Bagaimana mencegah taktik buang-buang waktu di sepak bola?
Tim nasional sepak bola Indonesia U-17 lolos ke Piala Asia U-17 yang bakal digelar di Arab Saudi tahun depan, usai bermain imbang melawan Australia U-17 dengan skor 0-0 di Stadion Abdullah Alkhalifah Alsabah, Kuwait, Minggu (27/10). Indonesia U-17 maju ke Piala Asia U-17 2025 dengan status peringkat kedua terbaik, mengumpulkan 7 poin.
Di babak pertama, pertandingan berlangsung seru, dengan jual-beli serangan dan beberapa peluang. Sayangnya, di babak kedua laga sangat membosankan.
Di sekitar menit ke-70 hingga peluit akhir dibunyikan wasit, tiga pemain Australia U-17 hanya mengoper-oper bola di tengah lapangan. Sedangkan pemain Indonesia U-17 seperti tak ada semangat untuk merebut bola. Pertandingan dengan strategi buang-buang waktu itu dianggap cara “main aman” kedua tim untuk lolos ke Piala Asia U-17.
Apa saja yang termasuk buang-buang waktu dalam sepak bola?
Di Asia Timur, ada istilah “bed football” untuk menyebut pemain dari Asia Barat yang berbaring tanpa alasan yang jelas di lapangan. Tim-tim dari Asia Barat memang terkenal dengan para pemain yang suka mengulur waktu di lapangan.
Namun, penulis olahraga di the Guardian, Simon Burnton mengatakan, buang-buang waktu bukan masalah baru dalam sepak bola. Sudah ada sejak lama. Dia memberikan contoh, pada 1885 dalam pertandingan Piala FA, Nottingham Forest pernah melakukannya.
Pada 1992, Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter berusaha menyelesaikan masalah buang-buang waktu di sepak bola. Dia menyebut, pura-pura cedera yang sengaja diinstruksikan pelatih adalah bentuk kecurangan. Sayangnya, Blatter kewalahan mengatasi masalah ini. Selama tiga dekade berikutnya, masalahnya semakin membesar.
Contoh membuang-buang waktu dalam pertandingan sepak bola, antara lain berpura-pura cedera, berjalan perlahan untuk mengambil bola yang keluar, dan selebrasi gol yang berlebihan. Beberapa hal tadi merupakan contoh buang-buang waktu yang “normal” terjadi, biasanya dilakukan saat tim unggul di penghujung babak kedua.
Sedangkan cara yang tidak biasa, misalnya mengambil istirahat panjang saat pertandingan seperti mengikat tali sepatu, peregangan dalam jangka waktu lama seperti menunda mengambil tendangan bola mati, serta menunda tendangan gawang.
Apakah ada aturan sanksi FIFA?
Sayangnya, belum ada aturan terkait sanksi spesifik soal buang-buang waktu dari FIFA. Akan tetapi, ada solusi yang dianggap bisa menghukum tim yang mengulur waktu. Kepala Komite Wasit FIFA, Pierluigi Collina, dikutip dari Marca, mengatakan masalah buang-buang waktu kini diatasi dengan penambahan waktu yang terbuang.
“Di La Liga dan Liga Premier, rata-rata delapan menit ditambahkan. Di Piala Dunia, lebih banyak waktu ditambahkan dan harus tetap seperti itu,” ujar Collina dalam Marca. “Terlalu banyak waktu yang terbuang. Sepak bola harus bersih dari hal-hal semacam ini.”
FIFA, secara tidak langsung menghukum tim-tim yang membuang-buang waktu di Piala Dunia 2022 di Qatar dengan menambahkan perpanjangan waktu. Hal itu disambut baik. Namun, masalahnya belum semua klub sepak bola menerapkannya.
Banyak pertandingan di Piala Dunia di Qatar pada 2022 memang terasa lama. Bahkan, pertandingan antara Inggris vs Iran menjadi laga dengan penghentian waktu pertandingan terbanyak sejak rekor yang dicetak pada 1966. Di babak pertama, perpanjangan waktu mencapai 14 menit 8 detik.
Menurut Collina, dalam Five Thirty Eight, sepanjang Piala Dunia 2022, para wasit akan menambah waktu lebih lama dari biasanya. Tujuannya, untuk menghukum tim yang menggunakan taktik membuang-buang waktu. Dia mengatakan, pertandingan di Piala Dunia 2022 jauh lebih lama dibandingkan piala dunia sebelumnya.
Five Thirty Eight menyebut, pada Piala Dunia 2018 di Rusia, rekor rata-rata 7,3 menit tambahan per pertandingan. Sementara rata-rata waktu tambahan di Piala Dunia 2022 sebanyak 11, 6 menit. Waktu tambahan tersebut peningkatan sebesar 59% dari tahun 2018 dan 93% dari rekor sebelumnya.
Semua waktu tambahan itu, menurut Five Thirty Eight, tidak hanya memperpanjang durasi pertandingan, tetapi juga berarti sebagian besar menit yang dimainkan merupakan menit-menit yang awalnya tak ada dalam jam pertandingan.
Apakah ada solusi lain mencegah masalah ini?
Penulis olahraga di the Guardian, Simon Burnton menyarankan, wasit memperingatkan kapten tim saat ada indikasi buang-buang waktu. Setelah pelanggaran kedua, wasit bisa memberikan kartu kuning kepada kapten. Dan, usai pelanggaran ketiga, wasit dapat memberi kartu kuning kepada semua pemain dalam tim, yang berarti mengeluarkan kapten dan kemungkinan beberapa pemain lainnya—yang berpotensi menyebabkan pertandingan dibatalkan.
“Jelas ini akan menyebabkan beberapa masalah baru, dan sangat mungkin terjadi kerusuhan, tetapi saya ingin berpikir itu akan memotivasi orang untuk bertindak cepat,” tulis Burnton.
Kompetisi sepak bola Amerika Serikat, Major League Soccer (MLS), punya cara mencegah buang-buang waktu, termasuk berpura-pura cedera. Dikutip dari Telegraph, pemain MLS bakal dipaksa meninggalkan lapangan, setidaknya selama dua menit jika mereka jatuh lebih dari 15 detik dan memerlukan perawatan medis. Kecuali untuk pelanggaran yang mengakibatkan kartu kuning atau merah, cedera kepala, kejadian medis serius, dan cedera pada penjaga gawang.
Kemudian, dalam pergantian pemain, diwajibkan meninggalkan lapangan lewat garis sentuh terdekat dalam waktu 10 detik sejak asisten wasit mengangkat papan nomor punggung mereka. Jika tak patuh, tim yang melanggar dipaksa melanjutkan pertandingan dengan kekurangan pemain setidaknya selama satu menit. Pergantian penjaga gawang dan pemain karena cedera dikecualikan dari aturan itu.
Wakil presiden senior pengembangan olahraga di MLS, Ali Curtis, dilansir dari Daily Mail berharap, aturan tadi bisa diterapkan di liga-liga besar lainnya dan pada Piala Dunia 2026 di Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Apakah ada pengaturan skor di balik buang-buang waktu laga Australia U-17 vs Indonesia U-17?
Melihat pertandingan buang-buang waktu selama hampir 30 menit antara Australia U-17 melawan Indonesia U-17, tak sedikit yang menilai laga itu sebagai bentuk pengaturan skor alias kedua tim “main mata” untuk mengakhiri skor imbang 0-0. Namun, hasil imbang itu mengakibatkan India U-17 menjadi korban karena tak lolos kualifikasi lantaran Australia U-17 tak menang.
The Bridge menulis, selain memicu tuduhan serius mengenai pengaturan skor, laga itu juga memunculkan pertanyaan tentang integritas penjadwalan turnamen. Berbeda dengan pertandingan yang digelar serentak—yang merupakan hal standar dalam turnamen yang kualifikasinya bergantung pada hasil lainnya—laga Australia U-17 vs Indonesia U-17 digelar usai pertandingan India U-17 vs Thailand U-17 berakhir. Maka, Australia U-17 dan Indonesia U-17 masing-masing mendapat satu poin.
“Para kritikus menduga, kedua tim berkolusi untuk memastikan mereka lolos. Dalam olahraga yang mengandalkan semangat kompetitif dan permainan yang adil, suasana di lapangan terasa sangat stagnan,” tulis the Bridge.