Faisal Aristama, 30 tahun, terpaksa harus putus kuliah di semester delapan. Penyebabnya, tempatnya berkuliah, yakni Sekolah Tinggi Telematika (STT) Cakrawala Nusantara ditutup Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) pada 2015 karena membuka kelas ilegal.
Kelas itu menjanjikan ijazah sarjana, dengan masa kuliah hanya dua tahun. Buntut penutupan itu, membuat semua mahasiswa, baik yang reguler maupun beasiswa, terdampak.
Kejadian yang menimpanya pada 2015 tersebut, membuat Faisal berada di titik terendah. Sebab, impian orang tuanya punya anak sarjana harus pupus. Dia kecewa. Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, yang sebenarnya tinggal sedikit lagi menyelesaikan studi, merasa hanya dijadikan komoditas yang ditipu pihak kampus.
Belakangan, dia mengetahui, pihak kampus tidak memperbarui data mahasiswa ke pihak Kemenristek Dikti. Padahal, data mahasiswa harus dilaporkan berkala untuk kepentingan akreditasi.
“Akhirnya, saya bersama 700 mahasiswa lain menjadi korban penutupan kampus,” tutur Faisal kepada Alinea.id, Rabu (14/8).
Faisal sempat berupaya sekuat tenaga agar tidak sampai putus kuliah, dengan melakukan aksi protes ke pihak kampus dan Kemenristek Dikti. Dia berharap diberi kesempatan menyambung kuliah ke perguruan tinggi swasta lain.
Sayangnya, segala usaha yang dilakukan nihil. Anehnya, pihak kampus justru berperan sebagai “calo”, menawarkan kuliah di kampus lain dengan syarat membayar uang muka Rp15 juta.
“Saya memilih enggak menerima tawaran itu karena merasa itu seperti nyogok,” ujar dia.
“Waktu itu, saya juga enggak punya uang sebanyak itu. Tapi, teman saya ada yang milih bayar dan akhirnya dioper dan melanjutkan ke kampus lain.”
Celakanya, mahasiswa yang memilih membayar untuk menyambung kuliah, ternyata mengalami kejadian hampir serupa di kampus baru. “Contohnya, salah satu kampus yang bermasalah di Bekasi, yang ditutup dua tahun lalu, yakni Universitas Mitra Karya,” tutur Faisal.
Sistem pendidikan yang kapitalistik
Baru-baru ini, terdapat pula 84 perguruan tinggi swasta yang terancam dicabut izinnya alias ditutup Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) mengungkapkan, rencana penutupan itu karena pihak kampus tidak mengurus akreditasi.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, pemerintah tidak bisa asal tutup kampus, tetapi lepas tangan dengan nasib para mahasiswa yang terdampak tak dapat lanjut kuliah. Dia mengatakan, untuk saat ini tetap perlu ada jaminan pemerintah, yang wajib memfasilitasi mahasiswa terdampak dengan memberi jaminan lanjut kuliah hingga lulus.
“Menutup kampus dan menelantarkan mahasiswa itu bukan tugas pemerintah. Tugas pemerintah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka digaji untuk melakukan itu, bukan malah menelantarkan mahasiswa,” ucap Ubaid, belum lama ini.
Sementara itu, pemerhati dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji mengatakan, perkara yang dialami Faisal dan kemungkinan besar para mahasiswa di 84 kampus swasta yang terancam ditutup, merupakan masalah kronis sistem pendidikan nasional yang mengarah pada kapitalisasi pendidikan tinggi, tanpa memikirkan masa depan mahasiswa.
Tren yang terjadi saat ini, kata dia, kampus berlomba-lomba menjadi perusahaan bisnis yang mematok biaya mahal. Namun, menghasilkan lulusan sebagai tenaga kerja murah.
“Saat ini, lulusan sarjana digaji (dengan) upah minimum regional (UMR),” ucap Indra, Selasa (13/8).
Sistem pendidikan tinggi yang mahal, membuat angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) 2023 baru berada di angka 31,45%. Artinya, hanya satu dari setiap tiga anak Indonesia yang bisa memperoleh kesempatan duduk di bangku universitas.
“Semua dibiarkan saja dengan mekanisme pasar yang enggak kuat, ya mati. Itu pakai hukum rimba pasar. Itu menurut saya tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,” ujar Indra.
Indra memandang, persoalan mahasiswa yang menjadi korban kampus yang ditutup, tidak cukup sekadar dipindah ke kampus lain. Akan tetapi, harus melihat faktor yang menjadi dasar kampus tak mampu memenuhi standar akreditasi.
“Sekadar hanya memindahkan mahasiswanya ke kampus lain, itu mudah. Tapi enggak menyelesaikan masalah,” kata Indra.
“Harus kita kaji lagi, kenapa sampai ada 84 kampus yang tidak mau akreditasi? (Apa) karena memang kondisi keuangannya tidak memungkinkan?”
Indra mengingatkan, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendatang perlu menyadari sistem pendidikan nasional yang saat ini bobrok karena terlampau menjurus pada bisnis. Perlu perubahan sistem pendidikan yang berkomitmen pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas secara merata.
“Karena target-target beliau (Prabowo-Gibran) seperti pertumbuhan ekonomi 8% itu enggak mungkin terjadi kalau pembangunan manusia tidak dibenahi,” kata dia.
“Gimana kita mau mendidik anak-anak kita, sedangkan 84 kampus ini enggak jelas nasibnya. Berarti memang tidak terjadi hubungan yang saling mengisi antara kebutuhan pembangunan dan dunia usaha atau industri, dengan apa yang disiapkan dunia pendidikan.”