Bagi gen Z, traveling itu penting
Ria Nur Apriyani, 25 tahun, punya hobi pergi berlibur sejak SMA. Selama ini, banyak tempat sudah ia jelajahi, mulai dari Bogor, Bandung, Sukabumi, Yogyakarta, Bali, hingga Kuala Lumpur. Karyawan swasta di Jakarta itu menabung beberapa bulan sebelum traveling.
Ia tak pernah pergi sendirian. Terkadang, ia traveling bersama teman, berkelompok, atau pasangan. Pengalaman menarik saat berlibur, menurut dia, bisa ngobrol santai dengan warga, lalu mencari tahu apa yang wajib diketahui di daerah sekitar. Ria biasanya menginap di tempatnya berwisata sekitar empat atau lima hari.
Tak jarang, ia mengunjungi tempat-tempat yang kurang populer, namun menarik alias hidden gem. “Biasanya mendapatkan informasi (tempat-tempat tersebut) dari Twitter atau TikTok,” kata Ria kepada Alinea.id, Jumat (1/12).
Ia mengaku mendapatkan euforia dan pengalaman ketika berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Kuliner lokal pun jadi buruannya.
“Itu wajib,” ujarnya.
Bagaimana gen Z memandang traveling?
Pengalaman Ria sejalan dengan hasil survei yang dilakukan IDN Research Institute bekerja sama dengan Advisia dalam Indonesia Gen Z Report 2024. Survei itu menyebut, 68% gen Z sering liburan dalam setahun, 12% bepergian setahun sekali, dan sisanya jarang liburan.
Destinasi lokal menjadi pilihan utama bagi mereka. Mereka pun memprioritaskan tempat-tempat wisata tersembunyi atau hidden gem, sebanyak 82%. Mereka mencari pengalaman baru dari tempat-tempat yang dianggap hidden gem (52%), menghargai budaya asli (22%), dan mencari kesempatan eksplorasi di lokasi terpencil (20%).
Sebagian besar gen Z yang disurvei memilih liburan jangka pendek, antara dua hingga empat hari. Selain itu, 76% responden memasukkan kuliner ke dalam rencana traveling mereka, terutama masakan lokal.
Manajer senior komunikasi korporat situs pemesanan tiket dan penginapan Pegipegi, Busyra Oryza mengatakan, berdasarkan data perusahaannya, porsi traveler gen Z semakin meningkat dari tahun ke tahun. Traveling, kata dia, menjadi sebuah gaya hidup yang membuat kelompok gen Z dapat mengaktualisasikan dirinya.
“Inspirasi yang didapatkan untuk traveling biasanya dari media sosial, seperti Instagram dan TikTok, yang mana dua media sosial ini paling sering dikonsumsi oleh gen Z,” ujar Busyra, Kamis (30/11).
Hal ini rupanya sejalan dengan survei IDN Research Institute, yang menyebut sebanyak 86% gen Z mencari informasi perjalanan mereka dari Instagram. Diikuti TikTok, sebanyak 74% dan Google 72%.
“Mereka mungkin menemukan tempat-tempat wisata yang lebih populer atau destinasi hidden gem, meskipun tempat-tempat tersebut mungkin tidak demikian tersembunyi,” tulis IDN Research Institute dan Advisia.
Secara umum, Busyra mengelompokan gen Z ke dalam dua kategori gaya traveling. Pertama, mereka yang ingin traveling karena tujuan eksis, misalnya membagikan foto atau video traveling ke media sosial.
“Dan (kedua) mereka yang ingin sekadar melepaskan penat, dengan mengeksplorasi dari rekomendasi menarik yang ada di media sosial,” ucap Busyra.
Menurut Busyra, gen Z sudah menempatkan traveling menjadi sebuah gaya hidup yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tak mesti mengeluarkan dana yang besar. Hal itu, kata Busyra, sejalan dengan apa yang perusahaannya temukan.
“(Dalam) Pegipegi Travel Report 2022, rentang alokasi budget yang dikeluarkan paling besar untuk satu kali perjalanan sekitar Rp1 juta-Rp3 juta (36%) dan Rp3 juta-Rp5 juta (25%),” ujarnya.
“Mengingat dalam menikmati traveling saat ini juga bisa dilakukan di dalam kota (staycation).”
Sementara itu, Managing Partner Inventure Indonesia, Yuswohady mengatakan, tujuan berwisata gen Z adalah mencari experience, terutama yang bersifat fisik seperti naik gunung atau ke pantai.
“Dan itu bisa mencerminkan pribadi dia, jadi identitas dia,” ujarnya, Kamis (30/11).
Namun, karena gen Z adalah generasi yang dibesarkan oleh digital, dalam mencari informasi wisata dan bertransaksi, mereka cenderung lewat aplikasi. Dari sisi pengeluaran, kata Yuswohady, gen Z cenderung menekan biaya transportasi dan akomodasi demi pengalaman berlibur. Akan tetapi, justru mengeluarkan banyak uang untuk mencicipi kuliner atau ke kafe.
“Kalau generasi sebelumnya, dia pesawat (transportasi) itu penting. Terus hotel mesti yang bintang empat. Kalau mereka (gen Z) justru yang dicari experience-nya,” tutur Yuswohady.
Bagi Yuswohady, tujuan gen Z liburan demi menghindari digital detox—dengan mengunggah pengalamannya ke media sosial. Selain melalui media sosial, Gen Z juga mendapat referensi wisata lewat teman-temannya.
“Kadang-kadang malah pengambilan keputusannya bukan murni dari dia, tapi pengaruh sosial atau social proof. Jadi, ikut-ikut gitu, FOMO (fear of missing out) gitu,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, ada perubahan dari gen Z dengan generasi sebelumnya, terutama gen X, soal memandang liburan. Menurutnya, gen Z melihat liburan sebagai kebutuhan pokok, serupa karier. Sementara generasi sebelumnya memandang liburan hanya selingan.
“Gen Z punya prinsip worklife balance. Ditambah, baperan. Dia banyak stres ketika menghadapi interaksi dengan lingkungan. Jadi, perlu healing,” tuturnya.
Terlepas dari itu, karena traveling dianggap prioritas oleh gen Z, Yuswohady memandang, kelompok kelahiran 1997-2012 ini punya peran penting dalam industri pariwisata. Peluang gen Z yang menginvestasikan uang untuk berlibur harus ditangkap industri wisata. Maka, ia menyarankan, pelaku industri wisata berbenah lantaran ada perubahan preferensi dari generasi sebelumnya.
“Penyedia layanan pariwisata harus menyesuaikan dengan preferensi gen Z,” kata dia.
“Hotel mesti desainnya yang kekinian. Misalnya, preferensi gen Z ke hotel boutique (hotel kecil, tapi modis). Destinasi juga begitu, harus diubah agar formatnya itu relevan dengan gen Z.”