Buku-buku kuno dari abad ke-19 mungkin bisa meracuni kita
Tampaknya, kita harus lebih berhati-hati jika berurusan dengan buku-buku kuno. Sebab, dahulu, pewarna beracun pernah digunakan untuk memberikan warna-warna cerah pada buku antik bersampul kain.
Beberapa waktu lalu, seorang ahli kimia dari Lipscomb University, Joseph Weinstein-Webb dan timnya mempresentasikan temuannya di American Chemical Society di Denver, Amerika Serikat, soal buku-buku berwarna cerah dalam koleksi perpustakaan mereka sendiri yang mendandung pewarna beracun.
Weinstein-Webb dan timnya, seperti dilansir dari Science Alert, melakukan sejumlah pengujian pada beberapa buku, termasuk fluoresensi sinar-X untuk memeriksa arsenik dan logam berat lainnya, spektroskopi emisi optik plasma yang diinduksi untuk mengetahui konsentrasi logam tersebut, dan difraksi sinar-X untuk mengidentifikasi molekul pigmen yang mengandung logam.
Hasilnya menunjukkan, ada timbal dan kromium dalam konsentrasi tinggi yang tidak aman di beberapa sampel buku. Pada beberapa kasus, timbal dan kromium ditemukan dalam bentuk timbal (II) kromat, pigmen kuning yang paling terkenal karena memberikan warna cemerlang pada buku Sunflowers (1888) karya Vincent van Gogh.
Ars Technica menyebut, pada April 2024 Perpustakaan Nasional Prancis mengeluarkan empat buku cetakan abad ke-19, yang semuanya diterbitkan di Inggris Raya, dari rak-raknya karena sampulnya kemungkinan besar mengandung arsenik. Buku-buku itu, antara lain dua volume Ballads of Ireland (1855) karya Edward Hayes, antologi puisi Rumania (1856), dan buku Royal Horticultural Society (1862-1863). Buku-buku itu telah dikarantina untuk keperluan analisis lebih lanjut guna menemukan seberapa banyak arsenik yang terkandung.
Science Alert menulis, selama abad ke-19 golongan pewarna baru mulai dikenal. Warna-warna cerah tak cuma dihasilkan dari bahan-bahan alami yang sulit ditemukan. Arsenik pun menghasilkan warna hijau neon dan magenta yang baik. Anilin dimanfaatkan untuk menghasilkan warna hitam pekat dan ungu mencolok. Logam berat lainnya membantu membuat pewarna lebih stabil, sehingga tetap cerah lebih lama.
Dikutip dari Washington Post, ahli kimia Swedia Carl Wilhelm Scheele mengembangkan pigmen hijau arsenik pertama pada 1775. Daya tahan warna hijaunya membuat pigmen hijau arsenik buatan Scheele sangat populer.
“Manusia telah menciptakan budaya material selama ribuan tahun. Dan kita telah emnggunakan bahan-bahan yang berpotensi beracun, seperti pigmen logam berat hampir selama itu,” kata konservator seni dari Winterthur Museum, Garden, and Library di Amerika Serikat, Melissa Tedone kepada Newsweek.
Menurut Tedone, pigmen logam berat populer digunakan dalam produk seni, buku, kertas dinding, dan produk rumah tangga lainnya pada abad ke-19 karena warnanya yang sangat mencolok. Dua pigmen yang paling beracun adalah warna hijau zamrud, yang mengandung arsenik dan kuning krom, yang mengandung timbal dan kromium.
Pigmen logam berat ini tak lagi digunakan pada pergantian abad ke-20 lantaran pewarna sintetis baru ditemukan, yang masih berwarna cerah dan tahan cahaya, tetapi jauh lebih tidak beracun.
“Buku-buku lama dengan pewarna beracun ini mungkin ada di universitas, perpustakaan umum, dan koleksi pribadi,” ujar ahli kimia dari Lipnscomb University, Abigail Hoermann, dikutip dari Science Alert.
Orang-orang yang sering memegang buku kuno, seperti pustakawan dan pedagang buku punya risiko tinggi. Tahun 2019, Tedone dan koleganya Rosie Grayburn menemukan sebuah buku yang sampul kainnya diwarnai dengan pigmen, yang diketahui mengandung arsenik. Sejak saat itu, Poison Book Project di bawah Tedone dan Grayburn sudah mengidentifikasi banyak buku di seluruh dunia yang diberi warna dengan pigmen beracun serupa.
Newsweek menulis, Poison Book Project sudah mengidentifikasi dan membuat katalog buku-buku yang diketahui mengandung zat-zat beracun. Buku-buku tersebut, ujar Tedone, diidentifikasi di toko-toko buku bekas dan perpustakaan di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru.
Menurut Tedone, mereka memiliki situs web yang membagikan hasil penelitian, serta mengelola Arsenical Book Database—yang merupakan inventaris buku-buku yang dihimpun dari orang banyak yang sudah dipastikan mengandung arsenik dalam bentuk pigmen hijau zamrud.
“Lebih dari 250 buku (mengandung) arsenik telah terindentifikasi sejauh ini,” kata Tedone kepada Newsweek.
Ada beberapa petunjuk untuk mengetahui buku-buku yang mengandung arsenik. Tedone menyebut, pertama bisa dilihat dari peride terbitnya, yakni abad ke-19. Kedua, warna hijau yang mencolok dari buku bersampul kain terbitan 1840-an hingga 1860-an. Ketiga, negara asalnya karena arsenit terutama digunakan dalam produksi di Inggris dan Amerika Utara.
Kandungan arsenik dalam buku-buku terbitan abad ke-19 sangat berbahaya. Menurut Ars Technica, pigmen hijau zamrud sangat mudah pecah. Artinya, partikel-partikel itu pecah, bahkan dengan sedikit tekanan atau gesekan. Debu pigmen itu berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama jika terhirup.
Tedone dalam Newsweek menjelaskan, gangguan kesehatan serius bisa terjadi jika paparan buku mengandung arsenik masuk ke mulut, hidung, atau mata melalui tangan yang terkontaminasi. Namun, paparan pada kulit bakal menimbulkan masalah jika kita memegang buku tersebut dalam jangka waktu yang lama.
“Untuk buku yang mengandung timbal dan kromium, sejauh ini kami tidak mendeteksi adanya perpindahan logam berat tersebut ke kulit saat buku disentuh. Jadi, tidak apa-apa untuk memegang buku tersebut tanpa sarung tangan,” kata Tedone dalam Newsweek.