Seberapa bahaya klorpirifos yang diduga ada di anggur shine muscat?
Anggur shine muscat—anggur besar, hijau, dan tanpa biji—yang dikembangkan di Jepang, lalu populer di Korea Selatan dan China, membuat gempar beberapa hari ini. Penyebabnya, otoritas di Thailand menemukan kandungan residu kimia berbahaya.
Di Indonesia, anggur jenis ini masih beredar di pasaran. Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menegaskan, pihaknya bakal merekomendasikan untuk menghentikan impor anggur shine muscat jika nanti terbukti ada kandungan berbahaya. Namun, kini pihaknya menunggu hasil uji yang tengah dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, timnya tengah bergerak mengambil sampel anggur shine muscat yang ada di Indonesia. Sementara, masyarakat dihimbau untuk mengonsumsi anggur lokal.
Sementara Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan, anggur shine muscat aman dan memenuhi standar pangan untuk dikonsumsi usai uji cepat residu pestisida bersama Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD).
Bagaimana temuan di luar negeri?
Kegaduhan anggur shine muscat berawal dari Thailand. Dikutip dari Bangkok Post, Thailand Consumers Council (TCC) menemukan 23 dari 24 sampel anggur shine muscat yang diuji laboratorium terdapat residu kimia berbahaya yang melampaui batas hukum. Beberapa terkontaminasi klorpirifos dan endrin aldehida, yang dilarang berdasarkan undang-undang keamanan pangan.
Uji laboratorium menemukan residu 14 bahan kimia berbahaya pada konsentrasi di atas batas aman 0,01 miligram per kilogram. Secara total, pengujian juga mendeteksi 50 residu bahan kimia, 22 di antaranya tidak diatur dalam hukum Thailand, seperti triasulfuron, cyflumetofen, tetraconazole, dan fludioxonil.
Sementara di Malaysia, dilansir dari Malay Mail, Kementerian Kesehatan Malaysia tak menemukan sampel anggur shine muscat yang mengandung residu perstisida melebihi batas. Kementerian mengatakan, temuan tersebut berdasarkan hasil catatan Program Keamanan dan Mutu Pangan yang dilakukan sejak 2020 hingga September 2024, yang memeriksa kandungan residu pestisida sebanyak 5.561 sampel sayur dan buah impor.
Di Singapura, dilansir dari Channel News Asia, Singapore Food Agency (SFA) menyatakan anggur shine muscat aman dikonsumsi karena buah itu sudah melewati uji pestisida dan tindakan pengendalian mutu lainnya.
Apa itu kandungan klorpirifos yang ditemukan pada anggur shine muscat di Thailand?
Selain endrin aldehida, otoritas Thailand juga menemukan kandungan klorpirifos. National Pesticide Information Center (NPIC) menyebut, klorpirifos adalah insektisida organofosfat. Klorpirifos digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama, termasuk rayap, nyamuk, dan cacing gelang. Klorpirifos murni berwujud kristal putih atau tidak berwarna, baunya agak menyengat seperti telur busuk atau bawang putih.
Produk yang mengandung klorpirifos dimanfaatkan dalam pertanian dan tanda telinga ternak. Produk ini pun dapat digunakan di lapangan golf dan sebagai pemberantas semut api atau nyamuk. Bisa pula dumanfaatkan buat merawat pagar kayu dan tiang listrik.
Pada 2022, Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat mencabut penggunaan klorpirifos pada sebagian besar tanaman pangan karena dikhawatirkan terpapar ke makanan, terutama untuk anak-anak. Namun, pada 2023 penggunaan pada makanan tertentu diberlakukan kembali setelah adanya gugatan hukum.
Dalam Laporan Situasi Klorpirifos di Indonesia, klorpirifos pernah dilarang di Indonesia sesuai Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Cokelat. Instruksi Presiden itu keluar karena saat itu tengah terjadi serangan hama wereng cokelat dan mengancam produksi beras dalam negeri.
Ada lima merek insektisida klorpirifos yang dilarang bersama 57 merek pestisida lain yang digunakan dalam budi daya padi yang dilarang dalam aturan tersebut. Peraturan berikutnya yang memuat pelarangan terbatas klorpirifos di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2007 tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang dan Pestisida Terbatas. Beleid tersebut melarang penggunaan secara terbatas untuk mengendalikan serangga rumah tangga saja, tetapi tetap diizinkan untuk pertanian.
Meski ada larangan penggunaan sebagai pestisida rumah tangga, namun penggunaan klorpirifos cukup banyak dimanfaatkan di rumah tangga untuk membasmi rayap. Di pertanian, klorpirifos biasa digunakan sebagai pengendali serangga, terutama pada sayuran, buah, dan tanaman biji-bijian.
Di Indonesia, sebut laporan itu, klorpirifos merupakan salah satu dari 23 jenis pestisida golongan organofosfat yang terdaftar pada Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian. Saat ini, ada 60 merek yang diizinkan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP).
Apa saja bahaya dari klorpirifos?
Menurut Laporan Situasi Klorpirifos di Indonesia, pestisida klorpirifos paling banyak digunakan sebagai pengendali hama di Indonesia sejak 1965. Namun, meluasnya penggunaan klorpirifos ini menyebabkan pencemaran lingkungan yang luas.
Klorpirifos pun berbahaya bagi kesehatan manusia. Dikutip dari laporan tersebut, hasil penelitian yang dilakukan di Brebes, Jawa Tengah menemukan korelasi penggunaan klorpirifos dan mancozeb (fungisida golongan karbamat) yang cukup tinggi pada tanaman bawang merah. Hal ini terkait dengan ditemukannya kasus goiter atau penyakit gondok pada anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai petani bawang merah.
NPIC menyebut, klorpirifos dapat berbahaya jika tersentuh, terhirup, atau tertelan. Layaknya yang terjadi pada hama, klorpirifos pun memengaruhi sistem saraf manusia. Paparan terhadap klorpirifos dalam jumlah kecil, bisa mengakibatkan hidung atau mata berair. Kemungkinan seseorang akan mengalami sakit kepala, mual, dan pusing.
Jika paparannya lebih tinggi, seseorang bisa mengalami muntah, kram otot perut, kedutan otot, tremor, kelelahan, hingga hilangnya konsentrasi. Terkadang, seseorang mengalami diare atau penglihatan kabur. Dalam kasus keracunan yang parah, paparannya dapat menyebabkan pingsan, hilangnya kendali pada kandung kemih dan usus, kejang, kesulitan bernapas, hingga kelumpuhan.
NPIC menjelaskan, sebenarnya klorpirifos tidak beracun. Namun, ketika tubuh mencoba memecahnya, dia menciptakan bentuk yang beracun. Bentuk beracun ini yang disebut klorpirifos oxon—mengikat secara permanen enzim yang mengendalikan pesan yang berjalan di antara sel-sel saraf. Saat klorpirifos mengikat terlalu banyak enzim, maka saraf dan otot tidak berfungsi dengan benar.
“Tubuh harus membuat lebih banyak enzim, sehingga fungsi saraf normal dapat berlanjut. Tubuh dapat memecah dan mengeluarkan sebagian besar klorpirifos yang tidak terikat di tinja dan urin dalam beberapa hari,” tulis NPIC.
“Klorpirifos yang masuk ke sistem saraf dapat bertahan di sana lebih lama.”