Beberapa waktu lalu, sejumlah sutradara dan pemain film nasional ramai-ramai mengunggah tuntutan di media sosial soal pembenahan sistem kerja di dunia perfilman. Tiga poin yang dituntut, antara lain jam kerja sehat agar semua kru film dapat menjaga kesehatan dan keselamatannya, jarak aman 12 jam yang mengacu pada minimnya istirahat kru untuk kembali ke lokasi syuting, dan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap pekerja film.
Ada harapan pula terbentuknya serikat pekerja film berbadan hukum, seperti Screen Actors Guild–American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) di Hollywood. Aksi ini merupakan imbas dari kematian seorang kru film, Rifki Novara. Dia meninggal dunia usai mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari lokasi syuting, diduga karena kelelahan akibat jam kerja yang panjang.
Situasi pekerja film di luar negeri serupa dengan di Indonesia. Banyak orang membayangkan, bekerja di industri film sebagai sesuatu yang glamor. Padahal, lokasi syuting lebih mirip proyek konstruksi yang berbahaya dan kacau, dengan orang-orang yang bekerja tanpa istirahat yang cukup.
Proyek produksi film sering kali hanya berlangsung selama beberapa bulan. Secara teoretis memberikan waktu libur bagi para pekerja setelah produksi selesai, tetapi memaksa orang-orang untuk bekerja hingga batas kemampuan mereka selama masa kontrak dapat menjadi hal yang menghancurkan.
Dikutip dari the Guardian, tahun 2023 survei yang dilakukan Bectu dan Mark Milsome Foundation mengungkapkan, hampir tiga perempat dari 733 responden yang bekerja sebagai kru film dan televisi di Inggris merasa keselamatan mereka atau rekan kerjanya terancam di tempat kerja.
Lalu, lebih dua pertiga dari mereka punya kekhawatiran mengenai orang-orang yang dipromosian ke posisi tanggung jawab tanpa pengalaman memadai atau kualifikasi keselamatan. Banyak pula yang merasa enggan untuk bersuara—semua yang melaporkan insiden, meminta untuk tetap anonim karena takut membayakan pekerjaan di masa depan.
“Lebih dari 96% responden baru-baru ini bekerja lebih dari 10 jam sehari, tidak termasuk perjalanan, lembur, atau waktu kerja tidak dibayar lainnya. Lebih dari 49% responden telah bekerja sehari selama 10-12 jam, dan lebih dari 46% telah bekerja sehari selama 12 jam atau lebih,” tulis the Guardian.
Jacobin menulis, kerja 12 hingga 14 jam merupakan hal yang umum di industri perfilman. Para pekerja mengatakan, mereka jarang dijadwalkan untuk bekerja kurang dari 12 jam sehari.
“Keselamatan adalah masalah, terutama kecelakaan mobil,” kata asisten kamera lepas, Brittany Anne dalam Jacobin.
Anne mengatakan, banyak masalah di lokasi syuting yang tak diatur standar serikat pekerja. Dari semua masalah, ia mengatakan, paling utama adalah soal pembayaran. “Kami memiliki masalah mendapatkan pembayaran tepat waktu atau tidak mendapatkan pembayaran sama sekali,” ujar Anne.
Tahun lalu, sekitar 160.000 aktor dan penulis Hollywood yang tergabung dalam serikat pekerja melakukan mogok kerja. Hal ini pertama kalinya dua serikat pekerja, yakni SAG-AFTRA dan International Alliance of Theatrical Stage Employees (IATSE) melakukan mogok kerja secara bersamaan sejak 1960, ketika aktor dan calon Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan memimpin protes. Mereka menuntut kesepakatan tentang pembagian keuntungan yang lebih adil dan peningkatan perlindungan seputar kecerdasan buatan.
Sejumlah pekerja perfilman di luar negeri menjadi korban sistem kerja dan keselamatan saat syuting. Misalnya, pada 2017 bintang serial televisi Amerika Serikat Riverdale, yakni Keneti James Fitzgerald Apa atau KJ mengalami kecelakaan mobil setelah bekerja selama 14 jam di lokasi syuting.
Selain itu, pada 2014 seorang kru serial televisi Amerika Serikat, Longmire, yakni Gar Joe Tuck, tewas ketika dia tertidur di belakang kemudi dan mobilnya terguling di jalan raya New Mexico, usai bekerja shift selama 18 jam. Lalu, ayah aktor Rory Kinnear, yakni Roy Kinnear yang tewas usai terlempar dari kuda saat syuting film Return of the Musketeers pada 1988.
“Tiga puluh tahun kemudian, keadaan tidak berubah sama sekali. Banyak anak muda yang ingin masuk industri yang mereka tahu berbahaya, baik secara finansial maupun dalam hal pekerjaan, tetapi tidak menyadari betapa berbahayanya praktik di lokasi syuting,” ujar Kinnear kepada BBC.