Bahaya kesehatan mengancam ‘kaum rebahan’
Bila sedang serius mengerjakan tugas kampus, Sella Rista Aulia, terkadang sampai lupa waktu sekadar bangkit dari duduknya. Ia bisa menghabiskan waktu kira-kira empat jam duduk dalam sehari. Beruntungnya, ia masih punya waktu yang banyak pula untuk melakukan aktivitas olahraga.
“Kita harus membagi waktu sih. Walaupun chance-nya kecil, tetap harus olahraga karena kesehatan itu nomor satu kan,” ujar mahawiswi sebuah perguruan tinggi di Tangerang itu saat berbincang dengan Alinea.id di sebuah kafe di Tangerang Selatan, Rabu (13/3).
Seorang karyawan perusahaan swasta di Jakarta, Sultan Marino, bisa duduk berjam-jam setiap hari di depan komputer untuk bekerja. “Kegiatan yang berulang itu kadang membuat badan saya menjadi sakit,” ujar Sultan, Kamis (14/3).
Rumahnya yang berjarak lumayan jauh dari kantor juga memaksa Sultan duduk lama saat berkendara. “Terkadang karena faktor macet, pulang-pergi badan jadi pegal,” tutur dia.
Ketika libur kerja, Sultan banyak rebahan di kamar. Meski begitu, ia mengatakan, mengantisipasi dampak kesehatan dari kebanyakan duduk dan rebahan dengan berdiri dan memperbanyak gerakan kecil.
“Saya hampir jarang sekali untuk olahraga,” kata Sultan.
Kebanyakan duduk untuk bekerja di depan laptop atau tidur-tiduran santai alias rebahan sembari menonton televisi, bermain media sosial atau gim, dan sebagainya merupakan sebuah kebiasaan yang dikenal sebagai sedentary lifestyle—gaya hidup yang tak banyak bergerak. Dilansir dari Health Partners, definisi sedentary lifestyle adalah ketika seseorang menghabiskan enam jam atau lebih per hari untuk duduk atau berbaring, serta kurang melakukan gerakan fisik yang signifikan.
Para peneliti dari Jeju National University School of Medicine, Korea dalam Korean Journal of Family Medicine (November, 2020) menyebut, rata-rata durasi harian perilaku tak banyak bergerak seseorang adalah 8,3 jam pada penduduk Korea dan 7,7 jam pada penduduk dewasa di Amerika Serikat.
“Sepertiga populasi global berusia 15 tahun ke atas melakukan aktivitas fisik yang tidak memadai, sehingga berdampak pada kesehatan,” tulis para peneliti.
Sedentary lifestyle, sebut para peneliti, menyebar ke seluruh dunia karena kurangnya ruang untuk berolahraga, meningkatnya perilaku tersebut dalam pekerjaan di kantor, dan meningkatnya penetrasi perangkat televisi dan video. Sementara seorang dokter yang bekerja di sebuah puskesmas di Bangkalan, Madura, Irsyad Ramadhan mengatakan, faktor pendorong meningkatnya sedentary lifestyle, antara lain lingkungan yang kurang baik yang “membudayakan” sedentary lifestyle, kebiasaan sehari-hari, dan kurangnya kesadaran dampak buruk sedentary lifestyle.
Ia pun mengungkapkan kaitan antara sedentary lifestyle dengan penggunaan teknologi, seperti ponsel cerdas atau komputer. “Perlu kita ketahui, dampak negatif dari terlalu berpaku pada teknologi mengakibatkan penurunan kognitif karena ingin segala sesuatu cepat, tanpa berpikir,” ujar Irsyad, Rabu (13/3).
Irsyad menuturkan, sedentary lifestyle bakal menurunkan kualitas hidup. Semakin bertambahnya usia, maka akan memengaruhi pula psikis seseorang dan banyak hal dari segi kesehatan.
“Pada dasarnya, tubuh kita butuh exercise sehari-hari agar menjadi stabilitas sirkulasi metabolisme dalam tubuh,” ucap Irsyad.
“Jika tidak bergerak atau bahkan kurang aktivitas, maka yang terjadi dapat mengakibatkan penyakit metabolik sindrom dan lain-lain.”
Ia mengingatkan, sedentary lifestyle lebih berisiko pada seseorang berusia dewasa karena faktor komorbid yang luas dibandingkan anak-anak. Namun, pada anak-anak bisa berpengaruh pada kurangnya tumbuh-kembang anak secara wawasan hingga kesehatan.
Irsyad mengatakan, untuk mengatasi sedentary lifestyle ada tiga langkah yang perlu dilakukan, antara lain mengontrol penggunaan teknologi, membuat jadwal kegiatan sehari-hari agar lebih disiplin, serta menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan dan berolahraga.
Terpisah, praktisi kesehatan Bonnie Medana Pahlavie mengatakan, faktor pendorong meningkatnya sedentary lifestyle, di antaranya kemudahan dan perkembangan teknologi yang sangat pesat, kepemilikan transportasi pribadi, serta polusi udara yang membuat warga lebih suka berada di dalam ruangan. Perkembangan teknologi, seperti ponsel cerdas atau komputer misalnya, kata Bonnie, dapat memudahkan hampir semua aktivitas tanpa memiliki banyak gerakan dan hanya sedikit mengeluarkan energi.
“Dengan adanya ponsel cerdas dan komputer, kita dapat melakukan hampir semua kegiatan hanya di belakang meja saja, mulai dari meeting dengan rekan kerja, belanja melalui e-commerce, bahkan proses mencetak pun dapat dilakukan dengan mode wireless saja,” ujar Bonnie, Kamis (14/3).
Sedentary lifestyle, dijelaskan Bonnie, bisa mengganggu sirkulasi atau peredaran darah akibat tubuh yang kurang bergerak, sehingga metabolisme tubuh dalam memecah lemak dan gula menjadi ikut terganggu. Dampak awalnya dapat dilihat dari peningkatan berat badan hingga obesitas.
“Selain itu, sedentary lifestyle juga memiliki dampak kepada sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti hipertensi dan diabetes,” kata Bonnie.
“Bahkan, memiliki efek psikologis, seperti depresi dan gangguan kecemasan.”
Bila sedentary lifestyle dimulai sejak anak-anak, ujar Bonnie, bisa mengakibatkan obesitas, sehingga terjadi peningkatan angka absensi serta penurunan prestasi belajar. “Dan kita akan kehilangan generasi emas akibat sedentary lifestyle pada anak,” ucap Bonnie.
“Sedangkan pada orang dewasa tentunya akan meningkatkan risiko penyakit tidak menular dan menurunkan kualitas hidup.”
Lebih lanjut, Bonnie menekankan, langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kecenderungan sedentary lifestyle di kantor, yakni memberikan imbauan untuk melakukan latihan peregangan setiap dua jam sekali, memasang informasi kesehatan tentang pentingnya aktivitas fisik, dan tantangan untuk hidup sehat dengan memberikan penghargaan bagi karyawan. Sedangkan bagi pelajar, dapat melakukan latihan peregangan setiap pergantian jam pelajaran, memanfaatkan waktu istirahat dengan kegiatan olahraga atau permainan melibatkan aktivitas fisik, serta kegiatan ekstrakulikuler.
“Di luar sekolah, peran orang tua sebagai role model hidup sehat juga dapat menurunkan sedentary lifestyle bagi pelajar,” kata Bonnie.
Menurut Bonnie, banyak hal yang didapat jika seseorang memutuskan mengurangi sedentary lifestyle dan meningkatkan aktivitas fisik. “Dengan aktivitas fisik 150 menit per minggu atau 30 menit per hari, minimal lima hari akan memberikan efek kesehatan, seperti menurunkan risiko hipertensi dan penyakit tidak menular lainnya,” tutur Bonnie.
“Selain efek kesehatan fisik, kesehatan mental pun akan membaik, seperti lebih percaya diri dan membawa positive vibes di lingkungan sekitar.”