close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung-gedung di Jakarta tertutup polusi udara, Jumat (29/1/2021). Alinea.id/Fandy Hutari
icon caption
Gedung-gedung di Jakarta tertutup polusi udara, Jumat (29/1/2021). Alinea.id/Fandy Hutari
Sosial dan Gaya Hidup - Lingkungan
Minggu, 09 Februari 2025 06:15

Bahaya tersembunyi dari polusi udara

Paparan polusi udara bisa membuat belanja di supermarket lebih impulsif, kata para peneliti dari Universitas Birmingham.
swipe

Kota-kota besar di dunia, seperti Jakarta, memiliki masalah polusi udara yang parah. Polusi udara merupakan salah satu problem lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia di seluruh dunia. World Health Organization mencatat, diperkirakan 4,2 juta kematian di seluruh dunia terkait dengan polusi udara, terutama akibat penyakit jantung, strok, penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan akut.

Penelitian terbaru yang dikerjakan para peneliti Universitas Birmingham, dimuat dalam jurnal Nature Communications (2025) menemukan, kemampuan seseorang dalam fokus pada tugas sehari-hari bakal terganggu karena paparan polusi udara jangka pendek.

Para peneliti menganalisis data dari tes kognitif yang diselesaikan 26 peserta sebelum dan sesudah mereka terpapar partikel materi tingkat tinggi menggunakan asap dari lilin, atau udara bersih sebelum dan empat jam setelah terpapar asap.

Tujuannya, tulis Earth, untuk menilai berbagai fungsi mental, termasuk memori kerja, perhatian selektif, pengenalan emosi, kecepatan psikomotorik, dan perhatian berkelanjutan. Hasilnya, paparan singkat terhadap polusi udara partikulat yang tinggi memengaruhi perhatian selektif dan pengenalan emosi peserta—terlepas dari apakah mereka bernapas secara normal atau hanya lewat mulut.

Hal ini dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi pada tugas, menghindari gangguan, dan berperilaku dengan cara yang sesuai secara sosial.

“Para peserta yang terpapar polusi udara tidak begitu pandai menghindari informasi yang mengganggu,” kata peneliti dari Universitas Birmigham, yang ikut dalam penelitian, Thomas Faherty dikutip dari The Guardian.

“Jadi, itu berarti dalam kehidupan sehari-hari, Anda bisa lebih mudah terganggu oleh berbagai hal. Berbelanja di supermarket adalah contohnya. Mungkin Anda lebih mudah terganggu untuk membeli secara impulsif saat berjalan di sepanjang lorong supermarket karena Anda tidak dapat fokus pada sasaran tugas belanja yang dibutuhkan.”

Penelitian ini juga menemukan, peserta memiliki kinerja lebih buruk pada tes kognitif yang mengevaluasi pengenalan emosi, setelah terpapar polusi udara.

“Mereka kurang mampu menilai apakah wajah seseorang sedang ketakutan atau gembira, dan itu mungkin berimplikasi pada cara kita berperilaku pada orang lain,” ujar Faherty.

“Ada studi asosiatif yang mengamati polusi udara jangka pendek dan kejadian seperti kekerasan, terutama di kota-kota Amerika Serikat.”

Rekan Fahrety, yang ikut juga dalam penelitian, Francis Pope, mengungkapkan kualitas udara yang buruk melemahkan perkembangan intelektual dan produktivitas pekerja, dengan implikasi sosial dan ekonomi yang signifikan di dunia berteknologi tinggi yang bergantung pada keunggulan kognitif.

“Penurunan produktivitas berdampak pada pertumbuhan ekonomi, yang semakin menyoroti kebutuhan mendesak akan regulasi kualitas udara yang lebih ketat dan langkah-langkah kesehatan masyarakat untuk memerangi dampak buruk polusi terhadap kesehatan otak, terutama di wilayah perkotaan yang sangat tercemar,” ujar Pope dalam situs web Universitas Birmingham.

Sebagai informasi, fungsi kognitif mencakup berbagai macam proses mental yang penting untuk tugas sehari-hari. Perhatian selektif misalnya, membantu mengambil keputusan dan perilaku yang diarahkan pada tujuan, seperti memprioritaskan barang-barang pada daftar belanja di supermarket, mengabaikan produk lain dan menahan diri untuk tidak membeli secara impulsif.

Memori kerja berfungsi sebagai ruang kerja sementara untuk menyimpan dan memanipulasi informasi, vital untuk tugas-tugas yang memerlukan pemrosesan dan penyimpanan secara simultan, esensial untuk tugas-tugas yang memelukan banyak konsentrasi, seperti menyusun jadwal atau menangkap banyak percakapan.

Sementara kognisi sosio-emosional, melibatkan pendeteksian dan penafsiran emosi dalam diri sendiri dan orang lain, membantu mengarahkan perilaku yang dapat diterima secara sosial. Meski ini adalah keterampilan kognitif yang terpisah, keduanya bekerja sama untuk memungkinkan penyelesaian tugas yang berhasil, baik di tempat kerja maupun aspek kehidupan lainnya.

Penelitian ini merupakan yang pertama yang secara eksperimental memanipulasi jalur inhalasi polusi udara partikulat. Intinya, penelitian ini menyoroti perlunya riset lebih lanjut untuk memahami jalur di mana polusi udara memengaruhi fungsi kognitif dan untuk mengeksplorasi dampak jangka panjang, terutama pada populasi rentan, seperti anak-anak dan lansia.

Earth menulis, mengingat bukti jelas yang menghubungkan polusi udara dengan gangguan kognitif, peraturan tentang kualitas udara yang lebih ketat diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pemerintah dan pembuat kebijakan, tulis Earth, harus mengatasi sumber polusi, menegakkan pengendalian emisi, dan mempromosikan teknologi yang lebih bersih.

Kesadaran masyarakat juga memegang peranan penting. Setiap orang dapat mengambil langkah untuk meminimalkan paparan, dengan menghindari area padat lalu lintas atau menggunakan pembersih udara.

“Meskipun tindakan pribadi membantu, perubahan sistemik diperlukan untuk memastikan peningkatan kualitas udara yang berkelanjutan,” tulis Earth.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan