close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh) dan Minke (Iqbaal Ramadhan) dalam salah satu adegan film Bumi Manusia. / falcon.co.id
icon caption
Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh) dan Minke (Iqbaal Ramadhan) dalam salah satu adegan film Bumi Manusia. / falcon.co.id
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 17 Agustus 2019 18:02

Bumi Manusia: Perjuangan melawan penindasan berbalut roman

Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo telah tayang perdana sejak Kamis (15/8).
swipe

Film adaptasi Novel Bumi Manusia telah tayang perdana sejak Kamis (15/8).  Novel Bumi Manusia sendiri merupakan bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru, tiga buku lainnya yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Berdurasi tiga jam, film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini berkisah mengenai percintaan Minke (Iqbaal Ramadhan) dan Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). 

Berlatar 1900-an awal, kisah cinta mereka kontroversial karena Minke seorang pribumi, sementara Annelies blasteran Indonesia-Belanda. Masa itu, pribumi tidak dipandang sederajat dan tidak dapat menikmati privilese yang dimiliki orang Belanda ataupun blasteran.

Namun, sebagai ningrat Jawa, Minke dapat mengecap pendidikan di sekolah prestisius, HBS. Lewat  sejumlah dialog, dia digambarkan sebagai pria yang berwawasan, logis dan berwibawa.

Sejak awal, Bumi Manusia sudah langsung menampilkan sejumlah adegan yang mempertegas adanya perbedaan derajat bak bumi dan langit antara orang Belanda, blasteran dan pribumi.

Soroti kesetaraan

Meski berangkat dari kisah cinta antara dua anak muda, Bumi Manusia sejatinya memberi panggung pada persoalan utama yakni perjuangan menuntut kesetaraan pada zaman penjajahan Belanda.

Jika bagian awal film berfokus pada romansa antara Annelies dan Minke, paruh tengah hingga akhir jauh lebih menyoroti upaya memperjuangkan hak-hak pribumi.

Narasi besar mengenai kesetaraan ini didorong dengan adanya ibu Annelies, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febrianti), yang merupakan seorang gundik. Tidak seperti Minke yang setidaknya masih memiliki gelar bangsawan, Nyai Ontosoroh, yang juga berdarah Jawa tulen, dipandang sebagai sampah masyarakat.

Bersenjatakan pena, Minke melawan ketidakadilan lewat tulisan-tulisannya yang terbit di sejumlah surat kabar lokal berbahasa Belanda maupun Indonesia.

Tata artistik Bumi Manusia patut diapresiasi, terlihat bahwa film ini berusaha keras untuk membangkitkan suasana Surabaya pada era kolonial Belanda. Alur film pun santai dan diwarnai dialog dengan tutur bahasa yang mudah dicerna. Dialog sebagian banyak diucapkan dalam bahasa Jawa dan Belanda, khususnya untuk karakter Minke dan sahabatnya, Robert Surhoff (Jerome Kurniawan).

Scoring juga menjadi salah satu faktor pendukung dalam film ini. Beberapa momen jadi lebih terangkat dan mengena akibat adanya sentuhan nada-nada yang ditata sedemikian rupa.

Sayangnya, ada beberapa hal yang mengganggu saat menonton Bumi Manusia. Pertama adalah pemilihan warna dan color grading yang tidak konsisten. Selama bagian awal Bumi Manusia, Hanung menonjolkan warna sepia tetapi tidak secara konsisten mempertahankan warna itu hingga akhir film. Selain itu, beberapa adegan yang menggunakan layar hijau juga tidak mulus sehingga mengganggu pengalaman menonton.

Dari sisi akting, Ine Febrianti sejak awal terlihat sangat gemilang dan berhasil mencuri perhatian. Dia menghidupkan peran Nyai Ontosoroh sebagai perempuan yang tangguh, pintar dan karismatik.

Akting Iqbaal sendiri nyaris tanpa kesan di paruh pertama dan di beberapa momen pun dia tidak berhasil menangkap semangat revolusi yang seharusnya ada di mata Minke. Tapi dalam paruh kedua, adu aktingnya dengan Ine Febrianti membuat adegan lebih hidup dan penuh emosi.

Penutup klimaks

Adegan pada menit-menit akhir Bumi Manusia dapat dikatakan sebagai klimaks dari film tersebut. Minke dan Nyai Ontosoroh yang bolak-balik masuk dan keluar pengadilan kulit putih demi memperjuangkan hak mereka akhirnya harus menerima kenyataan bahwa hukum yang berlaku tidak semudah itu dapat diubah.

Tulisan-tulisan Minke pun hanya menggugah perlawanan pribumi dan membangkitkan semangat nasionalisme, tapi tidak dapat bertindak sejauh menulis ulang hukum atau menghapus penindasan.

Mereka berdua dihadapkan kenyataan bahwa karena Nyai Ontosoroh bukan istri resmi dari ayah Annelies, Herman Mellema (Peter Sterk), maka putrinya itu diputuskan dikirim ke Belanda untuk tinggal bersama wali resminya.

Perpisahan yang tidak terhindarkan itu pun tiba. Pada titik ini, Ine Febrianti sukses mengaduk-aduk emosi penonton.

Walaupun mungkin banyak penonton yang akan bersimpati terhadap Minke yang kehilangan Annelies, sepantasnya belas kasih itu diarahkan kepada Nyai Ontosoroh. Sang Nyai menjalani hidup yang pilu, pada umur 14 tahun dia dijual ayahnya kepada Herman Mellema, menjadi gundik yang dipandang sebelah mata sebagai manusia yang hina. Masalah bertubi-tubi menimpanya, mulai dari kematian suaminya hingga anak laki-lakinya, Robert Mellema (Giorgino Abraham), yang melarikan diri dari rumah akibat tidak sudi ibunya pribumi.

Sepanjang film, Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai karakter yang kuat. Dia bahkan berani bersuara dan menentang para hakim di pengadilan kulit putih dan para prajurit kompeni. Baru pada saat Annelies dirampas darinya, ketangguhan itu luntur dan memperlihatkan Nyai Ontosoroh sebagai seorang ibu tidak sudi kehilangan putrinya.

Ada momen dahsyat yang membuat bulu tengkuk meremang. Pada adegan terakhir, entah bagaimana Nyai Ontosoroh masih memiliki kekuatan untuk menenangkan Minke dengan mengucap, "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya". 

Suara lirih Iwan Fals yang melantun lagu "Ibu Pertiwi" menutup Bumi Manusia secara puitis.

Respons penonton

Seorang penggemar berat Iqbaal, Febbyolla, memuji akting idolanya itu dalam Bumi Manusia. Meski belum pernah membaca novel karya Pram yang menginspirasi film tersebut, Febbyolla merasa Iqbaal cukup mendalami karakter Minke.

"Aktingnya bagus dan beda dari peran Iqbaal di film Dilan 1990. Ini sudah kedua kali saya nonton Bumi Manusia dan tetap saja masih nangis," ujar Febbyolla kepada Alinea.id.

Dia bahkan mengatakan menjadi tertarik untuk membaca novel Bumi Manusia setelah menonton film tersebut.

"Selama ini tidak tertarik soalnya novelnya tebal sekali, tapi setelah nonton, kepikiran sih mau beli," ungkap dia.

Sependapat dengan Febbyolla, Vincent Jose, yang sudah menonton Bumi Manusia dan membaca novelnya pun memuji film adaptasi itu. Menurutnya, Salman Aristo selaku penulis naskah berhasil menangkap cerita Bumi Manusia sesuai porsinya.

"Jika ada yang menganggap film itu terlalu sinetron, saya rasa orang tersebut tidak benar-benar membaca novelnya. Novel Bumi Manusia sejatinya memang roman kok. Mungkin tema besarnya tentang perlawanan dan kebebasan, tetapi kemasannya tetap saja roman," kata Vincent kepada Alinea.id.

Vincent berpendapat bahwa secara keseluruhan, film Bumi Manusia dapat dinikmati dan upaya Hanung menerjemahkan buku ke medium film dapat dikatakan cukup berhasil.

"Saya rasa awal-awal banyak yang skeptis karena faktor Falcon yang memproduksi dan Iqbaal sebagai Minke. Kekhawatirannya terlalu konyol menurut saya," jelas dia.

 

starstarstarstarstar3

Jika bagian awal film berfokus pada romansa antara Annelies dan Minke, paruh tengah hingga akhir jauh lebih menyoroti upaya memperjuangkan hak-hak pribumi.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan