Sambal picu risiko kanker bila dikonsumsi berlebihan
Di sebuah kedai makan di Tanjung Duren, Jakarta Barat menjelang makan siang tiba. Beberapa pengunjung memadati warung makan yang ciri khasnya menawarkan sajian berupa bermacam jenis sambal.
Kebiasaan makan dengan citarasa pedas telah menjadi corak masyarakat Indonesia. Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menguraikan sensasi pedas telah dikenal sejak zaman Jawa kuno.
Rasa pedas diperoleh dari rimpang berbagai jenis tanaman rhizoma, salah satunya jahe. Fadly menyebutkan, naskah sastra kuno Jawa Timur Kakawin Bhomantaka (atau Bhomakawya) bahkan telah memuat nama jenis sambal, yaitu “sambel jahe”.
Selain biasa dijumpai dalam sajian menu makan orang Indonesia, sambal diyakini sebagai salah satu pembangkit nafsu dan kenikmatan saat makan. Fakta itu sejalan dengan analisis bahwa salah satu bahan yang dimanfaatkan sebagai pemedas dalam tradisi kuliner Jawa ialah jahe.
Hal ini berlangsung pada masa sebelum abad ke-16 Masehi.
“Kandungan pedas dan hangat yang timbul dari efek gingerin memungkinkan jahe dapat memberikan citarasa pedas,” tulis Fadly.
Fadly menguraikan, ihwal “sambal” berasal dari Bahasa Melayu yang disimpulkan sebagai ramuan bercitarasa pedas yang dibuat dengan kombinasi dari beberapa bahan, seperti rempah- rempah dan bawang untuk membumbui hidangan.
Mengutip H.I.R. Hinzler (2005), Fadly menegaskan bahan sambal yang dipakai masa kuno mengacu pada ragam rhizoma, rempah-rempah, dan bawang, yang mengacu pada tiga jenis bumbu di Bali. Seperti dimuat dalam naskah masa pusaka kuliner Bali Dharma Caruban, tiga macam bumbu di Bali ialah basa, sambel, dan jejaton.
Di sisi lain, menurut Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Prof. Murdijati Gardjito, sumber bahan makanan pemberi citarasa pedas dalam dapur menu makanan orang di masa itu berasal dari tiga macam komoditas, yaitu: jahe, cabya jawa, dan merica atau lada.
Cabya (Piper retrofractum Vahl) adalah tanaman genus lada dan sirih-sirihan yang bersifat sebagai rempah pemberi citarasa pedas untuk mengolah makanan. Konon di masa lalu orang Jawa juga menyebut cabya sebagai cabai jawa atau lombok.
Berpuluh abad kemudian, seperti kata Murdijati, di Indonesia sambal cenderung dipandang pada fungsinya sebagai bagian dari saran penyajian.
“Di Indonesia, sambal lalu diartikan berbeda. Sambal itu sebagai teman makan nasi atau lalapan,” ucap Murdijati kepada Alinea.id.
Namun, dibandingkan jahe dan merica, cabya atau cabai jawa memiliki efek pedas yang lebih ramah.
“Pedasnya cabai tak semenyakitkan jahe dan merica. Sakit dalam arti menggigit. Jadi bekas rasa pedas dari merica dan jahe lama hilangnya,” sambung Murdijati.
Saat dimakan, jahe menimbulkan rasa panas menggigit di lidah. Akibatnya, masyarakat kalau itu menilai efek pedas jahe membuat rasa sakit. Adapun kandungan rempah dalam merica membuat orang yang memakannya turut merasakan pedih.
“Rasa pedasnya merica dapat membuat lambung sakit, terutama bagi orang-orang yang tidak tahan,” ujarnya.
Karena itulah, pemanfaatan cabai sebagai bahan masakan untuk memberi citarasa pedas meluas, terutama dalam masyarakat Jawa kuno. Tanaman cabya jawa tumbuh subur di lahan tropis milik penduduk Indonesia, khususnya Jawa.
Di sebuah kedai makan di Tanjung Duren, Jakarta Barat menjelang makan siang tiba. Beberapa pengunjung memadati warung makan yang ciri khasnya menawarkan sajian berupa bermacam jenis sambal.
Kebiasaan makan dengan citarasa pedas telah menjadi corak masyarakat Indonesia. Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) menguraikan sensasi pedas telah dikenal sejak zaman Jawa kuno.
Rasa pedas diperoleh dari rimpang berbagai jenis tanaman rhizoma, salah satunya jahe. Fadly menyebutkan, naskah sastra kuno Jawa Timur Kakawin Bhomantaka (atau Bhomakawya) bahkan telah memuat nama jenis sambal, yaitu “sambel jahe”.
Selain biasa dijumpai dalam sajian menu makan orang Indonesia, sambal diyakini sebagai salah satu pembangkit nafsu dan kenikmatan saat makan. Fakta itu sejalan dengan analisis bahwa salah satu bahan yang dimanfaatkan sebagai pemedas dalam tradisi kuliner Jawa ialah jahe.
Hal ini berlangsung pada masa sebelum abad ke-16 Masehi.
“Kandungan pedas dan hangat yang timbul dari efek gingerin memungkinkan jahe dapat memberikan citarasa pedas,” tulis Fadly.
Fadly menguraikan, ihwal “sambal” berasal dari Bahasa Melayu yang disimpulkan sebagai ramuan bercitarasa pedas yang dibuat dengan kombinasi dari beberapa bahan, seperti rempah- rempah dan bawang untuk membumbui hidangan.
Mengutip H.I.R. Hinzler (2005), Fadly menegaskan bahan sambal yang dipakai masa kuno mengacu pada ragam rhizoma, rempah-rempah, dan bawang, yang mengacu pada tiga jenis bumbu di Bali. Seperti dimuat dalam naskah masa pusaka kuliner Bali Dharma Caruban, tiga macam bumbu di Bali ialah basa, sambel, dan jejaton.
Di sisi lain, menurut Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Prof. Murdijati Gardjito, sumber bahan makanan pemberi citarasa pedas dalam dapur menu makanan orang di masa itu berasal dari tiga macam komoditas, yaitu: jahe, cabya jawa, dan merica atau lada.
Cabya (Piper retrofractum Vahl) adalah tanaman genus lada dan sirih-sirihan yang bersifat sebagai rempah pemberi citarasa pedas untuk mengolah makanan. Konon di masa lalu orang Jawa juga menyebut cabya sebagai cabai jawa atau lombok.
Berpuluh abad kemudian, seperti kata Murdijati, di Indonesia sambal cenderung dipandang pada fungsinya sebagai bagian dari saran penyajian.
“Di Indonesia, sambal lalu diartikan berbeda. Sambal itu sebagai teman makan nasi atau lalapan,” ucap Murdijati kepada Alinea.id.
Namun, dibandingkan jahe dan merica, cabya atau cabai jawa memiliki efek pedas yang lebih ramah.
“Pedasnya cabai tak semenyakitkan jahe dan merica. Sakit dalam arti menggigit. Jadi bekas rasa pedas dari merica dan jahe lama hilangnya,” sambung Murdijati.
Saat dimakan, jahe menimbulkan rasa panas menggigit di lidah. Akibatnya, masyarakat kalau itu menilai efek pedas jahe membuat rasa sakit. Adapun kandungan rempah dalam merica membuat orang yang memakannya turut merasakan pedih.
“Rasa pedasnya merica dapat membuat lambung sakit, terutama bagi orang-orang yang tidak tahan,” ujarnya.
Karena itulah, pemanfaatan cabai sebagai bahan masakan untuk memberi citarasa pedas meluas, terutama dalam masyarakat Jawa kuno. Tanaman cabya jawa tumbuh subur di lahan tropis milik penduduk Indonesia, khususnya Jawa.
Efek Konsumsi Berlebihan
Seperti pada panganan lain, mengonsumsi cabai berlebihan bisa berefek kurang baik. Misalnya: meningkatkan risiko infeksi pada usus halus, atau luka pada lambung.
Di samping itu, cabai juga dinilai bisa meningkatkan risiko penyakit kanker prostat, kanker usus, dan kanker hati.
Dokter ahli gizi dr. Jovita Amelia menjelaskan, sebagaimana diulas dalam sejumlah jurnal penelitian, konsumsi cabai berlebihan ini menjadi penambah risiko bagi seseorang untuk terkena penyakit tersebut.
“Cabai hanya menjadi peningkat faktor risiko saja dari penyakit tersebut, kalau jumlah cabai yang dikonsumsi banyak. Tapi bukan berarti cabai itu penyebabnya,” ucap dr. Jovita.
Sebagaimana ditekankan Murdjiati, “urat” putih biji cabai adalah tempat tersimpannya senyawa capsaicin. Disarankan, urat tersebut dibuang bagian biji dalamnya, sehingga bisa mengurangi rasa pedas.
“Kalau mau makan sambal tetapi tidak pedas, saran saya pakai rawit kecil tetapi bijinya dibuang. Tapi masih ada sedikit pedasnya. Atau memasaknya dengan memilih cabai merah besar dan cabai hijau besar. Kita buang juga bijinya, supaya rasanya tentu menjadi tidak pedas,” tutur Ketua Asosiasi Chef Profesional Indonesia Chef Stefu Santoso.