Bayang-bayang kekalahan, memicu stres pasca-pemilu
Melihat hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2024 di televisi, usai menyoblos, Mustofa Kamil mengaku sedih. Pria berusia 26 tahun itu tak menyangka, pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang didukungnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar hanya mendapatkan sedikit suara.
“Karena yang kita tahu pendukungnya banyak lho. Masa suaranya segitu sih,” kata Mustofa saat ditemui Alinea.id di bilangan Depok, Jawa Barat, Kamis (15/2).
Mendapati kenyataan tersebut, Mustofa lantas tak punya motivasi lagi menonton televisi dan mengakses media sosial. “Tentu keresahan setelah melihat quick count itu ada, ya,” kata dia.
Untuk mengalihkan perhatian dari televisi dan media sosial, ia memilih menyibukan diri dengan pekerjaannya sebagai wiraswasta.
Tak berbeda dengan Mustofa, Yuni Raiza, 24 tahun, juga merasa sedih pasangan capres-cawapres Anies dan Muhaimin yang didukungnya kalah versi hitung cepat.
“Kalau stres sih sedikit,” kata Yuni saat dihubungi, Kamis (15/2). “Kaget aja karena hasil quick count-nya enggak sesuai ekspektasi.” Yuni memilih rehat bermain media sosial untuk mengalihkan perhatian.
Sebagai informasi, di samping hasil quick count berbagai lembaga survei, per Jumat (16/2) sore, hasil real count atau penghitungan resmi dalam situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memimpin dengan 57%. Diikuti Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 24,98% dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 18,02%. Sementara suara yang masuk 54,91%.
Dilansir dari situs lembaga pelayanan kesehatan mental Better Help, stres pasca-pemilu menimpa seseorang yang merasa punya ikatan secara emosional. Hal ini kemungkinan disebabkan perubahan iklim politik yang ditandai dengan sudut pandang yang terpolarisasi, dan seringnya individu terikat pada keyakinan politik.
pasca-pemilu lebih umum terjadi pada abad ke-21 karena masifnya informasi di media sosial dan pemberitaan, paparan lingkungan sosial, dan kekhawatiran yang besar terhadap masa depan negara.
Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan, pemilih dalam pemilu rentan terhadap stres bila “jagoannya” kalah. Penyebabnya, sebelum melakukan pencoblosan, pemilih sudah berambisi capres-cawapresnya menang.
“Karena memang dia mengidolakan. Ketika tidak menang, maka bisa kepikiran, bisa stres, bisa menyebabkan overthinking,” ujar Sani kepada Alinea.id, Kamis (15/2).
Terlebih lagi, kata Sani, ketika hasil quick count menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan. Imbasnya, banyak orang menjadi enggan membuka platform media sosial karena takut mendapatkan informasi yang bisa memperburuk suasana hati.
Hasil yang tak sesuai harapan, menurut Sani, membuat seseorang merasa sedih, murung, atau kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terkadang, kekecewaan tersebut dapat berdampak pada tingkat energi dan motivasi.
“Membuat seseorang merasa tidak bergairah. Terus-menerus merenung dan berpikir berkepanjangan mengenai kekalahan paslon (pasangan calon) favorit, dapat memicu kondisi psikologis yang sulit diatasi,” tutur Sani.
Selain pendukung, sebut Sani, orang-orang yang cenderung mengalami reaksi emosional semacam itu biasanya adalah orang-orang terdekat, seperti teman, keluarga, atau tim sukses yang fanatik mendukung kemenangan capres-cawapres. Kondisi ini, jelas Sani, menciptakan “atmosfer” di dalam lingkaran sosial mereka, di mana kekecewaan dapat menyebar dan memengaruhi suasana hati bersama.
“Sebagai tim sukses atau penggemar setia, mereka mungkin merasakan dampak yang lebih mendalam karena keterlibatan aktif dalam mendukung paslon,” ucap Sani.
“Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mencari dukungan sosial dan berusaha bersama-sama mengatasi kekecewaan tersebut, agar dapat pulih secara psikologis dan melanjutkan kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.”
Gejala stres bisa bertambah parah, saat pendukung merasa pasangan capres-cawapres pilihannya mengalami kecurangan dalam proses pemilu. Sebab, perasaan marah dan kesalnya tak hanya bersumber dari kekecewaan atas kekalahan, tetapi juga dari kepercayaan bahwa proses tersebut tak berlangsung adil.
“Gerakan-gerakan atau tindakan-tindakan yang mereka saksikan atau percaya sebagai upaya kecurangan, baik itu berupa manipulasi data, intimidasi, atau pelanggaran lainnya, dapat menjadi pemicu tambahan pada tingkat stres,” ujar Sani.
Lebih lanjut, Sani mengatakan, para pendukung mungkin merasa frustasi dan terus-menerus memikirkan ketidaksetaraan yang mereka anggap terjadi selama pemilihan. Hal ini tak hanya menciptakan ketidakamanan emosional, tetapi juga dapat merusak kepercayaan mereka pada proses demokrasi.
“Situasi ini bisa membuat kondisi psikologis para pendukung semakin parah, dengan intensitas perasaan marah dan kesal yang mungkin memperburuk tingkat stres mereka secara keseluruhan,” tutur Sani.
Ia menambahkan, adanya kepercayaan tentang kecurangan dalam pemilu juga dapat memicu reaksi sosial antarpendukung, memperkuat solidaritas, dan meningkatkan rasa ketidakpuasan terhadap hasil yang diumumkan.
“Oleh karena itu, penanganan psikologis yang tepat dan dukungan sosial menjadi penting dalam membantu para pendukung mengatasi stres, mengelola emosi, dan merestorasi kepercayaan mereka pada proses demokrasi,” kata Sani.
Sani menegaskan, setiap orang yang mencoblos harus paham bahwa ada kemenangan dan kekalahan dalam perhelatan pesta demokrasi. Maka, bagaimana pun cara dan prosesnya, seseorang harus menerimanya sebagai sebuah pesta rakyat, bukan kompetisi di antara warga negara.
“Mari kita mulai berpikir positif, mendukung siapa pun yang menang dan menghindari prasangka negatif,” ujar Sani.
“Dengan berpikir positif, kita turut serta mendukung proses demokrasi, tanpa perlu terus-menerus mendengar masalah kecurangan.”