Bumi Manusia: Usaha merawat kenangan "Sang Pemula"
Baru-baru ini Falcon Pictures dengan sutradara Hanung Bramantyo berencana memfilmkan novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Rencana tersebut menuai beragam reaksi dari masyarakat, mulai dari yang adem ayem saja hingga menolak keras. Jika film tersebut jadi diproduksi dan diluncurkan ke pasar, tentu beban berat ada di pundak penulis naskah, sutradara, dan tokoh utama menghadirkan tokoh Minke yang revolusioner dan mesti adil sejak dalam pikiran seperti yang dinarasikan Pramoedya.
Tak berlebihan jika kita mengatakan tokoh Minke di Bumi Manusia dan Tetralogi Buru terinspirasi dari Tirto Adhi Soerjo, pemula dalam sejarah pergerakan Indonesia maupun perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional. Pram sendiri tak hanya menarasikan tokoh Tirto melalui novelnya. Tetapi juga membuat biografi dari Tirto yang diberinya judul “Sang Pemula”.
Sang Pemula menjelaskan Tirto yang merupakan cucu dari Bupati Bojonegoro, RMT Tirtonoto mendapatkan pendidikan model barat sejak kecil. Tirto kemudian pindah ke Batavia saat berusia 13-14 tahun dan mulai menulis.
Karir kepenulisan Tirto merentang sejak berusia 14-15 tahun atau tepatnya saat pindah ke Batavia. Saat itu ia rajin mengirimkan tulisannya ke surat kabar berbahasa Melayu. Sebelum membuat surat kabarnya sendiri, ia pernah menjadi asisten untuk Chabar Hindia Olanda, Pembrita Betawi, dan Pewarta Priangan.
Tirto tak ragu untuk keluar dari STOVIA saat berusia 20 tahun untuk bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai editor dan kemudian setahun setelahnya menjadi pimpinan redaksi. Ketika masih di Pembrita Betawi, ia belajar soal niaga ke Karel Wijbrands, Pemred dari Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, dan soal hukum ke PP Hoornweg.
Pada 1908, Tirto bersama dengan Haji Mohammad Arsad dan Pangeran Oesman mendirikan surat kabar “Medan Prijaji.” Medan Prijaji merupakan salah satu organ dari Sarekat Prijaji. Walaupun menggunakan nama Prijaji, koran ini tidak hanya corong milik kaum priyayi saja, tetapi semua lapisan masyarakat Hindia-Belanda saat itu.
Dari cerita Pram di tetraloginya, Minke yang merupakan jelmaan Tirto Adhi Soerjo awalnya menulis menggunakan Bahasa Belanda. Namun, lama-kelamaan Tirto sadar jika suaranya harus didengar kaum bumiputera. Di tetralogi buru, teman pelukis Minke asal Prancis Jean Marais, memengaruhi dirinya untuk menulis dalam Bahasa Melayu, bahasa yang didakwanya sebagai bahasa “miskin”.
Dari Medan Prijaji inilah Tirto memulai aktivitas jurnalisme advokasi-nya. Dalam kerja jurnalistiknya, Tirto tak segan menyerang ketidakadilan, tirani, eksploitasi dan kekerasan aparat dari kolonial Belanda maupun penguasa lokal yang sewenang-wenang. Medan Prijaji hadir dengan kata penuh sindiran. Kelak, segala aktivitas jurnalistiknya itu, menuntunnya menuju kesengsaraan.
Keberhasilan Tirto di Medan Prijaji tak lepas dari hubungannya dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz yang memberikannya perlindungan. Akan tetapi, tak lama kemudian Van Heutsz meninggalkan jabatannya dan digantikan dengan AWF Idenburg.
Ia pernah beberapa kali dibuang kolonial Belanda akibat kerja jurnalistiknya. Di 1909 misalnya, ia berselisih dengan A Simon, pejabat lokal di Purworejo yang berpangkat aspirant controleur.
Kala itu, Soerodimedjo yang berasal dari Desa Bapangan, Distrik Cangkrep, Purworejo, mengadu kepada Tirto. Soerodimedjo yang terpilih sebagai Lurah dihukum kerja paksa selama 14 hari oleh A Simon dan Wedana Cangkrep, Mas Tjokrosentono. Soerodimedjo tidak diangkat sebagai Lurah oleh dua orang itu.
Tirto kemudian melancarkan kritik kepada Simon yang diejek sebagai “snoot-aap” yang artinya monyet ingusan suka menyusu. Simon murka. Ia menuntut Tirto atas pencemaran nama baik. Ketika Van Heutsz masih menjadi Gubernur Jenderal, kasus ini diabaikan olehnya, Tirto diberikan perlindungan.
Namun, ketika Idenburg naik menjadi Gubernur Jenderal, perkara tersebut dihidupkan kembali. Tirto dijatuhi menerima hukuman buang ke Teluk Betung, Lampung, oleh pengadilan selama dua bulan.
Tak cukup sampai di situ, di akhir 1912 Tirto dibuang kembali. Kali ini ke tempat yang lebih jauh, Maluku selama 6 bulan. Sebabnya, mengecam Bupati Rembang, Djojoningrat dan Idenburg.
Pionir pergerakan Bumiputera
Di waktu-waktu luangnya, Tirto banyak membaca soal gerakan Tiong Hwa Hwe Koan yang berdiri pada 1900 dan Jamiat ul-Chair yang berdiri di 1905. Di 1906 ia mendirikan Sarikat Prijaji. Tirto banyak terinspirasi dengan gerakan boikot yang dilakukan kelompok pedagang Tionghoa di Surabaya yang kesal dengan perusahaan dagang Handelsvereniging Amsterdam (HVA). Kemudian mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor pada 1909 mencontoh pedagang Tionghoa.
Sebelum mendirikan SDI, Tirto pernah bergabung dengan Boedi Oetomo (BO). Namun, karena merasa tidak cocok, Tirto meninggalkan BO tidak lama setelahnya. Tirto menganggap BO hanya mengangkat kaum ningrat saja.
Sekembalinya dari pembuangan di Lampung, Tirto berkeliling ke daerah-daerah dan mempropagandakan SDI. Ia menggambarkan dirinya sebagai perwakilan dari kaum ‘mardika’ yang melawan orang berpangkat.
Hingga akhirnya SDI mendirikan cabang di Surakarta yang dipimpin oleh Haji Samanhoedi. Di tangan Haji Samanhoedi, SDI cabang Surakarta berkembang pesat. Saat Tirto dibuang untuk kedua kalinya ke Maluku, SDI Bogor terbengkalai.
Takashi Siraishi menuliskan Pramoedya melihat sosok DA Rinkes, sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembuangan Tirto ke Maluku. Rinkes melihat salah satu cara menjinakkan SDI, yang saat itu berubah nama menjadi Sarikat Islam (SI) dan merupakan organ besar, adalah dengan mengurangi bahkan menghilangkan pengaruh Tirto sama sekali.
Rinkes membuat adu domba antara SI dan pedagang Tionghoa yang pernah menjadi inspirasi bagi Tirto. Agenda pemerintah kolonial akhirnya berhasil menjinakkan SI dari gerakan politik antikolonial menjadi gerakan ekonomi anti Cina.
Sekembalinya dari pengasingan, segala yang dibangun Tirto telah hancur. Gerak-geriknya selalu diawasi pemerintah Hindia-Belanda saat itu. Tirto meninggal dalam kondisi terasing dan kesepian di usia 38 tahun di Hotel Samirana, Mangga Dua, Jakarta. Mas Marco, murid dan pengagum Tirto menggambarkan kematiannya sebagai “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.”
Jika bukan karena Pram yang dengan tekun menulis kisahnya, namanya mungkin akan menghilang dan terlupakan dari sejarah bangsa.