close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Drama tari berjudul Berandal Raseno kerap dipentaskan di panggung daerah dan nasional. / Pemkab Jepara
icon caption
Drama tari berjudul Berandal Raseno kerap dipentaskan di panggung daerah dan nasional. / Pemkab Jepara
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 25 Juni 2018 04:00

Berandal Raseno, potret perbanditan dari Gunung Muria

Di balik bentang alamnya dan segala cerita mistik yang menyelimutinya, ternyata Gunung Muria menyimpan kisah kelam yang terpendam.
swipe

Di balik bentang alamnya dan segala cerita mistik yang menyelimutinya, ternyata Gunung Muria menyimpan kisah kelam yang terpendam dalam ingatan masyarakatnya.

Di tempat inilah, dahulu terdapat kelompok bandit yang amat ditakuti seantero Jepara dan sekitarnya.

Untuk menelusuri jejak sejarah kelompok ini, Alinea.id mencoba menggalinya dari beberapa saksi sejarah yang masih hidup. Salah satunya adalah Kasmuri (89), yang merupakan seorang sesepuh dari desa Dudakawu yang letaknya berada di kaki Gunung Muria, yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, Jateng. 

Saat membagi pengalamannya kepada tim Alinea.id, Kasmuri mencoba membuka memori ingatan masa kecilnya mengenai adanya teror dari kelompok bromocorah yang menyerang desanya di masa lalu. Kasmuri menuturkan bahwa di desanya dahulu pernah ada sekelompok bandit, yang dikenal oleh masyarakat desanya dengan nama “Berandal Raseno”, yang bermukim di hutan kaligupit Gunung Muria.

“Waktu itu mencekam keadaannya saya yang waktu itu masih cilik (kecil) disuruh jangan keluar sama bapak ibu saya, kalau ingin enggak diculik dan dibawa ke gunung,” paparnya saat berbincang dengan Alinea.id.

Kelompok ini disebut dengan Berandal Raseno oleh masyarakat, karena tak terlepas dari nama pimpinan mereka yaitu Raseno dan Muhammad yang merupakan jawara yang sangat ditakuti di daerah ini. Tak hanya itu, kelompok ini juga mempunyai personel yang lumayan banyak pada skala masa itu.

“Kelompok ini dipimpin oleh Raseno, ndak ada yang tahu pastinya dia dari mana berasal. Tapi yang pasti, waktu itu dia sangat ditakuti. Mendengar namanya saja pasti orang sudah mengunci rumah rapat-rapat. Tapi, kalau Muhammad itu sepengatahuan saya dia itu orang seberang dari desa di Kecamatan Bangsri,” paparnya. 

Berdasarkan penuturan Kasmuri, sepertinya motif ekonomi menjadi penyebab utama kelompok ini melakukan perampokan dan penjarahan di banyak desa di kaki Gunung Muria. Keberadaan Brandal Reseno pun waktu itu sangat meresahkan warga. 

Pasalnya, kelompok ini kerap kali menjarah barang dan hewan ternak warga. Bahkan, tidak segan-segan membunuh warga yang mencoba melawan kelompok tersebut.

Senada dengan Kasmuri, hal serupa juga diungkapkan oleh Jamin (78) dan Zaenuri (69) yang mengisahkan hal yang sama. Pada paruh pertama tahun 1950-an, pemerintahan desa tidak berjalan kondusif. 

Pasalnya, kelompok Raseno dan para simpatisannya kerap kali melakukan kekerasan pada warga desa dan aparat desa. Sehingga, menimbulkan teror yang membuat pemerintahan desa tidak bisa berjalan semestinya.

Puncaknya terjadi pada tahun 1952 saat kepemimpinan desa Dudakawu dipegang oleh Sutoparis. Pada waktu itu, kelompok Berandal Raseno berusaha menculik perempuan perawan yang bernama Tampi. 

Aksi ini pun sempat diwarnai baku hantam dan penyanderaan antara warga desa dan juga kelompok Berandal Raseno. Aparat kepolisian pun terpaksa harus melepaskan penembakan yang akhirnya menewaskan Muhammad dan Tampi. 

Aksi ini sempat menggegerkan masyarakat seantero Karesidenan Pati. Sebab, kelompok ini juga ternyata tak hanya beraksi di wilayah Jepara saja.

“Waktu itu orang Pati sampai Kudus itu tahunya Rasenonya yang mati, padahal yang mati itu Muhammad, karena meraka juga suka melakukan penyerangan di sana. Mereka dikenal sakti, punya ilmu hitam, makanya orang nyebut mereka itu ya penunggu hutan Kaligupit,” papar Kasmuri seraya melawan lupa.

Berdasarkan data yang tercatat pada arsip desa, ternyata Berandal Raseno juga sempat membunuh dua aparat desa Dudakawu yakni seorang carik desa yang bernama Reti dan seorang kepala dusun yang bernama Mertosaji. Akibat konflik ini pemerintahan desa tidak berjalan semestinya dikarenakan sebagian warga desa melindungi kelompok Berandal Raseno, dan karena gejolak ini pun, Sutoparis dicopot sebagai kepala desa karena dianggap bertanggung jawab atas gejolak tersebut. 

“Wah ngeri pokoknya, main gorok kelompok ini, kasihan pak Sutoparis itu dia akhirnya docopot jadi kepala desa kita. Yang lebih ironis masyarakat kita waktu itu ada yang berpihak sama Raseno, saya pun enggak tahu apa alasanya,” ujarnya.

Menurut Sejarawan dan Antropolog Universitas Diponegoro Sugiharto, timbulnya perbanditan di Jawa pada masa masa awal kemerdekaan memang banyak terjadi. Hal ini bisa disebabkan berbagai faktor, mulai dari faktor politik, ekonomi hingga kesenjangan yang ada antara pusat dan daerah.

Melihat keadaan tersebut, Polisi dan TNI segera memburu kelompok bandit ini sampai ke tempat persembunyiannya di hutan Kaligupit. Polisi dan TNI menggunakan strategi anti gerilya, yang memutus jaringan logistiknya terlebih dahulu sebelum menyerang, lalu mempersempit ruang gerak kelompok tersebut sehingga terdesak, lalu menangkapnya hidup-hidup.

“Penangkapan mereka bukan tanpa perlawanan, waktu Polisi/TNI dan warga ke desa ke atas gunung buat nangkap mereka itu agak sulit karena mereka itu menguasai medan dan beberapa itu berani berani walaupun mereka enggak megang senjata api,” paparnya.

Keadaan tersebut sempat membuat trauma warga desa Dudakawu. Pasalnya, warga desa banyak menderita kerugian baik materil maupun korban jiwa. Alhasil sampai saat ini pun, warga desa Dudakawu yang memiliki anak perempuan melarang anaknya untuk keluar saat malam hari. Sebab, tak ingin memiliki nasib serupa seperti Tampi “Perawan dari Dudakawu”.

Walaupun pahit, masyarakat Desa Dudakawu sadar bahwa kejadian itu perlu menjadi pelajaran bersama agar tak terulang pada generasi berikutnya. Oleh karenanya, untuk memperingati peristiwa tersebut warga desa menjadikan peristiwa itu sebagai cerita kesenianan ketoprak yang dipentaskan setiap sedekah bumi berlangsung, sebagai media pembelajaran generasi selanjutnya.

“Semua orang mulai dari Jepara, Kudus, Pati hingga Rembang kalau mau mentas Brandal Raseno mereka itu riset kemari (Desa Dudakawu) buat bikin jalan ceritanya, kalau ingin tahu pertunjukannya lihat saja pas sedekah bumi di tempat kita pas habis lebaran, bulan apit,” pungkas Zaenuri Kepala Desa Dudakawu.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan