Cerita gen Z yang "gagap" saat masuk dunia kerja
Meskipun kontrak kerjanya tak diperpanjang, Alya Nabila, 23 tahun, mengaku tak gusar. Lulusan S1 Manajemen Universitas Pancasila (UP) itu merasa ada yang kurang pada dirinya. Di luar kerja-kerja teknis sehari-hari, Alya paham ia belum punya kemampuan mumpuni untuk bekerja sama dalam sebuah tim.
"Selama kuliah, saya fokus sekali pada nilai akademik dan keahlian teknis. Namun, ternyata itu tidak cukup. Di dunia kerja, soft skill seperti komunikasi dan kerja sama tim sangat penting," kata Alya saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Alya baru enam bulan bekerja di sebuah perusahaan rintisan sebelum kontraknya diputus. Saat bekerja, menurut Alya, perusahaan kerap mengeluarkan kebijakan atau target baru secara mendadak. Alya pun merasa kelimpungan lantaran ia sangat jarang meminta saran dan masukan dari rekan kerja yang sudah berpengalaman.
"Saya cenderung diam dan hanya mengerjakan bagian saya saja. Akibatnya, saya dinilai kurang berkontribusi pada tim. Padahal saya merasa sudah bekerja keras. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa memiliki keahlian teknis saja tidak cukup," kata dia.
Dunia kerja, menurut Alya, sangat berbeda dengan dunia akademis di kampus. Keahlian teknis bukan segalanya. Mengerjakan tugas tepat waktu juga tak cukup. Tak kalah penting ialah kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, dan bekerja sama.
"Atasan dan rekan kerja juga menilai bagaimana kita bekerja sama dan memberikan solusi saat ada masalah. Menurut saya, gen Z cenderung terlalu nyaman dengan teknologi. Kadang, kita lebih suka berkomunikasi lewat teks atau email dibandingkan berbicara langsung. Ini bisa membuat kita terlihat kurang inisiatif atau enggan berinteraksi," imbuh dia.
Berbasis pengalaman pribadinya, Alya punya sejumlah saran bagi para mahasiswa atau pegawai baru dari kalangan gen Z. Untuk mengasah soft skill, ia menyarankan agar mereka memperbanyak pengalaman berorganisasi, magang, atau bekerja paruh waktu.
"Jangan ragu untuk meminta masukan dari rekan atau atasan. Dulu, saya terlalu takut terlihat kurang kompeten, sehingga jarang meminta feedback. Padahal, masukan dari orang lain bisa membantu kita memperbaiki diri. Kita juga perlu belajar untuk mendengarkan," tutur Alya.
Pengalaman serupa dirasakan Raka Ardiansyah. Lulusan Teknik Informatika Politeknik Negeri Bandung itu baru bekerja empat bulan di sebuah perusahaan teknologi sebelum diputus kontraknya. Seperti Alya, Raka merasa tak diperpanjang kontraknya karena soft skill-nya yang lemah.
"Selama di bangku kuliah, kami lebih banyak diajarkan teori dan keahlian teknis, tetapi jarang dibekali dengan soft skill seperti manajemen waktu, komunikasi, atau bagaimana menghadapi tekanan kerja," ujar Raka kepada Alinea.id.
Meski berstatus fresh graduate, Raka merasa percaya diri dengan keahlian teknis yang ia miliki. Namun, dunia kerja ternyata tak hanya menuntut kemampuan menyelesaikan tugas-tugas dengan baik. Kemampuan beradaptasi dengan budaya kerja dan cara bersikap ke sesama rekan kerja juga jadi pertimbangan para atasan dalam menilai calon pekerja mereka.
Selain dari lingkungan kerja, tekanan juga datang dari diri Raka sendiri. Ingin terlihat kompeten, Raka mengaku jarang bertanya dan meminta bantuan dari rekan sekerja dan atasan. Hasil kerja Raka pun tak maksimal.
"Hal ini justru menjadi bumerang karena atasan melihat saya kurang proaktif. Tekanan ini juga membuat saya sulit mengelola waktu. Kadang saya terlalu fokus pada pekerjaan yang menurut saya penting, tapi lupa mengerjakan hal-hal kecil yang ternyata juga diperhatikan. Akhirnya, saya dinilai kurang efisien," ungkap dia.
Kepada para gen Z, Raka berbagi saran untuk bisa bertahan di dunia kerja yang ganas. Pertama, jangan hanya sekadar mengandalkan kemampuan teknis. Kedua, rutin bertanya atau meminta bantuan jika mengalami kendala. Ketiga, pahami budaya kerja perusahaan.
"Setiap tempat kerja punya cara dan aturan berbeda. Jadi, kita harus fleksibel dan berusaha menyesuaikan diri. Jangan terlalu kaku dengan pola kerja yang kita anggap ideal. Terakhir, asah soft skill melalui pengalaman nyata, seperti magang atau pekerjaan paruh waktu," kata dia.
Pengalaman "buruk" Alya dan Raka di dunia kerja itu sebenarnya tak spesial. Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas) Amich Alhumami mengungkap banyak pekerja dari kalangan gen Z yang terkena pemutusan hubungan kerja lantaran soft skill yang lemah.
"Beberapa kali viral itu yang (pegawai dari kalangan) gen Z banyak di-layoff (pecat) itu karena juga soft skill-nya lemah," kata Amich dalam sebuah diskusi Jakarta Selatan, Selasa (10/12) lalu.
Meskipun nilai akademis dan kemampuan teknis penting, Amich menyarankan agar para calon pekerja mengasah soft skill mereka saat duduk di bangku kuliah. Merujuk sejumlah kajian, ia menyebut soft skill sangat sangat dominan untuk membangun kesuksesan seseorang di pasar kerja.
"Terutama yang dibutuhkan untuk beradaptasi di dunia kerja itu adalah soft skill. Jadi, tantangan penempaan diri, melalui pendidikan dan melalui mungkin rangkaian dari kegiatan apa saja itu akan membentuk karakter dan itu yang menentukan keberhasilan," tutur dia.
Tak hanya rentan PHK, hasil riset Kompas yang dirilis Mei lalu menunjukkan kalangan gen Z juga sulit diterima kerja di sektor formal. Pada periode September 2021 hingga Agustus 2022, misalnya, dari 7,1 juta lulusan perguruan tinggi, hanya 967.806 orang atau 13,6% gen Z yang diterima bekerja di sektor formal.