Balada waria di Jakarta zaman Ali Sadikin
Pada Selasa (30/11) malam, sebuah acara yang diduga kontes waria di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat mendadak terhenti. Petugas gabungan membubarkan acara itu karena dituding menyalahi izin. Sebelumnya, panitia mengajukan izin mengadakan acara khatam Alquran.
Berulang kali, kontes waria memang mendapat resistensi dari kelompok agama dan kepolisian. Setidaknya sejak awal 2000, kontes waria menjadi kontroversi.
Kasus yang paling ramai terjadi pada 2005. Ketika itu, menurut Adian Husaini dalam buku Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006) ratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerbu Gedung Sarinah, Jakarta, tempat digelarnya kontes Miss Waria Indonesia. Namun, protes FPI tak digubris dan acara jalan terus.
“Gubernur Sutiyoso menyumbang Rp100 juta untuk penyelenggaraan kontes waria,” tulis Adian.
Bang Ali dan wadam
Terlacak dalam buku Kemala Atmojo berjudul Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Waria (1986), sejak 1957 waria mulai beredar di tempat umum dan rajin nongol jika ada orkes melayu. Lambat laun, pada 1960-an mereka banyak muncul di tempat strategis, seperti Taman Lawang atau Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Gubernur DKI Ali Sadikin, yang banyak melakukan perubahan terhadap wajah Ibu Kota punya perhatian terhadap nasib banci. Perhatiannya timbul ketika melihat banyak bencong seliweran di Jalan Teluk Betung dan Jalan Latuharhari, selepas Magrib.
“Pikiran saya menyebutkan, mereka juga manusia dan penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka,” kata Bang Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta (1966-1977) (1992) yang ditulis Ramadhan KH.
Ali kemudian mengundang perwakilan banci untuk berdialog di Balai Kota. Ia mendengarkan keluh-kesah para banci itu. Menurut penulis artikel “Bantji-bantji Kini di Tangan Bang Ali” dalam Selecta, 9 September 1968, mereka hanya ingin masyarakat tak mengejek. Penilaian miring warga membuat mereka takut jika ada di tempat yang terang.
“Untuk mengatasi ini, Bang Ali akan berani menonjolkan mereka kepada umum hingga lambat laun masyarakat jadi biasa terhadap mereka,” kata penulis artikel “Bantji-bantji Kini di Tangan Bang Ali”.
Kepada Kemala Atmojo, Bang Ali mengatakan, golongan banci dianggap seolah-olah tak punya hak untuk hidup. Mereka pun dijauhi masyarakat.
“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja,” ujar Ali kepada Kemala.
Selain mengusahakan lapangan pekerjaan bagi para banci, perhatian Bang Ali diwujudkan dengan membuka stan khusus di Jakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) berupa tempat hiburan Sasana Andrawira.
Pada 1968, di lokasi Jakarta Fair juga didirikan semacam bar yang dikelola banci bernama Paradise Hall. Saat itulah waria mulai berani tampil di muka umum.
“Di Paradise Hall penamaan banci diganti menjadi wadam atau wanita Adam,” tulis Boes Boestami dalam artikel “Connie, Profil Wadam” di Moderna, 25 Maret 1969.
Menurut Bang Ali, sebutan wadam lebih manusiawi ketimbang banci atau bencong. Dalam pertemuan dengan wadam-wadam di Paradise Hall, mata Bang Ali terbuka bahwa ada wadam yang intelek.
“Di antara mereka ada yang punya titel dokter, sarjana hukum, dan doktorandus. Sesuai kedudukannya, banci-banci ini tak mau beroperasi di jalan,” kata penulis “Bantji-bantji Kini di Tangan Bang Ali”.
Connie yang bernama asli Max Patiradjawane, tulis Boes Boestomi juga merupakan wadam intelek. Ia tercatat sebagai mahasiswa sastra Inggris dan fasih berbahasa Belanda. Ia bekerja di dua salon yang ada di Jakarta.
Lantas, menurut Kemala, pada 1973 dibentuk Himpunan Wadam (Hiwad), sebagai wadah berhimpun para wadam. Namun, menurut Tempo edisi 19 Februari 1977, Hiwad baru terbentuk pada Juli 1976.
Pemrakarsanya, sebut Tempo, adalah Ketua I DPP Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)—yang merupakan sayap Golongan Karya—E. Sukarna.
Sewaktu dibentuk, ada 250 wadam yang berhasil digamit. Pada 1977, sekitar 5.000 wadam berhimpun.
“Hiwad punya perwakilan di Cirebon, Bandung, dan lainnya. Sedang di Jakarta, sudah dapat perhatian Dinas Kebudayaan DKI,” tulis Tempo.
Tempo menyebut, pada awal 1977 sudah tak banyak wadam yang menjajakan diri di pinggir jalan. Mereka beralih profesi menjadi penari ular, pelawak, tukang sulap, pemegang peran dalam fragmen, penata rias dan kecantikan, serta penyanyi dangdut.
Mereka yang kembali ke jalan
Wadam-wadam intelek tentu tak pernah berpikir mencari nafkah di jalanan. Mereka punya keterampilan dan berbakat seni. Connie misalnya, yang menurut Boes Boestomi mengadakan tur All Stars Wadam Show ke kota-kota besar di Jawa Timur dan Bali pada 1969.
Sementara Maya Puspa, yang merupakan Ketua Hiwad itu punya pekerjaan tetap sebagai ahli rias pengantin dan guru rias di panti keterampilan wanita. Wadam lainnya bernama Myrna, sebut Kemala, membentuk grup band Bambang Brothers bersama saudara kembarnya yang bukan banci.
“Pada 22 November 1977 Myrna bersama Ludia, Leila, dan Lisa mendirikan Fantastic Dolls, grup penghibur yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap, dan lawak,” tulis Kemala.
“Mereka pentas di kantor-kantor, instansi pemerintah, kampus, dan hotel.”
Ketika itu, tak ada intimidasi terhadap wadam. Beragam kontes wadam pun semarak pada 1970-an.
Yang terkenal adalah lomba Malam Sejuta Bintang. Di sini, para wadam itu berkompetisi menyanyikan lagu penyanyi terkenal, dengan menirukan gaya busana dan keserasian mimik mengikuti lagu rekaman dari kaset pita.
“Selain Malam Sejuta Bintang, di kalangan waria dikenal lomba waria ayu, ratu luwes, ratu joget, nona Jakarta, waria terampil, dan lomba berpakaian fancy, berbusana fantastik, berbusana daerah, serta rias rambut,” tulis Kemala.
Aneka kontes itu lazim digelar di kelab-kelab malam. Kerap pula lomba itu diadakan pada hari besar nasional, semisal Hari Kartini atau Hari Kesaktian Pancasila.
Kontes bergengsi lainnya adalah pemilihan Ratu Wadam Indonesia—mirip kontes waria yang kini sering digerebek massa. Kontes ini kemungkinan pertama kali diadakan pada 1969.
Maimunah Munir di “Male Gaze dalam Komik Wadam: Konstruksi Waria dalam Dunia Komik Awal Orde Baru” yang termuat di buku Media (Baru), Tubuh, dan Ruang Publik (2015) menginformasikannya ketika membedah komik karya M. Husni bertajuk Wadam.
Komik itu berlatar akhir tahun 1960-an. Tokoh utama komik tersebut, yakni Bob dan sahabatnya Imron, suatu hari berkunjung ke ballroom Hotel Indonesia menyaksikan acara pemilihan Ratu Wadam 1969. Dari artikel “Wadam2 Ibukota Menjaingi para Artis” di Vista edisi 28 Februari 1970 diketahui, pemenang kontes Ratu Wadam 1969 bernama Ursula.
Akan tetapi, wadam banyak yang kembali ke jalanan usai Paradise Hall bangkrut lantaran kurang pengunjung. Kemala menulis, pada 1972 wadam-wadam banyak yang “mangkal” lagi di Lapangan Banteng, Monas, Taman Suropati, dan Taman Lawang.
Menjelang akhir masa jabatannya pada 1977, Bang Ali didatangi lima wakil wadam. Mereka datang ke Balai Kota, meminta dilokalisasi seperti wanita tuna susila di Kramat Tunggak agar tak kena razia petugas Kamtib. Tak diduga, permintaan ini ditolak Bang Ali.
Setelah Ali tak lagi menjabat gubernur, wadam-wadam itu seperti kehilangan beking. Istilah wadam kemudian diganti waria (wanita pria) pada 1978 karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) keberatan nama Nabi Adam dipakai.
Tahun 1979 Myrna menggantikan posisi Maya Puspa sebagai Ketua Himpunan Waria (Hiwaria)—nama baru Hiwad.
Awal 1980-an, razia waria di Lapangan Banteng dan Monas mulai gencar. Sebagian dari mereka bergabung ke Taman Lawang, yang lainnya pergi ke Pulomas, Senayan, Kota, dan Jatinegara.
Pada 1985, menurut Kemala, lokasi operasi mereka mulai dibatasi. Mereka hanya boleh “mangkal” di Jalan Latuharhary. Lantas, awal 1986 wilayah operasi waria semakin dipersempit. Mereka kemudian naik ke tanggul sepanjang rel kereta api.
“Bersamaan dengan berita penyakit AIDS yang sebenarnya bisa menyerang siapa saja, tamatlah masa keemasannya di sana,” tulis Kemala.