Heru, juga sedang mendata sekolah swasta se-Jakarta untuk program tersebut.

Berdasarkan data pokok pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek dalam tahun ajaran 2024/2025 di seluruh DKI Jakarta ada 927 SD swasta, 293 SMP swasta, 388 SMA swasta, dan 486 SMK swasta.

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim menilai, untuk mewujudkan sekolah swasta gratis perlu skenario matang mengenai pelaksanaannya. Sebab, sekolah swasta di Jakarta memiliki sejumlah kelas kualitas. Menurutnya, sudah pasti anggaran pendapat dan belanja daerah (APBD) Pemprov DKI Jakarta tidak cukup untuk memenuhi sekolah swasta menengah ke bawah.

“Kalau berkaca pada skema PPDB (penerimaan peserta didik baru) bersama yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta selama ini, sekolah swasta yang terlibat dan mau dilibatkan itu adalah sekolah swasta menengah ke bawah,” ujar Satriawan kepada Alinea.id, Senin (19/8).

“Perlu dipahami bahwa secara demogratif sekolah swasta itu ada yang betul-betul mereka berbiaya tinggi, kemudian segmentasi jelas, yaitu kelas menengah ke atas dengan uang pangkal dan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) yang juga sangat tinggi.”

Dia memandang, yang memungkinkan diajak bekerja sama menyelenggarakan program itu adalah sekolah swasta yang menengah ke bawah, yang tidak terlalu berbiaya mahal atau sekolah swasta yang memerlukan bantuan pendanaan. Namun, risikonya, secara kualitas kurang bagus.

“Sekolah swasta menengah ini adalah sekolah yang dikelola yayasan besar, seperti Muhammadiyah atau sekolah Ma’arif NU (Nahdlatul Ulama),” ujar dia.

“(Lalu) sekolah swasta kelompok yang paling bawah, sekolah yang kurang mutunya karena kekurangan biaya. Tentu kalau kita mau ideal, semestinya sekolah yang bisa diajak kerja sama oleh Pemprov DKI Jakarta adalah sekolah yang berkualitas.”

Akan tetapi, Satriawan meyakini, Pemprov DKI Jakarta akan melibatkan sekolah swasta yang kategorinya menengah ke bawah. Alasannya, selain lebih terjangkau secara anggaran, sekolah swasta menengah ke bawah juga membutuhkan sokongan pembiayaan dari pemerintah.

“Kalau bentuknya adalah PPDB bersama tentu sekolah-sekolah swasta ini akan terbantu. Mereka membutuhkan murid, kemudian murid sudah ada dan dapat limpahan dari sekolah negeri yang tidak bisa menampung mereka,” tutur Satriawan.

“Lalu didistribusi ke sekolah swasta tadi dan kemudian pembiayaan di-cover Pemprov DKI Jakarta. Justru ini menguntungkan bagi sekolah swasta, khususnya yang menengah ke bawah tadi.”

Meski begitu, Satriawan memberikan catatan. Program sekolah swasta gratis, kata dia, mestinya tidak hanya berfokus pada siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri, tetapi juga kualitas guru swasta yang tak punya cukup uang untuk meningkatkan kompetensinya.

“Tidak mudah juga meyakinkan yayasan untuk mau bekerja sama dengan pemerintah daerah. Jadi, perlu ada kajian mendalam, tidak hanya wacana yang populis,” ucap Satriawan.

Sementara itu, sosiolog pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan, wacana sekolah swasta gratis untuk menampung siswa dari kalangan masyarakat miskin yang tak tertampung di sekolah negeri, memerlukan data dan regulasi yang tepat. Sebab, tidak semua kualitas sekolah swasta merata di Jakarta.

“Sekolah swasta di Jakarta banyak yang elite, seperti Penabur, Gonzaga, dan Kanisius,” ujar Rakhmat, belum lama ini.

“Menurut saya, memang harus ada regulasinya, supaya itu bisa diatur. Semisal, ada aturan tentang majelis pendidikan sekolah swasta mana yang bisa diajak kerja sama, sehingga kelas-kelasnya dan latar belakang siswanya itu bisa diakomodir.”

Rakhmat merasa, regulasi sekolah swasta gratis perlu mengatur soal standar sekolah swasta yang bisa diajak bekerja sama, akreditasi, dan sarana-prasarana. Selain itu, dibutuhkan standar kompetensi guru yang tidak timpang dengan guru di sekolah negeri.

“Untuk merancang regulasi ini, memerlukan data akurat sekolah swasta yang paham betul mengenai kategori-kategori kualitas sekolah swasta secara akurat,” tutur dia.

“Oleh karean itu, perlu ada kolaborasi dengan majelis sekolah swasta atau paguyuban sekolah swasta agar anggaran, distribusi, dan kuotanya terukur.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan