Bagaimana gegar otak bisa menciptakan serangan panik?
Aktris Aurelie Moeremans mengalami kecelakaan mobil beruntun di Amerika Serikat pada Senin (13/1), saat pergi bersama suaminya, Tyler Bigenho. Dilansir dari Kompas.com, dia mengaku sempat mengalami panic attack atau serangan kepanikan, yang kemungkinan akibat gegar otak yang dialaminya pascakecelakaan.
Mayo Clinic menulis, serangan panik adalah ketakutan hebat yang tiba-tiba, memicu reaksi fisik yang parah saat tak ada bahaya nyata atau penyebab yang jelas. Serangan panik dapat terjadi kapan saja, semisal ketika kita sedang mengemudikan mobil, berjalan di pusat perbelanjaan, tertidur, atau saat rapat.
Beberapa gejala serangan panik, antara lain perasaan akan datang bahaya, takut kehilangan kendali atau kematian, denyut jantung cepat, berkeringat, gemetar, sesak napas, mual, sakit kepala, dan nyeri dada.
Situs web Northoak Chiropractic menyebut, jika seseorang mengalami sindrom pascagegar otak, mungkin merasa kesulitan mengunjungi mal, toko, atau berkendara di jalan yang ramai. Seseorang bakal merasa pusing atau cemas.
Penyebabnya, pusat perbelanjaan adalah tempat yang bising dan penuh warna, yang dipenuhi banyak rangsangan visual dan pendengaran bagi otak. Otak yang sehat terbiasa dengan lingkungan mal dan dapat menghambat refleks untuk melihat benda-benda terang di tepi penglihatan seseorang. Otak yang cedera mungkin tak dapat menghambat refleks ini dengan cara yang sama.
“Semakin lama pasien pascagegar otak berada di pusat perbelanjaan, mereka akan merasa semakin cemas dan terancam. Hal yang sama berlaku untuk lalu lintas di jalan—mobil yang melaju di samping seseorang di jalur sebelah dapat menyebabkan mata kita bergerak secara refleks, sehingga menimbulkan kecemasan bagi pasien pascagegar otak,” tulis Noarthoak Chiropractic.
Psikiater klinis di Program Gegar Otak Kedokteran Olahraga di University of Pittsburgh Medical Center (UPMC) sekaligus asisten profesor psikiatri di University of Pittsburgh, Raymond Pan, dalam situs web UPMC Health Beat mengungkapkan, orang yang menderita gegar otak memiliki berbagai gejala, seperti pusing, masalah keseimbangan, mual, dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Intinya, mereka tidak merasa seperti diri sendiri. Banyak dari orang-orang ini, kata dia, tidak punya riwayat masalah kejiwaan, sehingga sama sekali baru bagi mereka.
“Perasaan dan kekhawatiran inilah yang menyebabkan serangan panik dan kecemasan,” ujar Pan.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Lancet Neurology (2016) yang menganalisis otopsi otak prajurit dengan kondisi gegar otak akibat ledakan menemukan ada jaringan parut unik, yang menjelaskan kondisi kesehatan mental seseorang yang menderita cedera otak traumatis.
“Kami menduga, ada kaitan biologis di balik paparan ledakan pada sebagian orang, mengakibatkan kerusakan otak, yang berujung pada sifungsi dan mendasari beberapa aspek (masalah kesehatan mental),” ujar salah seorang peneliti, Daniel Perl, dikutip dari Health.mil.
Menurut para ahli di Defense Health Agency’s Traumatic Brain Injury Center of Excellence (TBICoE) di Virginia, cedera otak traumatis dikaitkan dengan peningkatan risiko kondisi kesehatan psikologis, seperti kecemasan, depresi, dan bahkan stres pascatrauma.
Psikolog klinis dan Ketua Departemen Psikologi Medis dan Klinis di Uniformed Services University, David Riggs dalam Health.mil mengatakan, kemungkinan hal itu disebabkan oleh gangguan dalam cara neuron di otak berkomunikasi satu sama lain.
“Mungkin ada gangguan pada tingkat neurologis yang menyebabkan masalah psikologis dan psikiatris ini,” kata Riggs.
“Ada kemungkinan juga, yang menyebabkan depresi atau gejala trauma bukanlah cedera, gegar otak, atau otak bekerja secara berbeda, melainkan aspek emosional dan gangguan kehidupan dari hal tersebut.”
Neuron, disebut Northoak Chiropractic, adalah sel khusus di otak manusia yang bertanggung jawab untuk mengirimkan informasi dari satu bagian otak ke bagian lain, menggunakan sinyal listrik atau kimia ayng disebut impuls saraf. Namun, sebagian besar sinyal neuron bersifat “penghambat”. Dengan kata lain, sebagian besar yang dikatakan sel-sel otak manusia, satu sama lain sebenarnya adalah “berhenti” atau jangan menembak”.
“Bila otak kita rusak akibat cedera kepala, kemampuan kita untuk tetap mengerem akan terbatas. Neuron dapat aktif secara spontan, yang menyebabkan gerakan mata acak, kedutan, tremor, sensasi, dan reaksi lainnya. Reaksi ini juga dapat mencakup perasaan cemas atau depresi, tergantung pada area otak yang terpengaruh oleh cedera,” tulis Northoak Chiropractic.
Menurut Amen Clinics—klinik kesehatan mental di Amerika Serikat—trauma kepala, merupakan faktor utama dalam perkembangan penyakit kejiwaan, termasuk gangguan kecemasan dan serangan panik. Sebanyak 40% pasien Amen Clinics yang mengalami gangguan kecemasan, serangan panik, dan masalah lainnya, yang melakukan pencitraan SPECT otak untuk mengukur aliran darah dan aktivitas di otak, punya trauma kepala sebelumnya. Anehnya, banyak dari mereka tak ingat pernah terluka.
Menurut dokter naturopati Amen Clinics, Kabran Chapek, seseorang yang mengalami satu cedera kepala atau serangkaian pukulan berulang kali yang tak terlalu keras ke kepala, dapat menyebabkan perubahan pada otak, yang membuat seseorang lebih rencan terhadap kondisi kesehatan mental.
Di sisi lain, Riggs menekankan, meski beberapa orang yang gegar otak mungkin mengalami pula post-traumatic stress disorder (PTSD), tetapi tidak semua orang mengalaminya.
"Beberapa ahli percaya, seseorang mungkin lebih rentan terhadap kondisi kesehatan psikologis setelah gegar otak karena mereka sudah mengalami masalah atau secara genetik cenderung mengalami masalah kesehatan psikologis, seperti depresi atau kecemasan," ujar Riggs dalam Health.mil.