close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Film Ave Maryam ditayangkan di festival-festival film di luar negeri, sebelum rilis di Indonesia. /Imdb.com
icon caption
Film Ave Maryam ditayangkan di festival-festival film di luar negeri, sebelum rilis di Indonesia. /Imdb.com
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 13 April 2019 17:46

Ave Maryam: Cinta terlarang seorang biarawati

Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) terlibat hubungan asmara dengan Romo Yosef (Chicco Jerikho).
swipe

Film Ave Maryam (2018) garapan sutradara Ertanto Robby Soediskam akhirnya dirilis di Indonesia pada 11 April 2019. Film ini sempat ramai menjadi perbincangan akhir tahun lalu, setelah diputar di festival-festival film internasional, seperti Cape Town International Film Market & Festival (CTIFM & F) di Amerika Serikat, Hanoi International Film Festival (HANIFF) di Vietnam, dan Hong Kong Asian Film Festival di Hong Kong.

Cinta suster dan romo

Film yang dibintangi Maudy Koesnaedi ini mengangkat tema agama yang cukup sensitif bagi sebagian masyarakat Indonesia, tentang kehidupan seorang biarawati dan cinta terlarangnya di Semarang, Jawa Tengah pada 1980-an.

Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) digambarkan mengabdikan dirinya untuk merawat para biarawati berusia senja di sebuah asrama. Suster Maryam merupakan orang yang cekatan memandikan, menyiapkan makanan, bersih-bersih, dan menyiapkan segala kebutuhan suster-suster sepuh.

Suatu hari, datang Romo Yosef (Chicco Jerikho) yang mengantar Suster Monic (Tutie Kirana) ke asrama. Romo Yosef lantas berkenalan dengan para suster di asrama, termasuk Suster Maryam yang membawakannya handuk untuk mengeringkan diri usai kuyup kehujanan.

Pertemuan pertama itu tampaknya tak bisa dilupakan oleh Romo Yosef. Ia pun mengajak Suster Maryam untuk berkencan, secara langsung maupun melalui surat yang ia titipkan kepada gadis kecil pengantar susu, Dinda (Thania), dan seorang suster sepuh. Beberapa kali, ajakan itu ditolak oleh Suster Maryam. Namun, akhirnya Suster Maryam luluh dan menerima ajakan kencan Romo Yosef.

Karakter Romo Yosef pun ditampilkan tak biasa. Ia datang sebagai pengajar orkestra. Ia ditampilkan sebagai romo muda dengan semangat yang meletup-letup. Hal itu bisa terlihat, ketika ia memimpin latihan orkestra, mengajak para suster sepuh menari, dan saat ia membayangkan dirinya memimpin orkestra sembari merokok di kamarnya.

Lambat laun, cinta pun bersemi antara Suster Maryam dengan Romo Yosef. Suatu hari, dalam perjalanan mereka ke pantai ketika ulang tahun Suster Maryam ke-40, menjadi momen pergumulan batin mereka menyoal cinta.

Sepulang dari pantai dengan keadaan basah kuyup, Suster Maryam disambut para suster yang memberikannya kejutan ulang tahun. Di momen itu, tangisan Suster Maryam pecah dan hanya bisa dimaknai Suster Monic.

“Aku mengerti betul perasaanmu. Menetapi kaul, atau mengikuti pada apa yang tak terlihat. Jika surga belum pasti untukku, mengapa aku harus mengurusi nerakamu?” kata Suster Monic kepada Maryam.

Chicco Jerikho berperan sebagai Romo Yosef di film Ave Maryam. /Youtube.com

Sinematografi mumpuni

Adegan-adegan di awal film, para penonton akan dimanjakan gambar-gambar indah yang memanjakan mata tanpa dialog. Palet berwarna kuning keemasan dan teknik pencahayaan yang sederhana, menambah kedalaman visual film ini.

Penata kamera Ical Tanjung, yang berpengalaman mengemas film Foxtrot Six (2019), Pengabdi Setan (2017), dan A Copy of My Mind (2015) ini, mengeksekusi dengan baik setiap sudut pengambilan gambar di film ini.

Sementara itu, sang sutradara, Ertanto Robby Soediskam, membangun suasana dengan potongan-potongan gambar indah di menit-menit awal filmnya. Usaha ini mengingatkan saya dengan dua film besutan Paul Thomas Anderson, yakni There Will Be Blood (2007) dan The Master (2012) yang juga menerapkan hal serupa.

Di dalam film berdurasi satu jam 25 menit ini, dialog antara satu tokoh dengan tokoh lainnya terbilang minim. Misalnya saja, saat Suster Maryam dan Romo Yosef kencan pertama kali di restoran. Mereka berdua hanya saling melempar pandangan, tanpa berbicara.

Dialog antara mereka di restoran tersebut diwakili oleh film hitam putih yang diputar di latar belakang. Gambar-gambar tanpa dialog yang beralih dari satu adegan ke adegan lainnya, ditampilkan dengan mulus dan indah.

Bila diperhatikan, Ave Maryam punya kemiripan dengan tema di film asal Polandia arahan sutradara Pawel Pawlikowski, Ida (2013). Ida berkisah tentang seorang biarawati, dengan latar tahun 1960-an, yang mencari sisa keluarganya. Dalam perjalanan tersebut, ia bertemu dengan seorang pemain saksofon yang membuatnya jatuh cinta.

Sama seperti Ida, di akhir film Ave Maryam, Robby menyerahkan sepenuhnya tafsiran perasaan Maryam kepada penontonnya.

Yang perlu dicatat, film dengan tema percintaan di sinema Indonesia sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, sangat langka—jika tak mau dibilang tak ada sama sekali—film yang mengangkat kisah cinta terlarang dalam kehidupan gereja Katolik, yang melibatkan seorang biarawati dengan pastor.

Sudah menjadi pengetahuan umum, di dalam kepercayaan agama Katolik, seorang biarawati dan pastor biasanya berjanji untuk hidup selibat atau tidak menikah.

Adegan ketika Suster Maryam mendapatkan kejutan dari Romo Yosef di pantai. /Youtube.com

Oase di tengah intoleransi

Bisa dibilang, hadirnya film Ave Maryam merupakan sebuah oase di tengah intoleransi yang tengah menggejala di Indonesia. Pilihan Maudy Koesnaedi yang Muslim, memerankan seorang suster Katolik merupakan keputusan berani yang patut diapresiasi.

Maudy benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya di film ini. Sutradara Robby berhasil menangkap kedalaman akting Maudy, yang ditunjukkan lewat ekspresi wajah dan matanya. Maudy benar-benar menjadi seseorang yang berbeda dari peran-perannya selama ini.

Adegan ketika Dinda, gadis Muslim kecil pengantar susu bertemu dan berbicara akrab dengan para suster, ditangkap dengan indah oleh Robby. Robby menghadirkan indahnya hidup berdampingan antarumat beragama. Detail subtil semacam ini menjadi penting untuk pengingat hidup berdampingan itu indah.

Film Ave Maryam disutradarai Ertanto Robby Soediskam.

Begitupun dengan kehadiran Suster Monic dalam film ini, menjadi relevan di tengah situasi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam diamnya, Suster Monic mengamati situasi sekitar asrama dan memberikan nasihat yang menunjukkan ia peduli, baik kepada Suster Maryam maupun Romo Yosef. Suster Monic seolah menjadi cerminan bagaimana harusnya sikap toleransi dan tak menghakimi ditunjukkan.

Latar belakang Suster Maryam, yang kabarnya terpotong dan adegan yang disensor selama 12 menit, tak menjadi masalah bagi saya untuk tetap menikmati film ini. Walau begitu, saya tetap merasakan film ini terlalu cepat berakhir.

starstarstarstarstar4

Romo Yosef masih bisa dieksplorasi lagi. Mengajarkan toleransi.

 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan