Citra tubuh bisa runtuh hanya nonton 8 menit konten TikTok
Menonton video kurang dari 10 menit di TikTok dapat berdampak negatif pada citra tubuh perempuan. Hal itu diungkap hasil riset peneliti asal Charles Sturt University, Australia, Madison R. Blackburn dan Rachel C. Hogg, yang terbit di jurnal Plos One (Agustus, 2024).
Di Australia, terjadi kekhawatiran terkait masalah citra tubuh dan gangguan makan remaja. Tahun lalu, The Butterfly Foundation—sebuah badan amal yang menawarkan dukungan bagi orang-orang dengan gangguan makan atau masalah citra tubuh di Australia—melakukan penelitian terhadap remaja berusia 12-18 tahun untuk mencari tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan tentang tubuh mereka, serta dampak ketidakpuasan terhadap kehidupan mereka.
Hasilnya, 90% remaja di Australia memiliki beberapa tingkat kekhawatiran tentang citra tubuh, lebih dari sepertiganya (38%) sangat khawatir. Riset itu juga menunjukkan, ada hubungan antara media sosial dan perasaan tak puas anak muda terhadap tubuh mereka, termasuk keinginan untuk menjadi lebih kurus.
Blackburn dan Hogg merekrut 273 pengguna TikTok berusia 18 hingga 28 tahun, dan secara acak membagi mereka ke dalam dua kelompok. Riset ini tak mengikutsertakan orang-orang yang sebelumnya telah didiagnosa mengalami gangguan makan.
Lalu, peserta diperlihatkan kompilasi konten video TikTok pro-anoreksia—gangguan makan yang menyebabkan seseorang terobsesi dengan berat badan dan apa yang dimakannya—dan fitspiration—video yang berkaitan dengan kesehatan, baik olahraga atau makanan sehat—berdurasi 7-8 menit.
Klip video ini menampilkan perempuan muda yang membatasi asupan makanan mereka, memberikan saran olahraga, dan kiat diet. Peserta dalam kelompok kontrol menonton kompilasi video TikTok berdurasi 7-8 menit, yang menampilkan konten netral, seperti video alam, memasak, dan kehidupan hewan.
“Dengan menggunakan serangkaian kuesioner, kami mengukur tingkat kepuasan citra tubuh dan sikap terhadap standar kecantikan, sebelum dan sesudah peserta menonton konten TikTok,” kata peneliti dari Charles Sturt University yang juga penulis riset itu, Rachel C. Hogg, dalam Science Alert.
Hasilnya, kedua kelompok melaporkan penurunan kepuasan terhadap citra tubuh dari sebelum hingga sesudah menonton video. Mereka yang terpapar konten pro-anoreksia mengalami penurunan kepuasan terhadap citra tubuh yang paling besar. Mereka pun mengalami peningkatan internalisasi standar kecantikan.
Internalisasi, ujar Hogg, terjadi ketika seseorang menerima dan mengidentifikasi dirinya dengan standar kecantikan eksternal. Paparan terhadap konten media sosial yang berbahaya tak selalu berakibat buruk.
“Sebelum eksperimen video, kami menanyakan beberapa pertanyaan umum kepada peserta tentang penggunaan TikTok mereka. Kami juga mengukur keasyikan dengan pola makan sehat dan gejala gangguan pola makan,” kata Hogg.
“Kami menemukan, peserta yang menggunakan TikTok selama lebih dari dua jam sehari lebih banyak perilaku makan yang tidak teratur daripada pengguna yang jarang menggunakannya.”
Pada skala yang digunakan untuk menilai gejala gangguan makan, peserta yang melaporkan tingkat penggunaan TikTok yang tinggi—2-3 jam sehari—dan ekstrem—lebih dari 3 jam sehari—memperoleh skor rata-rata sedikit di bawah batas gejala gangguan makan yang signifikan secara klinis.
“Hal ini menunjukkan, paparan konten TikTok selama lebih dari dua jam sehari mungkin terkait dengan gangguan makan,” tulis Hogg.
Hogg melanjutkan, tren makan “bersih”, detoksifikasi, dan diet dengan bahan tertentu adalah serigala berbulu domba dari pola makan yang tidak teratur. Hal ini memungkinkan budaya diet dicap ulang sebagai bagian dari “kesehatan”.
Konten seperti itu, kata Hogg, di samping sebagai inspirasi kebugaran, sering kali memberi penghargaan dan menjadikan olahraga berlebihan serta pola makan yang tak teratur sebagai “permainan”. Influencer kesehatan di media sosial memainkan peran penting dalam menormalkan gangguan makan dan konten inspirasi kebugaran.
“Anda tidak perlu mengonsumsi banyak agar konten tersebut berdampak negatif,” kata Hogg dalam the Guardian.
“Kami tahu, sebagian besar orang menghabiskan waktu lebih lama di TikTok dibandingkan dengan peserta dalam penelitian kami.”
Tagar-tagar tertentu memungkinkan setiap pengguna TikTok untuk membuat dan mengonsumsi konten seputar rutinitas makan harian mereka dan orang lain, transformasi penurunan berat badan, dan rutinitas olahraga.
Apalagi pengguna sehari-hari TikTok bisa menyebarkan video soal diet berbahaya tanpa sekat, seperti yang mungkin diterima selebritas atau influencer terkenal karena membagikan konten yang tidak bertanggung jawab secara sosial.
Celakanya, pengguna TikTok punya kendali terbatas atas konten yang mereka lihat. Sebab, menurut Hogg, mereka menghabiskan sebagian besar waktu di halaman for you page yang dipersonalisasi algoritma.
“Dalam penelitian kami, 64% peserta melaporkan melihat konten tentang pola makan yang tidak teratur di halaman for you page. Contohnya, video yang menggambarkan makan dan olahraga berlebihan,” ujar Hogg dalam Science Alert.
Paradoksnya, ketika seorang pengguna TikTok mencari konten yang positif terhadap tubuh, malah dapat membuat mereka rentan melihat konten tentang gangguan makan.
Dilansir dari the Guardian, juru bicara TikTok mengklaim, aplikasi tersebut inklusif dan positif terhadap tubuh, serta tidak mengizinkan konten yang menggambarkan atau menormalisasi gangguan makan. Menurutnya, pengguna dapat mengatur ulang umpan TikTok dan diarahkan rekomendasi yang sesuai, jika mereka mencari konten.
“TikTok dan platform lain (perlu) mengidentifikasi apa yang mungkin bermasalah,” ujar Kepala Komunikasi The Butterfly Foundation, Melissa Wilton kepada the Guardian.
“Jika secara umum akan menimbulkan kerugian, maka platform itu perlu ditutup.”