close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penggunaan lema nama “cabai” dan kata sifat “pedas”, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjaga dengan baik warisan leluhur.Alinea/Chevy Azmi
icon caption
Penggunaan lema nama “cabai” dan kata sifat “pedas”, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjaga dengan baik warisan leluhur.Alinea/Chevy Azmi
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 07 Desember 2019 12:55

Lebih dari sekadar pecitarasa, sambal disebut sebagai alat hukum di komunitas

Keberadaaan sambal sebagai bagian dari budaya Indonesia, berfungsi sebagai alat hukum di beberapa komunitas warga kuno.
swipe

Sambal telah menjadi pelengkap makanan yang sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini, rupanya cabai bukan hanya sekedar bahan pokok pecitarasa tapi juga alat hukum di sejumlah komunitas warga.  

Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menyebutkan, tanaman cabya pada abad ke-16 tergolong dalam tanaman langka. Pemanfaatannya sempat bergeser menjadi sebatas ramuan herbal atau jamu saja.

Peralihan penggunaan bumbu pencipta rasa pedas ini juga menyisakan penyebutan menarik di masyarakat lokal. Oleh orang Sunda, kata “lada” dipakai untuk mengekspresikan sensasi pedas, bahkan ketika menyantap cabai atau makanan dengan olahan cabai. 

Ungkapan “lada pisan” diucapkan oleh orang Sunda sebagai respons yang artinya “pedas sekali”.

Sementara itu dalam bahasa Sunda, tanaman lada disebut dengan pèdès. Kata ini, serupa dengan kosakata dalam bahasa Jawa “pedhes” yang bersinonim dengan “pedas” dalam bahasa Indonesia, sebagai kata sifat untuk menyebut sensasi rasa yang dihasilkan cabai.

Menurut Fadly, penggunaan lema nama “cabai” dan kata sifat “pedas”, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjaga dengan baik warisan leluhur. Dengan begitu, cabai dimuliakan sebagai bahan pokok pecitarasa pedas sekaligus penggugah selera makan.

Di sisi lain, keberadaaan sambal sebagai bagian dari budaya Indonesia berfungsi sebagai alat hukum di beberapa komunitas warga kuno.

Sebagai contoh, sambal dipakai untuk menghukum budak yang mangkir atau melarikan diri dari kerja paksa.

“Sambal juga dipakai sebagai metafora oleh orang tua Sunda zaman dahulu untuk menakuti dan menghukum anaknya jika berlaku nakal,” tulis Fadly.

Sementara itu, seorang penulis Belanda Augusta de Wit mempopulerkan istilah sambelans. Istilah tersebut merujuk pada variasi sambal yang dicatat dalam buku masak kolonial abad ke-19 hingga abad ke-20.

Orang Eropa ketika mengunjungi Batavia sekitar akhir abad ke-19, dikatakan sangat antusias dalam mencicipi sambal. 

Hal ini dialami sendiri oleh Augusta de Wit yang mencicipi aneka sambal di piring-piring kecil yang terhidang di atas meja panjang sebagai bagian dari hidangan rijsttafel.

Selain sebagai pelengkap di meja makan masyarakat Indonesia, tersimpan pula kisah menarik orang-orang yang bekerja terkait pembuatan sambal.

Retno Andam Suri dalam bukunya Rendang Traveler (2012), mengatakan, di daerah kuliner Minangkabau, Sumatera Barat, ada profesi wanita yang sehari-hari menggiling cabai menggunakan cobek batu dan batu giling. Profesi ini disebut manggiliang lado, yang saat ini masih terdapat di pasar-pasar tradisional seperti di Pasar Ibuh, Payakumbuh.

Dalam sehari, perempuan penggiling cabai di Payakumbuh bisa menggiling hingga 30 kg cabai segar. Kualitas gilingan cabai yang dihasilkan dapat dipesan sesuai dengan kebutuhan, yaitu digiling halus untuk campuran kuah gulai, kalio, atau rendang, dan digiling kasar untuk dendeng balado.

Adapun anggapan lain yang berkembang di warga lokal Sunda dalam ungkapan “sambal medok, sawah ledok, bon denok”. Ini mengisyaratkan kepuasan seorang suami memiliki istri yang pintar memasak yakni membuat sambal, sawah yang subur, dan istri yang cantik.

Pandangan itu terkait dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang lebih suka menggunakan cobek keramik tanah liat dan ulegan yang terbuat dari kayu atau pangkal batang bambu. Mereka meyakini pembuatan sambal menggunakan peralatan itu lebih memberikan kepastian rasa sambal yang “medok”.
 

Sambal telah menjadi pelengkap makanan yang sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini, rupanya cabai bukan hanya sekedar bahan pokok pecitarasa tapi juga alat hukum di sejumlah komunitas warga.  

Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menyebutkan, tanaman cabya pada abad ke-16 tergolong dalam tanaman langka. Pemanfaatannya sempat bergeser menjadi sebatas ramuan herbal atau jamu saja.

Peralihan penggunaan bumbu pencipta rasa pedas ini juga menyisakan penyebutan menarik di masyarakat lokal. Oleh orang Sunda, kata “lada” dipakai untuk mengekspresikan sensasi pedas, bahkan ketika menyantap cabai atau makanan dengan olahan cabai. 

Ungkapan “lada pisan” diucapkan oleh orang Sunda sebagai respons yang artinya “pedas sekali”.

Sementara itu dalam bahasa Sunda, tanaman lada disebut dengan pèdès. Kata ini, serupa dengan kosakata dalam bahasa Jawa “pedhes” yang bersinonim dengan “pedas” dalam bahasa Indonesia, sebagai kata sifat untuk menyebut sensasi rasa yang dihasilkan cabai.

Menurut Fadly, penggunaan lema nama “cabai” dan kata sifat “pedas”, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjaga dengan baik warisan leluhur. Dengan begitu, cabai dimuliakan sebagai bahan pokok pecitarasa pedas sekaligus penggugah selera makan.

Di sisi lain, keberadaaan sambal sebagai bagian dari budaya Indonesia berfungsi sebagai alat hukum di beberapa komunitas warga kuno.

Sebagai contoh, sambal dipakai untuk menghukum budak yang mangkir atau melarikan diri dari kerja paksa.

“Sambal juga dipakai sebagai metafora oleh orang tua Sunda zaman dahulu untuk menakuti dan menghukum anaknya jika berlaku nakal,” tulis Fadly.

Sementara itu, seorang penulis Belanda Augusta de Wit mempopulerkan istilah sambelans. Istilah tersebut merujuk pada variasi sambal yang dicatat dalam buku masak kolonial abad ke-19 hingga abad ke-20.

Orang Eropa ketika mengunjungi Batavia sekitar akhir abad ke-19, dikatakan sangat antusias dalam mencicipi sambal. 

Hal ini dialami sendiri oleh Augusta de Wit yang mencicipi aneka sambal di piring-piring kecil yang terhidang di atas meja panjang sebagai bagian dari hidangan rijsttafel.

Selain sebagai pelengkap di meja makan masyarakat Indonesia, tersimpan pula kisah menarik orang-orang yang bekerja terkait pembuatan sambal.

Retno Andam Suri dalam bukunya Rendang Traveler (2012), mengatakan, di daerah kuliner Minangkabau, Sumatera Barat, ada profesi wanita yang sehari-hari menggiling cabai menggunakan cobek batu dan batu giling. Profesi ini disebut manggiliang lado, yang saat ini masih terdapat di pasar-pasar tradisional seperti di Pasar Ibuh, Payakumbuh.

Dalam sehari, perempuan penggiling cabai di Payakumbuh bisa menggiling hingga 30 kg cabai segar. Kualitas gilingan cabai yang dihasilkan dapat dipesan sesuai dengan kebutuhan, yaitu digiling halus untuk campuran kuah gulai, kalio, atau rendang, dan digiling kasar untuk dendeng balado.

Adapun anggapan lain yang berkembang di warga lokal Sunda dalam ungkapan “sambal medok, sawah ledok, bon denok”. Ini mengisyaratkan kepuasan seorang suami memiliki istri yang pintar memasak yakni membuat sambal, sawah yang subur, dan istri yang cantik.

Pandangan itu terkait dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang lebih suka menggunakan cobek keramik tanah liat dan ulegan yang terbuat dari kayu atau pangkal batang bambu. Mereka meyakini pembuatan sambal menggunakan peralatan itu lebih memberikan kepastian rasa sambal yang “medok”.
 

Sambal Pencuci Mulut

Perkembangan jenis sambal Nusantara pada dasawarsa 1920-an memunculkan nama-nama yang terdengar aneh. Seperti: sambel brandal, sambel serdadoe, sambel budak, sambel badjak, sambel setan, dan sebagainya.

Keunikan nama sambal ini, ditengarai berkaitan erat dengan tradisi masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi sambal. Hal itu berdampingan pula dengan eksperimentasi dan modifikasi penggunaan bahan bumbu-bumbu dalam membuatnya.

Pakar sambal Catenius van der Meijden yang menguasai keahlian membuat puluhan jenis sambal menyebut, sambal sebagai “pencuci mulut yang rasanya panas” atau de heete toespijzen.

Dalam bukunya yang berjudul Makanlah Nasi! (1922), Meijden menjelaskan sebutan pencuci mulut didasari hidangan lokal Nusantara yang umumnya bersifat sebagai “sajian dingin” atau koud eten.

“Mengingat iklim tropis di Jawa, wajar jika hidangan dibiarkan dingin, karena sudah ada nasi panas dan pedasnya sambal. Kombinasi semacam ini dimaksudkan untuk menjaga temperatur hidangan, agar tidak terlalu panas atau dingin ketika dimakan,” tulis Fadly menuliskan kembali gagasan Meijden.

Perkembangan ragam sambal itu mencatatkan sambal Nusantara yang melesat dalam jumlah dan pengaruhnya dalam menu masakan Indonesia.Alinea/Chevy Azmi

Seiring waktu, muncul pula aneka sambal di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal hingga sekarang. Beberapa di antaranya: sambal dabu-dabu dari Manado, sambal lado (Sumatera Barat), sambal kencur (Purwokerto), sambal oncom (Jawa Barat), sambal kluwak (Jawa Timur), dan sambal matah (Bali) yang belakangan terkenal dan difavoritkan banyak orang.

Sebagaimana dijelaskan oleh Prof Murdjiati Gardjito, dkk. dalam artikel “Profil Sambal Indonesia” (2017), sambal mempunyai posisi khusus di dalam seni dapur Indonesia.

Perkembangan ragam sambal itu, mencatatkan sambal Nusantara yang melesat dalam jumlah dan pengaruhnya dalam menu masakan Indonesia. Database Kuliner Indonesia mendata sebanyak 322 masakan menggunakan kata “sambal”.

Namun, dari 322, hanya 257 ragam sambal yang sesuai dengan definisi sambal sebagai bahan pelengkap. Sisanya, 65 ragam sambal lainnya, terdiri atas masakan bernama sambal dan sambal yang dikategorikan sebagai lauk-pauk, contohnya Pansuk, Doco Toma, Sambal Belut, Sambal Kentang dan Sambal Jamur Kuping.

Di daerah kuliner Minangkabau, Sumatera Barat, ada profesi wanita yang sehari-hari menggiling cabai menggunakan cobek batu dan batu giling. Profesi ini disebut manggiliang lado.Alinea/M. Taufik

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan