Cinta bersemi dari aplikasi
Andi Pamenta masih ingat betul saat pertama kali bertemu sosok perempuan yang dikenalnya melalui aplikasi kencan daring, Tinder, pada 2013. Sudah satu bulan dia menjalin komunikasi di dunia maya, usai berkenalan dari Tinder.
Saat itu, mereka sepakat bersua di Stasiun Depok Baru. Sebelum tiba di stasiun, kepala Andi dipenuhi teka-teki tentang sosok yang akan ditemuinya itu. Sama kah perempuan yang akan ditemuinya, seperti foto-foto di aplikasi Tinder dan media sosialnya?
Pemburu pasangan daring
Kereta dari arah Citayeum, Bogor, akhirnya berhenti di Stasiun Depok Baru. Para penumpang lalu lalang, keluar dari pintu kereta. Perempuan mengenakan sweter berwarna oranye, berperawakan kecil, tampak mencolok di antara para penumpang yang turun.
Dia adalah Mentari Suhendini, perempuan yang dikenal Andi melalui aplikasi Tinder. Mentari menyapa Andi. Insting pria yang kerap gagal dalam mendapatkan pasangan yang pas di Tinder bekerja cepat.
Sebelum berkenalan dengan Mentari, Andi memang selalu gagal menemukan pasangan terbaik lewat Tinder. Bila ada perempuan yang menarik minatnya, tak pernah ada sambutan.
Andi langsung terpana pada pandangan pertama “kopi darat” dengan Mentari. Sosok ini sangat membuat Andi luluh. Singkat cerita, sebulan setelah bertemu, mereka sepakat berpacaran.
“Sekitar 4 tahun setelah berpacaran, pada akhir 2017 kami sepakat mengambil keputusan yang lebih serius, yakni menikah. Sekarang, kami menunggu kelahiran anak pertama,” kata Andi saat dihubungi, Kamis (14/2).
Yudi Muhadi punya cerita yang mirip dengan Andi. Saat masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir di sebuah universitas swasta di Yogyakarta pada 2015, Yudi punya keinginan untuk menikah. Ketika itu, Yudi iseng menggunakan aplikasi pesan WeChat.
WeChat fungsinya mirip Tinder. Penggunanya bisa menemukan orang yang cocok, berdasarkan lokasi pencarian terdekat.
Sembari menulis tugas akhir, Yudi berkenalan dengan sejumlah perempuan di aplikasi itu. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan sosok perempuan, yang menurutnya nyaman dan klop secara obrolan, yakni Rani.
Tak lama berkomunikasi lewat dunia maya, Yudi akhirnya memberanikan diri mengajak Rani kopi darat di sebuah kafe di Yogyakarta. Proses perkenalan secara langsung pun terjadi.
Mereka bercakap-cakap tentang proses perkenalan, menggali lagi mengapa mereka dipertemukan melalui aplikasi WeChat, dan apa yang ada di kepala masing-masing tentang sosok yang akan mereka temui.
Rani sendiri sudah bekerja waktu itu. Sedangkan Yudi, sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Mereka pun intens bertemu selama enam bulan. Dan, setelah Yudi diwisuda, mereka menikah pada akhir 2015.
“Sekarang kami dikaruniai seorang anak, dan buka usaha warung makan sederhana di Yogyakarta,” kata Yudi saat dihubungi, Kamis (14/2).
Tentu saja, di dunia ini, Andi dan Yudi bukan contoh satu-satunya pria yang berusaha mencari pasangan melalui aplikasi kencan daring. Setidaknya, tulis Sindy R. Sumter, Laura Vandenbosch, dan Loes Ligtenberg dalam tulisannya berjudul “Love me Tinder: Untangling emerging adults’ motivations for using the dating application Tinder” di jurnal Telematics and Informatics, Februari 2017, ada 10 juta orang menggunakan Tinder setiap hari di dunia.
Sementara dari jumlah tersebut, sebanyak 45,5% penggunanya sudah tertemu secara offline alias kopi darat. Di dalam riset yang sama disebutkan, kecenderungan orang dewasa, usia 18 hingga 30 tahun, menggunakan Tinder didolong enam faktor, yakni cinta, seks, komunikasi yang lebih baik, validasi harga diri, kegembiraan, dan tren.
Riset Sindy, Laura, dan Loes pun mengungkap motivasi yang beragam antara laki-laki dan perempuan. Pria lebih banyak memanfaatkan aplikasi Tinder untuk menjalin hubungan kencan semalam, dibandingkan perempuan.
Namun, secara keseluruhan, orang dewasa menggunakan Tinder untuk berharap mendapat sebuah hubungan yang romantis dan serius.
Andi Pamenta masih ingat betul saat pertama kali bertemu sosok perempuan yang dikenalnya melalui aplikasi kencan daring, Tinder, pada 2013. Sudah satu bulan dia menjalin komunikasi di dunia maya, usai berkenalan dari Tinder.
Saat itu, mereka sepakat bersua di Stasiun Depok Baru. Sebelum tiba di stasiun, kepala Andi dipenuhi teka-teki tentang sosok yang akan ditemuinya itu. Sama kah perempuan yang akan ditemuinya, seperti foto-foto di aplikasi Tinder dan media sosialnya?
Pemburu pasangan daring
Kereta dari arah Citayeum, Bogor, akhirnya berhenti di Stasiun Depok Baru. Para penumpang lalu lalang, keluar dari pintu kereta. Perempuan mengenakan sweter berwarna oranye, berperawakan kecil, tampak mencolok di antara para penumpang yang turun.
Dia adalah Mentari Suhendini, perempuan yang dikenal Andi melalui aplikasi Tinder. Mentari menyapa Andi. Insting pria yang kerap gagal dalam mendapatkan pasangan yang pas di Tinder bekerja cepat.
Sebelum berkenalan dengan Mentari, Andi memang selalu gagal menemukan pasangan terbaik lewat Tinder. Bila ada perempuan yang menarik minatnya, tak pernah ada sambutan.
Andi langsung terpana pada pandangan pertama “kopi darat” dengan Mentari. Sosok ini sangat membuat Andi luluh. Singkat cerita, sebulan setelah bertemu, mereka sepakat berpacaran.
“Sekitar 4 tahun setelah berpacaran, pada akhir 2017 kami sepakat mengambil keputusan yang lebih serius, yakni menikah. Sekarang, kami menunggu kelahiran anak pertama,” kata Andi saat dihubungi, Kamis (14/2).
Yudi Muhadi punya cerita yang mirip dengan Andi. Saat masih duduk di bangku kuliah tingkat akhir di sebuah universitas swasta di Yogyakarta pada 2015, Yudi punya keinginan untuk menikah. Ketika itu, Yudi iseng menggunakan aplikasi pesan WeChat.
WeChat fungsinya mirip Tinder. Penggunanya bisa menemukan orang yang cocok, berdasarkan lokasi pencarian terdekat.
Sembari menulis tugas akhir, Yudi berkenalan dengan sejumlah perempuan di aplikasi itu. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan sosok perempuan, yang menurutnya nyaman dan klop secara obrolan, yakni Rani.
Tak lama berkomunikasi lewat dunia maya, Yudi akhirnya memberanikan diri mengajak Rani kopi darat di sebuah kafe di Yogyakarta. Proses perkenalan secara langsung pun terjadi.
Mereka bercakap-cakap tentang proses perkenalan, menggali lagi mengapa mereka dipertemukan melalui aplikasi WeChat, dan apa yang ada di kepala masing-masing tentang sosok yang akan mereka temui.
Rani sendiri sudah bekerja waktu itu. Sedangkan Yudi, sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Mereka pun intens bertemu selama enam bulan. Dan, setelah Yudi diwisuda, mereka menikah pada akhir 2015.
“Sekarang kami dikaruniai seorang anak, dan buka usaha warung makan sederhana di Yogyakarta,” kata Yudi saat dihubungi, Kamis (14/2).
Tentu saja, di dunia ini, Andi dan Yudi bukan contoh satu-satunya pria yang berusaha mencari pasangan melalui aplikasi kencan daring. Setidaknya, tulis Sindy R. Sumter, Laura Vandenbosch, dan Loes Ligtenberg dalam tulisannya berjudul “Love me Tinder: Untangling emerging adults’ motivations for using the dating application Tinder” di jurnal Telematics and Informatics, Februari 2017, ada 10 juta orang menggunakan Tinder setiap hari di dunia.
Sementara dari jumlah tersebut, sebanyak 45,5% penggunanya sudah tertemu secara offline alias kopi darat. Di dalam riset yang sama disebutkan, kecenderungan orang dewasa, usia 18 hingga 30 tahun, menggunakan Tinder didolong enam faktor, yakni cinta, seks, komunikasi yang lebih baik, validasi harga diri, kegembiraan, dan tren.
Riset Sindy, Laura, dan Loes pun mengungkap motivasi yang beragam antara laki-laki dan perempuan. Pria lebih banyak memanfaatkan aplikasi Tinder untuk menjalin hubungan kencan semalam, dibandingkan perempuan.
Namun, secara keseluruhan, orang dewasa menggunakan Tinder untuk berharap mendapat sebuah hubungan yang romantis dan serius.
Cara praktis cari pasangan
Ada banyak aplikasi kencan daring yang bisa dipilih. Selain Tinder, ada Setipe, OkCupid, Tastebuds, Badoo, dan Paktor. Aplikasi ini serupa. Penggunanya bisa memilih calon pasangan yang kira-kira cocok, dengan mengklik tanda “love” atau “silang”. Lantas, bila cocok, pengguna bisa mengirim pesan secara pribadi. Ada pula aplikasi yang langsung bisa mengirim pesan secara pribadi, meski tak ada tanda match.
Psikolog Ayoe Sutomo mengatakan, seseorang menggunakan aplikasi kencan daring dipicu berbagai faktor. Salah satunya, semakin sempit ruang komunikasi yang dimiliki seseorang, entah karena sibuk atau raung bergaul hanya itu-itu saja.
“Aplikasi dating ini menjadi solusi baru untuk orang, tanpa harus menghabiskan banyak waktu datang ke satu tempat dan kemudian menjalin relasi,” kata Ayoe ketika dihubungi, Kamis (14/2).
Menurutnya, menggunakan aplikasi kencan di zaman sekarang, juga mempermudah orang dalam menemukan pasangan, mempersingkat waktu, dan lebih praktis.
“Semua orang maunya praktis, kalau bisa memangkas lima proses hanya menjadi tiga proses kenapa enggak. Nah, ini berlaku juga dalam hal mencari jodoh. Akhirnya banyak juga orang yang menggunakan sarana itu untuk mencari jodoh,” katanya.
Aplikasi kencan daring menggunakan sistem kecocokan otomatis, berdasarkan biodata yang kita isi. Menurut Ayoe, hal itu termasuk menyebutkan apa yang disukai atau tidak. Melalui data ini, kemudian seseorang dibantu terhubung menemukan siapa yang kira-kira cocok dengan dirinya.
Terlepas dari itu, Ayoe memandang, aplikasi kencan daring berpotensi memengaruhi hubungan orang yang sudah punya pasangan. Meski begitu, dia mengatakan, selama komunikasi antarpasangan terjalin dengan baik, aplikasi ini tak akan menimbulkan konflik yang sia-sia.
Apalagi, kata Ayoe, aplikasi semacam ini tak hanya dimanfaatkan untuk mencari pasangan kencan, tapi juga memperluas relasi penggunanya, usai terjebak dalam lingkaran pergaulan yang itu-itu saja.
“Hanya saja, jangan menggunakan aplikasi tersebut di tengah masalah asmara yang terjadi, karena hanya akan menimbulkan hubungan yang tidak sehat dan toxic,” ujarnya.