Bayi bisa belajar bahasa sebelum dilahirkan
Berbicaralah sebanyak mungkin percakapan ketika bayi masih di dalam kandungan. Sebab, penelitian menemukan, jika seorang ibu hamil aktif mengobrol dengan bayi yang dikandungnya, hal itu membuat bayi belajar bahasa.
Kemampuan bayi dalam kandungan menangkap bahasa yang diucapkan itu terungkap dalam riset bertajuk “Prenatal experience with language shapes the brain”, terbit di jurnal Science Advances (November, 2023).
Riset yang dikerjakan para peneliti dari University of Padua dan CNRS and Universite Paris Cite, antara lain Benedetta Mariani, Giorgio Nicoletti, Giacomo Barzon, Maria Clemencia Ortiz Barajas, Mohinish Shukla, Ramon Guevara, Samir Simon Suweis, dan Judit Gervain itu menemukan, pengalaman bahasa sudah membentuk organisasi fungsional otak bayi, bahkan sebelum dilahirkan.
“Paparan terhadap percakapan menyebabkan perubahan dinamika neural yang cepat namun berkelanjutan, meningkatkan osilasi ritmis temporal panjang dan dengan demikian meningkatkan sensitivitas bayi terhadap rangsangan yang sudah pernah didengar,” kata para peneliti.
“Periode prenatal membentuk dasar untuk perkembangan bahasa selanjutnya, meski dampaknya tak bersifat deterministik karena anak-anak, jika terpapar sejak dini, tetap mampu memperoleh bahasa, bahkan dalam ketidakhadiran pengalaman prenatal, misalnya pada bayi prematur, anak imigran, atau anak yang diadopsi internasional.”
Para peneliti menulis, otak bayi yang baru lahir sudah berada dalam keadaan optimal untuk pemrosesan efisien percakapan dan bahasa, yang menjadi dasar kemampuan belajar bahasa seorang anak.
Penelitian ini mengambil sampel 33 bayi yang baru lahir dengan ibu berbahasa Prancis dipantau menggunakan elektroensefalografi di Rumah Sakit Robert Debre, Paris, Prancis, antara satu hingga lima hari setelah kelahiran.
Elektroensefalografi melibatkan jaringan sensor kecil yang terpasang di kulit kepala bayi, yang menangkap sinyal elektrik yang dihasilkan otak. Saat gelombang otak mereka dipantau, para peneliti memutar audio lembut dari cerita anak-anak klasik, "Goldilocks and the Three Bears."
Potongan-potongan cerita disuarakan dalam tiga bahasa, yakni Prancis, Spanyol, dan Inggris. Setelah mendengarkan bahasa asli mereka, yaitu Prancis, dibandingkan bahasa Spanyol dan Inggris, bayi yang baru lahir menunjukkan osilasi neural yang meningkat, terkait kemampuan belajar bahasa.
“Hal ini menunjukkan, bayi-bayi tersebut sudah akrab dengan bahasa utama yang diucapkan saat mereka masih dalam kandungan, yang menurut peneliti berasal dari ibu mereka, serta interaksi verbal ibu dengan orang lain,” tulis Daily Mail.
Sesungguhnya, ibu-ibu yang tengah hamil bisa memberikan dorongan belajar kepada bayi mereka, dengan berbicara sebanyak mungkin selama kehamilan. Hal itu, tak sulit dilakukan.
“Ibu bisa menghasilkan cukup banyak percakapan untuk bayi mereka belajar saat dalam kandungan hanya dengan menjalani aktivitas sehari-hari mereka, berbicara dengan tetangga, teman, rekan kerja, dan anggota keluarga,” kata salah seorang penulis penelitian itu, Judit Gervain, seperti dikutip dari Daily Mail.
Dianjurkan pula oleh Gervain, sang ibu berbicara langsung ke arah perut mereka, terutama selama trimester ketiga ketika kemampuan pendengaran bayi setara dengan yang mereka miliki saat masih dalam kandungan.
Penelitian Benedetta Mariani dkk itu merupakan studi lanjutan dari riset sebelumnya. Tahun 2011, terbit riset berjudul “Language and the newborn brain: Does prenatal language experience shape the neonate neural response to speech?” yang terbit di jurnal Frontiers in Psychology.
Riset yang dilakukan Lillian May, Krista Byers-Heinlein, Judit Gervain, dan Janet F. Werker dari University of British Columbia, Concordia University, dan Universite Paris Descartes itu menguji 20 bayi yang baru lahir, berkisar antara 0 hingga 3 hari, dari 90% ibu berbahasa Inggris. Sedangkan 10% berbahasa Rumania.
“Penemuan kami menunjukkan, pemrosesan neural bahasa dipengaruhi oleh pengalaman bahasa, bahkan pada beberapa hari pertama kelahiran,” tulis para peneliti.
“Ketika bayi baru lahir (mereka) mendengarkan stimuli bahasa Inggris (yang familiar) dan Tagalog (tak familiar), kami mengamati perbedaan dalam respons otak.”
May dkk menyebut, ketika memproses kalimat bersifat maju dalam bahasa Inggris, bayi baru lahir menunjukkan peningkatan hemoglobil teroksigenasi secara keseluruhan di kedua hemisfer. Sebaliknya, ketika bayi mendengarkan kalimat maju Tagalog yang tak familiar, mereka menemukan, ada penurunan hemoglobin teroksigenasi.
“Oleh karena itu, riset kami menunjukkan bahwa pengalaman bahasa prenatal membentuk bagaimana otak merespons bahasa yang akrab dan tidak akrab,” tulis para peneliti.
Intinya, penelitian mereka menunjukkan, sebelum lahir, otak manusia sudah menyesuaikan diri dengan bahasa. Ada perbedaan yang jelas dalam cara otak bayi baru lahir merespons bahasa yang akrab dengan bahasa asing.
Penelitian sebelumnya, yang dipublikasikan pada 1988, juga menemukan respons otak bayi dalam kandungan terhadap suara. Riset itu, dikutip dari Science menemukan, bayi yang baru lahir mengenal lagu tema dari sinetron favorit ibu mereka.
Pada Oktober 2013, terbit pula penelitian berjudul “Prenatal music exposure induces long-term neural effects” di jurnal Plos One. Riset ini dikerjakan Eino Partanen, Teija Kujala, Mari Tervaniemi, dan Minna Huotilainen dari University of Helsinki.
Partanen dan timnya memasang sensor elektroensefalografi untuk mencari jejak-jejak neural dari kenangan di dalam rahim. Para peneliti memberikan rekaman kepada perempuan hamil untuk diputar beberapa kali seminggu, selama beberapa bulan terakhir kehamilan. Rekaman kata diulang-ulang, diselingi dengan musik. Ketika diuji setelah lahir, otak bayi-bayi yang dijadikan eksperimen bisa mengenali kata dan variasinya.
Dikutip dari The Guardian, Partanen dkk melibatkan 24 perempuan dalam beberapa bulan terakhir kehamilan. Separuhnya diminta menyanyikan lagu “Twinkle Twinkle Little Star” untuk janin mereka selama lima hari seminggu. Para peneliti kemudian memutar lagu itu untuk bayi ketika lahir dan mengukur aktivitas otak mereka menggunakan elektroensefalografi.
Hasilnya, bayi yang mendengar lagu tersebut dalam kandungan punya respons elektrik yang lebih kuat dalam otaknya terhadap lagu tadi. Partanen dkk pun berspekulasi, suara yang tak menyenangkan atau berisik yang didengar dalam kandungan, kemungkinan punya efek yang merugikan.
“Tampaknya masuk akal, lingkungan suara prenatal yang merugikan juga dapat memiliki efek merugikan yang berlangsung lama,” kata Partanen, dikutip dari The Guardian.
“Lingkungan seperti itu mungkin berupa tempat kerja yang bising."