Gampang, motor diangkut Dishub, bayar tilangnya di e-tilang Kantor Pos
Badan saya mendadak lunglai. Napas jadi agak berat. Hati tambah kesal lihat tukang parkir pasang ekspresi datar. Kayak gak ada apa-apa saja.
"Beat plat F? oh gak ada," dia jawab santai waktu saya tanya keberadaan motor Beat Pop saya.
Mungkin setelah ngomong begitu dia agak merasa bersalah. Dia lalu menghampiri seorang perempuan paruh baya berpenampilan tomboi. Berambut pendek, berkacamata hitam, berbaju flanel merah.
Siapa dia? Tukang parkir juga ternyata.
"Motornya diangkut Dishub bang," kata dia sambil menghampiri saya, setelah koordinasi sebentar dengan perempuan barusan.
"Tadi bang sekitar 15 menit lalu. Diangkut-angkutin. Mereka diam-diam bang. Ngumpet tuh di sana, pas motor parkir banyak mereka langsung gerak," katanya sambil menunjuk ke arah bawah jembatan Blok A-Metro. Dia cerita kronologi tentang detik-detik lenyapnya motor saya dari lapak parkirannya di depan Metro yang berseberangan dengan Gedung Blok B Pasar Tanah Abang.
"Nah itu tahu, tadi kenapa ngomong motor Beat plat F gak ada," ini saya cuma ngebatin saja. Malas komplain. Percuma pikir saya.
"Ngambilnya di Dishub (Jakarta Pusat) Pasar Senen Bang. Samping stasiun," dia kasih info lagi.
"Pengalaman kau rupanya?!"
Satu sisi, agak lega, seenggak-enggaknya motor bukan dibawa maling, tapi tetap saja lemas. "Berapa nih biaya tebusannya," pikir saya. Kebayang tayangan berita di TV saat hebohnya awal-awal pemberlakuan angkut kendaraan yang dianggap parkir sembarangan oleh Dishub beberapa tahun lalu."Amsyong. Kena 500 ribu kali nih," saya asal menerka-nerka.
Singkat cerita, di kantor Dishub Pak Polisi menyambut. Dia melambai-lambaikan tangannya yang memegang buku, ke arah saya. "Mau ngambil motor ya? sini-sini," kata Polisi yang berkaus coklat itu setengah teriak. Rupanya dia sudah memerhatikan saya yang celingukan setelah masuk gerbang kantor.
Saya digiring ke pojok. Ada bangunan kecil semi permanen. Di depannya ada meja kayu panjang. Mirip di warung pecel lele. Cuma bedanya enggak ada toples acar sama tusuk gigi.
Di situ Bripka Polisi itu memeroses tilang saya. "Gede gak Pak tilangnya," tanya saya. "Ah enggak," timpal dia sambil menulis surat tilang.
Dia tanya, SIM atau STNK yang mau ditahan? Saya serahkan STNK.
"Nanti ambilnya di Kejaksaan ya, di Kemayoran. Atau di Kantor Pos juga bisa," katanya.
Motor pun akhirnya bisa saya bawa cabut dari Kantor Dishub.
Ujungnya, saya malas ke Kejaksaan yang dijadwalkan pada awal Juni. Lima pekan setelah 'tragedi Tanah Abang' itu saya urus ke kantor Pos di Pasar Baru saja.
Di sana, saya diarahkan untuk foto kopi KTP dan surat tilang (slip biru) dua lembar. Terus naik ke loket pelayanan e-tilang.
Satpam di pinggir pintu memberikan amplop kosong dan secarik kertas. Ini nantinya untuk pengiriman STNK/SIM yang disita saat penilangan. Kolom alamat kita isi juga.
Selanjutnya, kita mengisi nomor kode pembayaran yang bisa dilihat di website e-tilang Kejaksaan. Kita tinggal ikuti instruksinya.
Pertama, ketik nomor berkas tilang yang tertera di pojok kiri slip biru ke kolom pencarian. Kemudian website menampilkan instruksi untuk set waktu pembayaran, dan keluarlah kode pembayaran beserta rincian berupa nama, alamat, tanggal sidang, ongkos perkara, dan total denda plus ongkos perkara. Kode pembayaran itu kita tulis di kertas yang diberikan bersama amplop tadi.
Dalam kasus saya, semuanya total yang harus dibayar Rp100 ribu. Alhamdulillah bukan Rp500 ribu, seperti ancaman terberat di pasal 287 (1) UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan :
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)."
Siap salah. Itu konsekuensi parkir di bawah marka dilarang parkir. Jujur saja, waktu memarkirkan motor, saya enggak ngeh ada rambu itu. Lagian ada tukang parkirnya, berarti aman dong, pikir saya. Ini juga saya kira yang ada dipikiran bapak-bapak di Medan yang mobilnya kena tilang. Videonya sempat viral karena dia marah-marah kepada petugas-petugas Dishub. Dia protes, kenapa bukan tukang parkirnya yang ditindak, tapi justru mobilnya.
Saya pikir ada diskresi lalu-lintas di Tanah Abang menjelang Lebaran. Maklum parkir penuh. Toh, di samping kantor Pusat PLN di dekat terminal Blok M juga ada tanda larangan parkir malah disertai pengumuman ancaman derek paksa lengkap dengan gambar mobil diderek dan nilai denda. Tapi bus-bus Polisi dan mobil biasa santai parkir di bawah rambu-rambu itu. Pak Polisi, tolong jelaskan. Why?
Tapi moral ceritanya. Kalau ke Tanah Abang (atau di manapun), jangan parkir di pinggir jalan biarpun ada tukang parkirnya. Lebih baik di dalam gedung atau di lahan khusus penitipan motor, seperti di samping Metro, Jl Kebon Kacang I. Begitulah kira-kira ya.
Kembali ke Kantor Pos. Nomor antrean saya berjarak 15 nomor dari yang sedang dilayani dua loket khusus e-tilang. Ternyata tidak sampai 10 menit, saya sudah dilayani. Prosesnya sebentar tidak sampai 5 menit.
"Rp 120 ribu ya," kata petigas loket. "Nanti dikirim paling lama 30 hari kerja," kata petugas itu lagi menjawab peryanyaan saya soal waktu pengiriman.
Kata dia, nanti Kantor Pos mengambil bukti tilang atau surat yang ditahan di Kejaksaan. Setelah itu bukti tilang itu diantar ke rumah.
Tapi kok jadi Rp120 ribu ya. Bukannya tertera cuma Rp100 ribu total denda tilangnya?
Iya. Rp20 ribu itu ongkirnya ya kak.
Wah bayar tilang jadi berasa kayak belanja di olshop.