Bahaya cyberbullying bagi korban
Film Budi Pekerti—yang tayang di bioskop sejak 2 November 2023—mengangkat soal keluarga yang hancur karena perundungan digital (cyberbullying). Film karya Wregas Bhanuteja itu sebelumnya sudah diputar di Toronto Film Festival.
Mengambil latar tempat di Yogyakarta, “bencana” berawal ketika Prani (Ine Febriyanti), seorang guru bimbingan konseling (BK), berselisih paham dengan salah seorang pengunjung pasar di depan tukang kue putu. Prani tak suka, pengunjung itu tak mau antre saat membeli kue putu.
Saat terjadi perselisihan, tanpa sepengetahuannya, ada orang yang merekam adegan Prani mengumpat, persis di depan tukang kue putu yang sudah sepuh, sambil berlalu pergi. Lantas, video rekaman itu diunggah ke media sosial dan menjadi viral. Video itu mendapat banyak komentar negatif warganet, yang menilai sikapnya tak mencerminkan guru yang baik.
Viralnya video itu dan komentar negatif warganet merembet ke mana-mana. Hingga berpengaruh pula ke pekerjaan anaknya, Muklas (Angga Yunanda), sebagai seorang konten kreator dan Tita (Prilly Latuconsina) sebagai anak band yang berjualan pakaian bekas bermerek di media sosial.
Kehidupan keluarganya berantakan. Identitas mereka selalu dicari-cari warganet. Dihakimi, tanpa pernah bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, berakibat pada karier Prani yang hancur.
Kisah film itu sangat kontekstual dengan situasi kita yang hidup di era perkembangan digital. “Di era siber ini, kita harap tidak gampang men-judge (menghakimi) sebelum mengetahui masalah sebenarnya apa, sehingga tabayyun serta cek dan ricek diperlukan,” ujar pemerhati teknologi, telekomunikasi, dan informatika, Heru Sutadi kepada Alinea.id, Kamis (9/11).
“Kalau kita tidak tahu masalah sebenarnya, perlu dipikir apakah bullying diperlukan atau tidak.”
Apa dan bagaimana cyberbullying?
Heru mengatakan, cyberbullying menjadi kasus yang marak sejak penggunaan media sosial. Maka, perundungan itu sudah dimasukkan ke dalam aturan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Sama seperti hoaks dan ujaran kebencian, cyberbullying sangat berdampak bagi yang kena perundungan,” ujarnya.
“Karena sifat media sosial, perundungan akan dapat bersifat massal terhadap seseorang. Dam itu bisa dikenakan (dilakukan) pada orang yang tidak dikenal.”
Menurut Heru, secara etika tak boleh merekam tanpa izin secara khusus ke seseorang. Kecuali situasi ramai, misalnya di stadion sepak bola atau karnaval. Jika seseorang merekam, lalu menyiarkannya tanpa izin, kata Heru, orang yang menjadi objek rekaman itu bisa meminta ganti rugi atau kompensasi.
“Kalau spesifik (ditujukan kepada seseorang), harus minta izin dan menjelaskan mengapa dan untuk apa rekamannya,” tutur Heru.
Terpisah, pengamat media sosial dan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengatakan, seseorang terkena cyberbullying biasanya karena dua hal. Pertama, karena penampilannya.
“(Misalnya) di Instagram karena kadang-kadang (ada orang) terlalu gemuk, terlalu cantik, pakai baju kurang sopan,” ujarnya, Kamis (9/11). “Itu penampilannya enggak pas, langsung dihajar.”
Kedua, karena pendapat yang berbeda. Misalnya, di X orang suka di-bully karena pendapatnya. Menurut Ismail, sebenarnya tak ada yang salah dengan pendapat lantaran ada kebebasan berpendapat.
“Cuma dalam penyampaian pendapat, kalau kita kadang-kadang tidak objektif, terlalu tendensius, atau mungkin pendapat tidak sesuai dengan nilai norma yang berlaku, itu bisa jadi bahan bullying,” kata dia.
Agar terhindar dari cyberbullying dalam berpendapat, Ismail menyarankan, lihat kondisi sosial, sesuaikan dengan gaya, dan caranya jika ingin menyampaikan pendapat. Lalu, jangan terlalu vulgar dalam menyatakan pendapat terhadap isu-isu yang sifatnya sensitif.
“Sampaikan dengan bahasa yang lebih objektif,” tutur Ismail.
Ismail melanjutkan, tindakan merekam tanpa izin lalu disebarkan ke media sosial bisa dikenakan pidana, tergantung dari apa yang disebar. Jika mengandung informasi pribadi, identitas, atau bisa menimbulkan kejahatan, bisa saja dituntut.
“Misalnya, kita foto mobil orang dengan nomor pelatnya. Untuk kondisi tertentu bisa, kalau mobilnya sudah terbuka atau umum ada di jalanan,” kata dia.
“Mungkin data pribadi itu kayak KTP, yang seharusnya tidak keluar. Istilahnya malinformation.”
Contoh lainnya, merekam atau memotret anak seseorang, lantas gambarnya disebarkan. “Itu bisa kena (tuntut). Karena anak seharusnya dilindungi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pelaku cyberbullying bisa mendapat sanksi hukum tergantung dari ada atau tidaknya laporan lewat proses hukum. Hal itu juga harus dibuktikan, apakah cyberbullying itu menimbulkan objek hukum tertentu. Semisal, pelaku bullying yang menyebarkan data pribadi atau dikenal dengan istilah doxing.
“Itu bisa terkena (sanksi hukum). Contohnya di X, ada orang yang melakukan bully, menyebarkan alamatnya. Itu sudah masuk ke doxing, dan orang itu bisa dituntut karena menyebarkan data pribadi,” tutur dia.
Dijelaskan psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan, korban cyberbullying bisa stres, tertekan, dan secara emosional terganggu karena tak kuat menghadapinya.
“Cyberbullying itu lebih parah karena kita tidak kenal orangnya, kita tidak tahu mereka siapa, tapi kalimat mereka seakan-akan menjatuhkan seseorang,” ujar Sani, Kamis (9/11).
“Dan karena pelaku cyberbullying ini juga tidak saling mengenal, mereka bisa seenaknya tanpa berempati.”
Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani ini pun menambahkan, korban cyberbullying juga bisa rendah diri, menarik diri dari lingkungan sosial, merasa waswas, gelisah, dan khawatir. Jika sudah begini, Sani menyarankan korban cyberbullying menanggulangi kondisi psikologisnya. Salah satu caranya dengan “puasa” media sosial.
“Tidak perlu melihat atau membaca komentar dari netizen. Harus menenangkan diri, meyakinkan bahwa netizen itu bicara bisa saja tidak pakai otak,” kata Sani.
Bila korban mengalami masalah psikologis yang berat, Sani menyarankan agar mencari support system. Misalnya, dari keluarga terdekat, orang-orang positif yang membentuk mindset positif, atau ke psikolog.
“Untuk dia bisa sharing, menguatkan,” tutur Sani. “Jangan ketemu orang yang bukan orang terdekat, bukan orang yang dipercaya, takutnya justru menanyakan hal yang sifatnya memancing kembali reaksi emosi si korban.”