Chrisye, legenda musik yang akan terus dikenang
Dalam kancah musik Tanah Air, nama Chrismansyah Rahadi menjadi salah satu legenda. Dia dilahirkan di Jakarta, 16 September 1949. Tak mengejutkan bila sosoknya terlukis pada Google doodle hari ini (16/9), sebagai peringatan 70 tahun kelahiran Chrisye.
Chrisye barangkali tidak pernah mengira, cover-meng-cover lagu bakal merebak seperti yang terjadi 10 tahun belakangan. Penyanyi yang terkenal dengan nama Chrisye itu telah meninggal pada 30 Maret 2007 silam. Namun, karya musik dan lagu yang dibawakannya membuat keberadaannya berkesan abadi.
Dalam Almanak Musik Indonesia 2005–2015, Kelik M Nugroho mencatat nama Chrisye sebagai salah satu dari 50 penyanyi terbesar dan berpengaruh di Indonesia. Majalah Rolling Stone Indonesia edisi No.68, Desember 2010, juga menguraikan Chrisye sebagai penyanyi ketiga dalam daftar “50 Greatest Indonesia Singers”.
Tujuh puluh tahun dari hari ini, karya musik Chrisye masih hidup dan terngiang di benak para penikmat musik. Dengan warna suara tenor atau cenderung tinggi dan sedikit sengau, Chrisye telah menorehkan ratusan lagu dalam 20 album studio solo sepanjang hidupnya.
Jejak bermusik Chrisye diawali terlebih dahulu sebagai pembetot gitar bas. Dia tertarik bermusik sejak sekolah di SMA PSKD, Senen, Jakarta Pusat dan tercatat sebagai basis grup band SMA PSKD (1966–1967). Lalu pada 1968–1969 Chrisye bergabung dengan grup Sabda Nada. Selanjutnya grup Sabda Nada bersalin nama menjadi Gipsy pada 1969. Saat itulah, Chrisye juga mengisi vokal dengan membawakan lagu-lagu barat.
Namun, kala itu Chrisye belum menampilkan ciri khas bernyanyi, melainkan lebih menirukan suara penyanyi asli. Ini dipengaruhi penilaian di masa itu bahwa semakin mirip dengan penyanyi asli dipandang semakin baik.
Perjalanan karier bernyanyi Chrisye
Perjalanan menghasilkan karakter bernyanyi dimulai ketika proses rekaman album Guruh Gipsy. Berhasil rilis pada 1975, album yang digawangi oleh Guruh Soekarno Putra dengan nama band Guruh Gipsy itu memberi kesempatan Chrisye melepaskan naluri bernyanyinya dengan bebas. Bagi penggemar musik tahun 1970-an, lagu “Smaradhana” dalam album Guruh Gipsy merupakan cap pertama yang menandai kemampuan Chrisye mengolah karakter vokalnya.
Dalam penuturan Chrisye kepada Harian Kompas (17 Oktober 1993) disebutkan, Chrisye mengungkapkan tak menjalani pendidikan musik formal. “Saya bernyanyi dengan cara saya sendiri, Mengikuti naluri saya menetapkan sendiri di mana saya harus mengambil napas, dan sebagainya. Kebiasaan saya bernyanyi berlainan dengan penyanyi yang punya pendidikan formal tentang musik,” kata Chrisye.
Chrisye pun menabalkan namanya melalui nyanyian “Lilin-lilin Kecil” (1976) ciptaan James F Sundah. Lagu itu digubah untuk album Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang dikerjakan Radio Prambors. Karakter, warna vokal, dan gaya bernyanyi Chrisye makin terbentuk dalam album selanjutnya, seperti Jurang Pemisah (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), Sabda Alam (1978), Sendiri Lagi (1993), hingga album terakhirnya Senyawa (2004).
Selain itu, single terakhir Chrisye, “Lirih”, yang ditulis oleh Aryono Huboyo Djati, diluncurkan pada 1 Agustus 2008 di bawah label musik Musica Studio’s. Lagu tersebut mula-mula dirahasiakan, dan tanggal perekamannya tidak diketahui. Majalah Gatra (2 Agustus 2008) menuliskan, bos Musica Studio’s Indrawati Widjaja atau Acin mengungkapkan bahwa lagu itu benar-benar terselip. Dia pun tak tahu bahwa lagu itu ada di dokumen Musica.
Djati selaku penulis lagu mengatakan bahwa lagu Lirih dirahasiakan Chrisye hingga menjelang ia wafat. Lagu ini bertutur tentang cinta secara sederhana tetapi bermakna dalam. Lagu “Lirih” dikemas pula sebagai ring back tone atau nada tunggu ponsel yang lalu diluncurkan di Studio RCTI pada 28 Oktober 2008.
Seperti Sting, banyak lagu Chrisye digubah ulang
Dalam pandangan pengamat musik Aris Setyawan, Chrisye punya kecerdasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan selera musik publik. Meski tidak mengenyam pendidikan musik secara formal, Chrisye terlahir untuk mumpuni dalam memperdengarkan karakter vokal yang khas.
“Dia semacam Sting di The Police. Saat berkarier solo, dia [Sting maupun Chrisye] bisa berubah drastis. Lagu-lagunya punya kesan kuat di pendengar, Chrisye bisa mengikuti semangat zaman. Makanya lagunya banyak di-cover,” kata Aris ketika dihubungi Senin (16/9).
Dibandingkan dengan Chrisye, Aris mencermati, Sting yang berposisi sebagai pemain bas di grup musik asal London, Inggris, itu punya karakter yang juga eksentrik. Penyanyi yang bernama asli Gordon Matthew Thomas Sumner itu juga punya sederet lagu yang banyak di-cover oleh musisi lain, seperti “Englishman In New York”, “Fields of Gold”, dan “Message In a Bottle”.
“The Police juga lahirnya di klub legendaris punk, bukan rock yang high art. Jadi mereka merupakan grup yang punya semangat yang lebih bebas,” katanya membandingkan keduanya.
Tercatat sedikitnya ada dua album yang menggubah ulang lagu yang dinyanyikan Chrisye, yaitu Ost. Badai Pasti Berlalu (2007) sebagai musik latar dalam film berjudul sama yang disutradarai Teddy Soeriaatmadja.
Album ini merupakan “format baru” dari album Badai Pasti Berlalu (1977) yang diproduksi oleh V/A sebagai projek yang dikerjakan Eros Djarot, Chrisye, dan Yockie Suryoprayogo. Musisi lain yang juga terlibat kala itu ialah Berlian Hutauruk, Fariz R.M, Keenan, dan Debby Nasution. Majalah Rolling Stone Indonesia menempatkan album Badai Pasti Berlalu (1977) pada urutan pertama dari “150 Album Terbaik Indonesia”.
Di samping itu, grup musik Noah atau dikenal lebih dahulu sebagai Peterpan membawakan lagu-lagu Chrisye, antara lain “Kisah Cintaku” dan “Sendiri Lagi”. Kedua lagu ini terhimpun dalam album Sings Legends (2016).
Meski menggubah ulang cover lagu bukan lagi hal yang baru, Aris mengamati ada dua alasan lagu-lagu Chrisye dikemas ulang dengan aransemen baru. Selain tujuan jaminan penjualan dengan menggaet nama besar Chrisye, ada kecenderungan industri musik Indonesia sulit menemukan karya musik baru yang berkesan.
“Pengulangan-pengulangan (cover) ini selalu terjadi karena memang nggak ada atau susah menemukan hal atau karya musik baru. Dengan aransemen musik yang baru, maka kemungkinan lagu lama itu bisa diterima lebih luas di masa sekarang,” ucap Aris.
Walaupun begitu, Aris tak menyangkal ada saja kalangan pendengar yang akan lebih menyukai lagu versi asli ketimbang gubahan baru.
“Aransemen musik kan mengikuti pola dan warna musik terbaru. Jadi bisa saja ada yang lebih suka versi asli,” kata dia.
Aris pun memandang corak vokal Chrisye yang yang karismatik, seperti dalam lagu “Janger” di album Guruh Gipsy (1977). Aris mengungkapkan, kemonceran Chrisye tak bisa dilepaskan dengan keberadaan grup Guruh Gipsy yang menerabas kecederungan aliran musik kala itu.
“Tahun-tahun itu (1970-an) aliran psychedelic atau hard rock sangat kuat ditampilkan oleh band Guruh Gipsy. Tak bisa dimungkiri, Chrisye memberikan karakter vokal yang kuat dan karismatik. Album Guruh Gipsy sekarang jadi buruan kolektor,” ucapnya.
Menurut dia, kepiawaian Chrisye dengan kekuatan vokalnya terlahir secara alamiah. Hal itu dilalui Chrisye dalam proses bermusik di luar tatanan pendidikan musik formal yang biasanya baku. Menurut Aris, pendidikan musik formal tak jarang malah membatasi pola dan bentuk karya musik. Hal ini berkaitan dengan tatanan materi ajar yang sistematis.
“Justru kadang-kadang di sekolah formal malah membatasi karena banyak macam-macam pakem atau kurikulumnya. Justru jalur musik nonformal bisa lebih eksplorasi ilmu,” kata lulusan Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini. Aris lantas berpendapat, teori musik didapat Chrisye secara otodidak dan lewat perjumpaannya dengan bermacam musisi.
“Dia tentu belajar teori musik di luar (sekolah),” ujarnya.