Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya (SDA), salah satunya adalah tanaman obat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Secara turun temurun tanaman obat tersebu diolah oleh masyarakat lokal menjadi sebuah ramuan obat tradisional ataupun minuman tradisional yang biasa kita kenal sebagai jamu.
Kendati begitu, masih banyak hal mengenai jamu yang tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama anak muda. Jamu juga sangat identik dengan budaya Jawa, tetapi nyatanya masing-masing daerah di Indonesia memiliki jamu ataupun obat-obatan tradisionalnya sendiri.
Berdasarkan Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, terdapat lebih dari 30.000 ramuan pengobatan tradisional yang tersebar di Indonesia, dengan lebih dari dua ribu tumbuhan obat yang sudah teridentifikasi. Tentunya kearifan lokal seperti ini harus dilestarikan dan dijaga.
"Jamu merupakan warisan bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan, jangan sampai diklaim oleh bangsa lain" ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM Reri Indriani, dalam webinar, Rabu (8/9).
Namun faktanya, masih banyak tanaman obat diketahui memiliki khasiat obat, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sebagai obat herbal.
Oleh karena itu, agar dapat bersaing di kancah global, Indonesia perlu memberikan fasilitas ruang gerak terhadap peneliti dan juga pelaku usaha yang memanfaatkan tanaman berkhasiat obat, untuk bisa menghasilkan obat herbal yang bermutu dan berdaya saing.
Maka dari itu, dalam rangka mengembangkan dan memperkenalkan tanaman obat/jamu kepada masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengadakan serangkaian acara sarasehan jamu nusantara, napak tilas dokumentasi empiris.
"Pengumpulan dokumentasi etnomedisin merupakan hal penting yang harus dilakukan sebagai data bukti keamanan jamu nusantara secara empiris. Untuk itu perlu pendampingan pengembangan produk dan penelusuran data penggunaan empiris melalui kegiatan napak tilas jejak empiris obat tradisional berbahan herbal" ujar Reri.
Akademisi dari fakultas farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Suwijiyo Pramono menyebutkan beberapa hal mengenai ruang lingkup empiris yang harus diperhatikan dan tentunya di garap oleh BPOM.
Jaminan empiris pertama adalah melihat susunan formula pada ramuan, baik dosis ataupun jenis bahan penyusun ramuan. Kedua, adalah cara pembuatan, mulai dari cara produksi, solven untuk ekstraksi, hingga bentuk sediaan. Dan yang terakhir adalah jenis indikasi dan juga aturan pakai. Jika dari data empiris tersebut sudah tersebut sudah terbukti aman, maka jamu tersebut dapat bisa mulai dikembangkan dan diproduksi secara luas.
Selain pengumpulan data, dan penyusunan standar jamu, hal lainnya yang perlu dilakukan adanya keselarasan kerja sama lintas bidang. Dengan memanfaatkan momentum "back to nature" BPOM percaya dapat memberikan potensi jamu nusantara kepada masyarakat untuk terus berinovasi dan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk bisa ikut menikmati dan melestarikan jamu/ramuan obat Indonesia.