Awkarin dan strategi bernama personal rebranding
Seorang perempuan berambut tanggung sebahu menghela napas panjang, kemudian berhenti selama sekian detik, sampai akhirnya bicara. “Setelah menghilang beberapa saat dari social media, I am pretty sure by seeing this video, you are gonna be like, eh here we go again, Karin nangis-nangis part two,” ujarnya.
Perempuan berbaju hitam dalam video Youtube berdurasi 44 menit itu adalah pesohor media sosial, Karin Novilda atau beken disapa Awkarin. Ia diketahui lenyap dari Instagram pribadinya selama sepuluh hari, terhitung sejak mengunggah cerita di Insta story pada Jumat (12/10) silam. Dalam unggahannya itu, ia mengaku lelah dan ingin menjalani hidup yang normal. Selesai.
Tak ada lagi unggahan apapun setelahnya. Hingga akhirnya, Senin (22/10) ia aktif kembali di Instagram dengan mengunggah foto berlatar kosong warna putih, tanpa caption. Lima kali ia mengunggah gambar putih itu, sehingga spekulasi atas pernyataan Awkarin sepuluh hari sebelumnya soal “meninggalkan media sosial” bergerak liar di kolom komentar. Ada yang menuding ia tengah hamil muda dan akan kembali sembilan bulan berselang pascakelahiran anak. Ada yang menyebut perempuan kelahiran 29 November 1997 itu sedih karena dicampakkan kekasihnya.
Awkarin berhutang penjelasan pada pengikutnya di media sosial, setidaknya itu keyakinan mereka yang berkomentar di akun Instagram yang memiliki pengikut tiga juta orang tersebut. Untungnya, di hari yang sama, Awkarin membayar rasa penasaran dengan mengunggah video berisi penjelasan lengkap, mengapa ia memutuskan vakum dari ruang yang membesarkan namanya.
Di menit ke 2.30, ia mulai bercerita soal keluarganya. Dibesarkan dari keluarga berkecukupan, dengan orang tua yang dua-duanya berprofesi dokter, tak membuatnya jadi pribadi manja. Ia belajar dari kecil untuk bekerja keras memenuhi keinginannya sendiri. Kebiasaan itu terus diulangi sampai sekarang. Butuh keteguhan sampai ia bisa membangun citra, menjelma influencer, dan memiliki segudang bisnis di usianya yang relatif muda, 20-an awal.
Namun, menjadi kaya, mandiri, dan terkenal tak otomatis membuat orang bahagia. Setidaknya itu kata Awkarin. Saya jadi ingat, filsuf jadul macam Aristoteles juga pernah secara khusus mengajarkan soal kiat menjadi manusia, salah satunya, yakni dengan mengejar kebahagiaan atau eudaimonisme. Kehidupan di Instagram menurut pengakuan Awkarin, tak membuatnya bahagia. Pasalnya, ia merasa candu untuk terus mengunggah segala aktivitasnya, pesta di sini, photo shoot di sana. Ia ingin berhenti.
Di akhir video, ada plot twist yang ia sampaikan, yakni tekad untuk menjual akun Instagram. Ini sekilas mirip seperti yang dilakukan Youtuber gamers Reza ‘Arap’ Oktovian beberapa saat lalu, yang mengaku pensiun dari Youtube-nya yang diikuti 2,3 juta orang. Lalu menyumbangkan akun itu untuk yayasan non profit peduli kanker anak, Anyo Indonesia. Ia sendiri lebih banyak aktif di kehidupan nyatanya, alih-alih sekadar vakum atau membuat akun baru.
Lalu, dalam kasus Awkarin, apa tujuannya? Kepada siapa ia akan menjual akun yang membuat nahkoda A-Management itu menghasilkan ratusan juta tiap harinya, dari endorse, PP, dan lainnya?
Strategi itu bernama personal rebranding
Saya menghubungi Farid Fatahillah, konsultan dari lembaga riset Inventure Indonesia untuk meminta pendapatnya soal ini. Menurutnya, ulah Awkarin bisa dikaitkan dengan strategi personal rebranding. “Lelah di media sosial yang dianggap toxic, diburu haters, dianggap sebagai pembunuh (Oka Mahendra, mantan kekasihnya), bikin dia depresi, sehingga membuatnya merasa harus berubah,” ujarnya.
Personal rebranding secara teori memang bertujuan untuk mengubah citra tertentu. Dalam konteks Awkarin, ungkap pria yang akrab disapa Ferre itu, ia ingin menghadirkan nilai yang sama sekali baru. Di dunia pemasaran, rebranding ini adalah sesuatu yang normal.
“Ketika Awkarin merasa nilai-nilai lama tak lagi relevan, mungkin likes berkurang atau ia jenuh dengan citra lama. Misalnya ingin berubah dari Karin yang dulu dikenal berani berpose terbuka, gemar pesta, bad girl. Lalu berubah menjadi orang yang positif, good girl. Ini adalah wajar selama persona branding atau DNA-nya masih melekat,” terangnya.
Muzellec dan Lambkin, dalam buku Corporate Rebranding: Destroying, Transferring or Creating Brand Equity? (2005) membenarkan, rebranding memang bertujuan untuk menciptakan suatu nama yang baru, istilah, simbol, desain, atau kombinasi semua itu. Tujuannya semata-mata demi mengembangkan diferensiasi baru bagi pasar yang ingin dia sasar.
Ini seperti yang dilakukan perusahaan Dunkin Donuts yang belakangan mengumumkan bersalin nama jadi Dunkin saja. Usut punya usut, putusan itu dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menggarap pasar baru anak-anak muda, yang biasa dengan budaya ngopi. Dunkin dikutip Quartz akan lebih banyak mengembangkan menu kopi.
“Kopi sedang jadi hype dewasa ini. Itulah sebabnya, Coke membeli perusahaan kopi di Inggris Costa. Begitu pula, Nestle membeli Blue Bottle dan berharap bisa menjual minuman berkafein tersebut,” ujar penulis Quartz Chase Purdy.
Ferre memberi contoh yang relatif lebih sederhana. “Dewi Sandra yang dulu kariernya sempat redup, berusaha membangun citra baru dengan memutuskan berjilbab. Lepas dari pergolakan batinnya ingin berhijrah dan sebagainya, tapi faktanya usai berjilbab, mantan istri Glenn Fredly itu langsung banjir permintaan. Bahkan menjadi ikon muslimah, ikon merek kosmetik Wardah, juga main film religi,” tuturnya.
Penyanyi Sinead O’Conner pun juga bisa jadi tengah melakukan rebranding diri. Menjadi tua, takut dilupakan orang, lalu ia mengubah diri jadi seorang mualaf dengan nama baru Shuhada.
“Dugaan saya, pasar Muslim ini sedang naik daun. Makanya, mereka yang memutuskan untuk terjun ke dalamnya karena merasa relevan, kenapa tidak,” tambahnya.
Pangkalnya adalah penyesuaian tren
Awkarin sendiri sempat terlihat aktif menjadi relawan gempa di Donggala dan Palu. Mengenakan riasan dempul dan gincu seadanya, ia menghibur anak-anak korban gempa. Bahkan, menyalurkan bantuan pula pada mereka. Ini tampak dari segala unggahannya di Instagram pribadinya belum lama. Instagram-nya @awkarin sendiri ternyata telah dijual ke dirinya. Ke Awkarin yang baru.
Ferre menganggapnya sebagai gimmik saja. Namun, lagi-lagi dari sudut pandang pemasaran, apa yang dilakukan Awkarin memang sebuah tahapan untuk menyesuaikan perubahan, dan ini wajar belaka. Ia menilai, Awkarin sebenarnya adalah sosok good girl, cerdas. Hanya saja, imbuhnya, karena salah memilih pergaulan, ia berubah menjadi sosok bad seperti yang dikenal publik belakangan ini.
Dalam video Youtube yang sudah ditonton lebih dari 4 juta orang itu, Awkarin memang sempat membenarkan, ia adalah orang yang sama dari dulu hingga sekarang. Pekerja keras seperti yang ditanamkan orang tuanya, berprestasi, dan good girl. Bergabung di Takis Manajemen arahan Young Lex, lalu membuat beberapa single, mulai Bad dan Candu lah yang membuat ia terpaksa mencitrakan diri sebagai bad girl.
when you love what you have. you have everything you need.
A post shared by karin novilda @thisisnotkarin (@awkarin) on
"Dulu aku bertingkah seperti bad girl, itulah imej yang dibuat oleh manajemen aku, itulah yang dibuat supaya kalian liat aku seperti bad girl," kata Awkarin dalam video bertajuk “I Quit Instagram” itu.
Memang demikian, sejak muncul dengan imej bad girl, Awkarin tak jarang membuat para perundung berkumpul di kolom komentarnya. Memakinya, berspekulasi atas dirinya, menuduhnya sebagai drama queen, atau membuat meme dan troll. Keadaan itu diakuinya membuat ia tertekan.
Berangkat dari riwayat masa lalunya yang berkali-kali pernah mencoba bunuh diri saat SMA karena depresi, Awkarin pun memutuskan berganti strategi.
Menjadi seorang yang lebih humanis, mengungkapkan hal yang positif dan menjadi contoh, sehingga kini, ujar Ferre, pengikut Awkarin mungkin bakal bertambah dari segmen yang lebih luas. Meski begitu, kecil kemungkinan pengikut lama Awkarin akan angkat koper. Ferre yakin, 90% akan memutuskan untuk tetap tinggal. Sebab, orang-orang terinspirasi darinya, dengan sosok Awkarin yang baru.
Tantangan
Keputusan untuk melakukan personal rebranding relatif gampang-gampang susah. Namun, itu penting dilakukan untuk membuat nilai-nilai pribadi orang atau perusahaan akan tetap relavan dengan tren yang ada sekarang.
Awkarin dulu dikenal dengan citra bebas, suka merokok, berkata kasar, berpose seksi, dan disebut-sebut sebagai drama queen./ Instagram @awkarin
Media ekonomi ternama Forbes merilis delapan tantangan yang wajib diperhatikan buat mereka yang memutuskan melakukan rebranding. Delapan tantangan ini disusun oleh Forbes Communication Council, sebuah organisasi yang diisi praktisi dan pemikir komunikasi dan Public Relation.
Pertama, mesti ada keseimbangan antara inovasi dan konsistensi. Sunny Landeros dari Jetex menilai, evolusi brand penting, tapi tetap harus mempertahankan elemen inti yang jika hilang, tentunya akan membuat identitas orang atau perusahaan ikut pergi. Yang dibutuhkan selanjutnya sederhana, konsistensi dengan nilai-nilai diri.
Kedua, jangan menyepelekan persoalan rebranding. Menurut Beth Shiyak dari Union Bank & Trust, branding adalah perkakas kuas untuk terhubung dengan audiens. Untuk itu, target audiens atau pasar yang baru, reputasi, gaya mesti dipikirkan masak-masak. “Ini bukan sekadar berganti warna atau huruf,” ujarnya.
Ketiga, ingat siapa dirimu sebenarnya. Jangan hanya tergerak menyusun formula “The New You”, lantas membuat nilai unik dalam diri lenyap. Demikian tutur Colby Reade dari M.J. Murdock Charitable Trust.
Keempat, pertimbangan daya tarik emosional dan intelektual. Dalam hemat Brian Anderson dari POPin, merek harus menarik baik secara intelektual maupun emosional. Ini tak hanya buat orang yang akan rebranding tapi juga target pasar yang disasar. Seseorang atau perusahaan, hari-hari ini menurutnya terlalu sering berfokus pada “apa” dan “bagaimana”, namun lupa soal “mengapa”. Mengapa melakukan ini, apa urgensinya, apa manfaatnya, itu juga perlu dipikirkan.
Kelima, masih terkait dengan poin sebelumnya. Setelah mengetahui apa alasannya melakukan rebranding, manfaat tambahan untuk pelanggan juga harus dipikirkan. Sebab, rebranding untuk merek atau citra yang sudah terlanjur mengakar kuat di kepala orang, menurut Caroline Lyle dari TMW bukan perkara membalikkan telapak tangan. Makanya ia menyarankan, setelah tahu alasan dan manfaat, rebranding mesti dilakukan secara perlahan dan bertahap.
Keenam, mesti tampil paling asli di antara pesaing. Dalam berbagai kasus, keruhnya kolam persaingan yang diisi oleh banyak pihak membuat diferensiasi harus dilakukan dengan terencana. “Proses perubahan harus terasa seperti tarian berkelanjutan untuk memproses dan membentuk diri dalam format paling ideal dan berbeda dari kerumunan,” terang Cameron Conaway dari Solace.
Ketujuh, penting memiliki visi, misi, dan nilai. Kesalahan paling umum menurut Holly Tate dari Vanderbloemen adalah organisasi sibuk mengubah jargon dan warna, tapi abai pada visi misi yang jelas serta nilai-nilai budaya mereka.
Awkarin di usianya yang relatif muda sudah memiliki berbagai bisnis, salah satunya bisnis Hijab Line./ Instagram @awkarin
Terakhir, pastikan audiens tetap tahu jika orang baru, perusahaan yang baru yang telah di-rebranding itu adalah kamu. Yaagneshwaran Ganesh dari Fiind Inc menyebut, tak ada yang lebih penting dari apa yang mereka pikirkan soal kamu dalam konteks pemasaran. Oleh karenanya, transisi perubahan citra atau merek harus diatur dalam jangka waktu berapa lama agar orang-orang tahu, “The New You” adalah “The Old You”, sehingga orang-orang tak akan pergi meninggalkanmu.